26

366 96 8
                                    



26. 

Panas.

Suhu badannya panas tinggi hingga mencapai 40 derajat. Dahinya ditutupi kain lap basah. Berkali-kali ia bergumam kesakitan lalu kembali tertidur dengan raut muka tak nyaman.

Satria menipiskan bibirnya.

Apa yang ia takutkan benarlah terjadi. Sedari awal ia meminta Mbok untuk mempekerjakan Soera, ia memiliki insting bahwa perjalanan mereka tak akan berjalan mulus. Akan tetapi, ada jeritan kecil meminta yang terdengar dari lubuk hati, memberitahukan bahwa pemuda blasteran itu membutuhkan uluran tangan.

 Awal ia bertemu, ada rasa protektif yang ingin melindungi Soera dari berbagai hal negatif. Salah satunya adalah berbagai kasus yang terjadi di sekitarnya. Sialnya justru berkebalikan. Kehadiran Barong di dekat Soera telah menjawab semuanya. Soera memang dibutuhkan Bali untuk menyelamatkan mereka dari kehadiran Rangda.   

Tentu Soera adalah anak yang disayangi ibu juga sanak saudara. Namun, keterbukaan bukanlah hal yang bisa dibentang lebar olehnya. Ia tahu apa penyakit yang terus menerus menggerogotinya. Ia pun tak ingin hanya duduk diam di desa, seakan diam menanti ajal. Ia ingin bebas, setidaknya satu kali dalam hidupnya; menikmati kehidupan selayaknya manusia normal.

Setelah Mbok mengabarkan—bergosip, jika bisa dibilang—dengan kondisi saudara jauhnya yang bernasib menyedihkan, Satria pun berinisiatif untuk meminta bantuan Dirc untuk membuka koneksi dokter yang bisa menangani Soera. Dirc menyetujui—dengan meminta pembayaran di muka terlebih dahulu, lalu menghubungi kenalan yang memiliki koneksi. Satrialah yang meminta agar Soera tak tahu dengan siapa yang memiliki andil utama dalam pengobatannya. Ia bahkan menyuruh ibu dan sanak saudara Soera, mengatakan bahwa yang berbaik hati membiayai dirinya adalah saudara dari ibunya.

Tentu Satria tak mempermasalahkan uang. Cukup dengan anak-anaknya bahagia, ia pun turut senang. Sialnya hasil pemeriksaan yang keluar tidaklah buatnya menghela napas lega.

"Demensia. Atau lebih tepatnya, frontotemporal dementia. Penyakit yang menyerang otak bagian depan yang mengatur perilaku, kebiasaan, emosi, juga fungsi tubuh dalam memilih tindakan. Singkatnya, perilaku dari penderita akan berbeda dari orang normal kebanyakan."

"Maksudmu?" 

"Contohnya ... emosi yang tak bisa dikendalikan, ketidakpedulian, kesusahan dalam berbicara, ataupun kemampuan motorik yang mengalami penurunan. Penyakit ini belum memiliki obat atau terapi khusus. Sedikit demi sedikit, penyakit ini akan menggerogoti otak hingga ia benar-benar lumpuh. Yang berarti, kita hanya bisa menunggu kapan ia mengembuskan napas terakhir." 

"... Mbok bilang Soera hampir sering kali berpindah pekerjaan sebab tak menyelesaikannya dengan baik. Namun, orang lebih fokus akan sikap tak acuh, bukan dengan kemampuan fisik yang dimiliki Soera. Apakah itu termasuk dalam simtom demensia yang kaumaksud?"

Dirc tak menjawab. Bagai anjing dan kucing, mereka memang selalu bertengkar. Ia justru mengembalikannya dengan pertanyaan memuakkan, "Menurutmu?

Jika mengingatnya, hanya buat Satria kesal tanpa sebab. Saat inilah yang paling ia benci dalam hidupnya. Memiliki kesempatan, namun tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu satu demi satu orang sekitar meninggalkan dirinya sendirian.  

.

Berbeda dengan Satria, Barong justru diam memperhatikan Soera di dekat ranjang. Tak seperti biasa, ia tak menempelkan kepala ataupun berdekatan. Ia memilih berdiri, seakan berjaga jika sesuatu hal terjadi pada Soera.

Waktu tertentu, Barong bolak-balik berjalan mengitari ranjang. Namun diam saat ia sadar keadaan tak akan berubah, jika ia bersikap tak tenang.

Barong duduk dengan cepat, hingga bunyi bergemerincing kaca terdengar nyaring di telinga Soera—dengan kerutan alis juga gumaman kecil dari bibir sang pemuda blasteran. Kepalanya bergerak-gerak, mulut terkatup-katup dengan mata dikerjap. Memelototi kondisi Soera yang napasnya tak karuan, ia pun dengan perlahan memejamkan mata beloknya, lalu diam tanpa suara.

Mendadak, Barong membeliakkan mata, dengan mulutnya dibuka lebar. Dari dalam mulutnya, keluar sebuah bunga putih yang ia tanam di dalam tubuhnya sebagai jimat. Ya, bunga putih yang diberikan Syiwa teruntuk Sadewa. Bunga itu melayang di depan mata. Bersinar kuning cerah, dengan percikan cahaya di sekitarnya. Barong pun kembali berdiri lalu berjalan mendekat ke arah Soera. Bunga putih itu mengintili dan terbang mengikutinya.

Kepala berbulu Barong mendorong pipi Soera hingga kepala sang pemuda lurus tegak mengarah langit kamar. Dengan angukkan pelan, bunga putih itu pun terbang dan tersemat di telinga Soera.

Perlahan tapi pasti, bunga putih itu pun bersinar cerah dan padam hingga akhirnya hilang dari pandangan.

Bersamaan dengan hilangnya bunga, Soera pun menghela napas panjang.

Napasnya kembali tenang, dengan raut muka berubah nyaman. Melihat kondisi Soera yang berubah, Barong pun merebahkan diri di dekat Soera. Kepala didekatkan, lalu ia pun memejam mata.

Berharap pada Sang Hyang Widhi bahwa esok menjadi hari yang baik baginya dan Soera. 

.

.

... besok pagi saya cek lagi. /cry

BarongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang