27

384 105 7
                                    


27. 

Keadaan Soera membaik dalam sekejap. Malam hari panasnya turun hingga normal. Walau tentu, kadang naik juga turun.

Kerlip cahaya kekuningan terlihat di telinga sawo matang Soera. Satria mengangkat alisnya dan menatap Barong yang menggerakkan telinga juga ekor dengan cepat.

"Dari mana kau dapatkan bunga Syiwa? Pemberian Sadewa? Bukankah hilang saat membakar Rangda?"

Barong mengerjapkan mata, lalu menelengkan kepala. Satria tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. Ia pun menepuk kepala berbulu, lalu mengelusnya sayang. "Terima kasih. Kau begitu menyayangi Soera, ya? Semoga ia bisa lepas dari penyakitnya, ya."

Barong mengangguk-angguk hingga gemerincing kaca bergaung. Satria menatap ke arah jam, lalu berdiri dari kursi di sebelah ranjang. "Aku pergi sebentar dulu. Ada yang harus kuurus di ruanganku. Jaga Soera baik-baik, ya, Barong."

Seiring dengan Barong mengangguk, pintu kamar pun ditutup.

.

Waktu menunjukkan pukul dua belas malam.

Keadaan begitu sunyi senyap. Bunyi jangkrik seakan teredam. Hilang sebab tenggelam dalam aura hitam yang menyelimuti malam.

Ada sesosok yang datang menuju anak tangga. Menaiki tangga demi tangga, dengan langkah tak terdengar setapak pun. Dari jendela, ia melihat sosok pemuda yang terbaring di ranjang. Menipiskan bibir, ia pun melangkah tenang memasuki ruangan.

Pintu tak terkunci buatnya mudah menelusup masuk. Kilauan dari benda tajam yang digenggam buat bayangan mata cokelat memantul. Ia angkat tinggi-tinggi tangan kanan yang menggenggam pisau, lalu dengan cepat menusuk tubuh—

—sebelum mendadak ia berbalik dan menyerang sosok yang sama cepat menghindar serangan pisau.

"Ada apa malam-malam kemari, Dadong Ayu?"

Ayu mengangkat alis sambil menatap sinis. "Kau sendiri kenapa terbangun, Satria?"

"Aku hanya berpatroli untuk menjaga Soera dari mara bahaya. Tentu Ayu sang penari cantik ini bukanlah mara bahaya yang kumaksud, bukan?"

Ayu menurunkan pisaunya. Menjauh dari Satria dengan berjalan ke kanan dekat dengan lemari kamar. "Menurutmu, Satria?"

Satria memutar bola mata sebal. "Oh, ayolah, mengapa semua orang menyukai membalik pertanyaan? Ayu, kutekankan pergilah dari sini. Aku tak ingin melawanmu."

Ayu mendengkus. "Memangnya kenapa tak ingin melawanku? Karena aku wanita?"

"Ya, kau wanita. Dan juga kau seperti anak ayam kehilangan anunya. Kau butuh sesuatu untuk bersandar padahal kau sendiri bisa menapak dengan kedua kakimu sendiri. Kau tidak tenggelam pada ambisinya, bukan?" Satria menjawab dengan mata memicing tajam. Ia menatap lekat-lekat bagaimana wajah Ayu yang cantik, perlahan berubah merengut.

"Bukan urusanmu."

"Urusanku tentu. Kau anakku."

Ayu mengerutkan alis tak senang. "Bukan saatnya melawak, Satria. Dan, oke, jika kau tak bisa melawanku. Tapi ... bagaimana dengan dia?"

Sosok Rangda muncul dari balik tubuh Ayu. Satria membeliakkan mata penuh keterkejutan. "Rangda ... tapi bukankah—"

"Kamar ini kau berikan air suci juga bunga kenanga juga cempaka di sekitaran. Jika kekuatan Rangda begitu kecil tentu ia tak bisa memasuki ruangan. Namun, jika besar ... maka ia bisa berbuat seperti ini tanpa kesusahan."

Mendadak Rangda merasuki Ayu hingga tubuhnya seakan terjatuh. Seiring dengan kaki telanjang menapak lantai, Ayu mendongakkan wajah. Memperlihatkan mata merah belok yang melihat sekeliling, dengan seringai keji terpampang di wajah cantik.

"Tumbal korban bunuh diri, ya? Tak kusangka sedemikian rupa kau menginginkan kekuatan hingga membuang kewarasan. Ayu, sekarang belum terlambat. Usirlah Rangda."

Gelak tawa terdengar nyaring. Ayu menoleh ke arah Satria dan berteriak, "Bicarakan itu di alam kematian!" Dengan cepat Ayu berlari ke arah Satria. Menebas pisau, ke arah kanan dan ke kiri saat pemuda itu bisa menghindar.

Kekuatan mereka tentu tak seimbang. Rangda menggerakkan tubuh Ayu layaknya boneka. Tebasan yang dilakukan pun tak sama dengan seperti awal ia menebas dirinya. Kekuatan Ayu sekarang lebih membahayakan. Goresan kecil tergaris di pipi Satria. Ia terjatuh sebab kaki tersandung, lalu berhenti kaku saat mata pisau menyentuh leher.

"Selamat tinggal, Satri—"

Dalam sekejap, tubuh Soera terbangun dan menubrukkan dirinya bersama Ayu jatuh ke lantai. Ia memukul tangan Ayu, hingga pisau terjatuh lalu mendorongnya jauh. Tangan Ayu digenggam ke atas, sembari Soera menghela napas. "Ternyata benar ... kaulah pelakunya, Ayu."

Ayu tak menjawab. Ia menatap mata merah Soera yang sama seperti dirinya. Barong telah merasuki diri Soera tanpa ia sadar. Menyunggingkan senyum, Ayu tertawa terbahak. "Bukankah aku memang sengaja memperlihatkan diri, Soera? Kesalahan bodohmu tidak mengatakan langsung pada Satria sejak awal."

Ia mengangkat kakinya, lalu membalik tubuh keduanya hingga terjungkal. Ayu segera mundur bersamaan dengan Soera yang kembali menyerang. Dua telapak tangan juga kaki menapak lantai, Soera bertingkah layaknya hewan yang siap melawan. Pandangan Ayu fokus akan pisau di ujung, segera ia berlari, merentangkan tangan namun terkesiap saat kaki dicengkeram tangan berkuku.

Kuku Soera menusuk kulit. Ayu menahan ringisan pedih. Ia menendang dengan kaki yang bebas, lalu kembali menyerang dengan pukulan tangan.

Keduanya terlibat dalam pertarungan seimbang. Ayu dengan Rangda, Soera dengan Barong. Bagaikan sendratari, keduanya memainkan peran masing-masing. Kebatilan dengan kebajikan. Hitam dengan putih.

"Soera!"

Satria melempar kendi ke arah langit. Melihatnya, Soera meloncat dan menangkapnya dengan cepat. Ia buka tutup dan menyiramkannya pada tubuh Ayu yang seketika berasap. Ayu menjerit kesakitan. Air suci yang diberikan padanda secara khusus—yang berisikan doa juga bunga-bunga canang.

Gelap mata, Ayu kembali menyerang Soera. Kini perawakan tubuhnya secara perlahan berubah selayaknya Rangda. Gigi dan kuku memanjang, mata merah membelalak. Cakaran mengenai dada, gigitan di lengan buat Soera terkapar. Dengan cepat Soera membalikkan keadaan dengan turut mencakar leher juga menggigit bahu.

"Keparat kau Satria! Soera!"

Soera menghantam kepala Ayu, hingga buatnya tersungkur. Tanpa segan, Soera memukul kaki Ayu hingga bunyi keretak menggaung tenggelam dalam jeritan pilu. Air mata membasahi pipinya. Gigi bertaring kembali masuk, matanya berubah-ubah warna. Rangda dipastikan masih kesakitan dengan air suci yang menyerap tubuh. Sementara Ayu tak bisa bergerak sebab cedera kaki juga selama ia belum menyelaraskan tubuh dengan Rangda.

"Ayu, usir Rangda dari tubuhmu. Sebelum ia lebih masuk ke dalam jiwamu!" Satria berteriak, khawatir dengan aura hitam yang mulai menyelimuti tubuh Ayu.

Ayu menyeret tubuhnya menjauh. Dengan keras kepala ia menahan isak, meraih pintu seakan meminta pertolongan.

Namun, mendadak tubuhnya kaku. Terutama saat ia melihat sosok yang tak ia sangka akan kehadiran dirinya. Sosok yang buat Satria terkekeh sambil bergumam, "Memang kau dalangnya—"

Kaki menapak dengan wajah tampan menatap datar.

"—Bli Wayan." 

BarongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang