20.
Soera—atau Barong menghindar dari serangan.
Bulu-bulu hitam Barong bergerak seiring dengan gerakan. Barong meloncat, saat pukulan Rangda memecah tanah. Sang lambang kebatilan begitu murka. Ia berteriak, lalu kembali menyerang dengan cakarnya yang panjang.
Tubuh Barong kembali menghindar. Saat meloncat tinggi ke atas pohon besar, ia mengejek dengan menggoyangkan pantat. Mulut besar mengatup-atup senang. Rangda kembali menggeram kesal. Soera yang berada dalam tubuh Barong hanya bisa mengikuti gerakan. Tubuh itu bergerak sendiri tanpa bisa ia kendalikan. Berbeda dengan sosok transparannya yang justru bisa bergerak leluasa—walau tak bisa menyentuh apa pun di sekitaran. Kehadirannya ada atau tidak seakan tak berpengaruh dengan keadaan.
Jika memang begitu, apakah berarti ia bukan masuk ke dalam dimensi lain? Jika bukan, ia berada dalam ingatan atau mimpi seseorang? Siapakah? Satria?
Pikirannya kembali buyar saat wajah Rangda tepat di hadapan. Soera membeliakkan mata. Hampir menjerit ketika mendadak sebuah bunga putih melesat di antara mereka. Bunga putih itu memancarkan cahaya hingga Rangda meloncat ke belakang, pergi dari hadapan Barong seketika.
Bunga itu kembali menyemat di telinga Sadewa yang masih bertempur dengan Kalika. Sejenak, Soera berpikir sosok apa bunga putih itu sebenarnya?
Rangda meraung penuh amarah, suaranya menggaung kencang, "Syaiwa Keparat! Pergi kau Penguasa Bumi bajingan!"
Syaiwa? Dan—kenapa mendadak suara Rangda terdengar oleh Soera?
Pekikan garuda memecah pemikiran. Dari langit menghitam, muncul sesosok garuda besar yang terbang menukik mengarah ke Barong. Seketika, tubuh besar Barong turun ke bawah, tepat di sebelah Sadewa. Ia melindungi sang pangeran dengan kibasan bulunya. Garuda besar—jelmaan Rangda itu pun menghempaskan sayapnya, membuat angin besar menerpa tubuh keduanya.
Di saat itu, dengan cepat Barong membuka mulutnya lebar-lebar. Angin dimasukkan ke dalam tubuhnya—bahkan hingga Soera turut merasakan desakan angin masuk ke dalam mulutnya. Ia mengisap apa yang ada di sekitar termasuk Rangda yang kini mencoba terbang ke atas.
Rangda terus menerus mengepakkan sayap melawan arah. Sayap-sayap cokelat yang berguguran terisap ke dalam. Seperti abu di atas tanggul, garuda besar itu hanya bisa menguatkan kepakan sayap. Soera hanya bisa memejam mata, ketika garuda itu tertelan ke dalam tubuhnya—hingga ia pun entah kenapa turut tertelan isapan. Jatuh ke dalam lubang tak berdasar.
.
.
"SERANG!!"
Dentuman meriam memekakkan telinga. Rentetan senjata buat jeritan meraung kencang. Tombak dan kerislah yang ada di genggaman tangan segerombolan orang berkulit sawo matang. Tubuh pemuda pemudi jatuh bertumpukan, namun segerombolan orang datang kembali menyerang. Darah menjadi penghias tanah, bau besi juga asap menusuk hidung.
Soera hanya bisa membelalakkan matanya kesekian kali. Pemandangannya telah berubah dari pertarungan Barong dengan Rangda, menjadi kondisi peperangan di suatu kerajaan.
Ia sendiri berada di atas ketinggian hingga bisa melihat keadaan perang. Bukan, bukan badan Soera Bratha. Melainkan tubuh Barong seperti saat pertarungan sebelumnya. Ia mengerutkan alis, seiring gerakan kepala Barong yang meneleng ke kanan. Soera sendiri pun masih tak mengerti mengapa ia berada di tubuh sosok perlambang kebajikan.
Apakah ini yang dinamakan meditasi? Menyinkronkan diri dengan Barong, menjadikan mereka satu kesatuan yang saling berkebutuhan. Jika memang apa yang dilihatnya adalah sebab dari meditasi yang dilakukan, berarti ... apakah semua ini adalah ingatan Barong selama hidupnya?
Dan juga kondisi peperangan ini ... ia pernah melihat gambar seperti ini sebelumnya. Terutama dengan perbedaan kontras antara dua pihak yang saling berperang. Bule putih dengan penduduk asli suatu kerajaan. Seakan-akan ia berada di zaman perang ... saat menghadapi kolonial Belanda.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasySejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...