12.
Mengubah suasana, Satria mengajak Soera keliling kota.
Seperti kegiatan bak turis lokal, ia diajak ke tempat wisata yang terkenal. Dengan motor pinjaman—karena mobil hanya buat kesal—maka pantailah yang pertama kali ditandang. Tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menginjak pasir juga terkena air pasang, mereka pun melanjutkan ke Garuda Wisnu Kencana. Entah kenapa justru Soera menonton pertunjukkan barong ketimbang berkeliling. Setelah makan siang, perjalanan dilanjut ke Tanah Lot.
Sepanjang mereka berkeliling, Satrialah yang paling bersemangat untuk memberikan informasi. Bahkan terkadang ia seperti berbicara sendiri sebab Soera lebih memilih menatap pemandangan ketimbang mendengar kisah.
Sesampainya di Tanah Lot, puluhan pedagang tersebar di perjalanan masuk ke dalam kawasan. Baju, patung, hiasan, lukisan dijual di sepanjang jalan. Beberapa gadis Eropa terkikik geli memandang jualan yang ternyata pahatan kayu berbentuk kelamin pria.
Menghela napas panjang, Soera mengikuti Satria yang kini mengajaknya ke arah pura.
Pembicaraannya dengan Bli Wayan tak berbuah hasil. Saat ditanya, Bli Wayan melongo lalu menggeleng geli. 'Kau bercanda, Bli? Kenapa kau mendadak mengaitkan masalah ini dengan sendratari?' Hanya tawa kecil juga tepukan pundak yang didapatnya kali itu.
Rasanya ia kembali tertutup tembok besar. Tak mendapat petunjuk, hanya bisa diam untuk mencari petunjuk lain.
.
Angin sepoi menerpa kedua tubuh pemuda.
Langit sore mulai memperlihatkan keindahan warna oranye dipadu merah. Matahari terbenam memanglah menjadi acara kecil dari pinggir pantai. Kursi semen diduduki keduanya. Es kelapa hijau digenggam di tangan, Soera menyeruput hingga habis setengah. Kakinya ditendang-tendang, mata hijau tetap menatap matahari terbenam.
Jika dipikir-pikir, begitu banyak masalah sedari awal ia menginjak kepulauan Bali.
Baronglah yang pertama kali ia lihat saat menjejakkan sepatu di bandara internasional Ngurah Rai. Walau ia terbiasa dengan adanya Wayang, tetap saja kehadiran sosok yang lima kali lipat besar, juga tampang seram buatnya tak nyaman. Penyakitnya—yang kian hari semakin menyakitkan ia rasakan bahkan seakan lebih parah dari sebelum ia berangkat ke Belanda. Pertemuan dengan orang baru; Wayan juga Ayu.
Sedari awal ia bukanlah orang yang mudah bersosialisasi. Ketidakpedulian akan lingkungan, fokus hanya kepada diri sendiri, juga sikap diri yang buat orang lain menjauhi. Banyak hal yang menyakitkan saat ia dekat dengan orang yang ia anggap teman sejati. Ambil patinya, buang ampasnya. Begitulah yang mereka lakukan kepadanya. Tak mengherankan jika kini ia lebih memilih menutup, ketimbang membuka.
Ibunya yang paling menyayangi dirinya sepenuh hati. Walau kadang ia berkata ketus pada sang bunda, beliau selalu memaafkan. Ia pun merelakan untuk dirinya merantau ke Bali dalam kurun waktu tak pasti. Mungkin juga bantuan omongan dari Mbok Nesia buatnya ikhlas untuk melepas anak yang berpenyakit.
Penyakit yang ada dalam dirinya tentu Soera tahu pasti. Penyakit yang terus menyerang kepalanya bak menggergaji. Namun, tahu pun rasanya percuma sebab tak adanya obat yang bisa menyembuhkan diri. Ia, yang dulu pernah ingin melepas nyawa, hanya bermuka datar saat mendengar dari kabar dokter di Belanda. Ia pikir hanya penyakit biasa yang menyerang kepala. Nyatanya tidak. Rasanya percuma, saudara ibunya mau mengeluarkan uang transportasi juga pemeriksaan yang besar hanya untuk hasil yang tak berkonklusi.
Soera mengangkat bahu, kembali menyamankan diri menatap pemandangan. Kini ia hanya bisa menikmati sisa hidup tanpa beban. Toh kakak pertama dan kedua sudah sukses di desa. Ibunya juga bisa berjualan gorengan sebagai penghasilan sampingan. Ia pergi pun tak apa. Mereka bisa hidup seperti biasa walau ia tak ada.
"Bagaimana menurutmu?"
Soera mengerjapkan mata. "Apanya?"
Satria menyunggingkan senyum sambil memandang ke arah Soera.
"Jalan-jalannya, Bocah. Kau menikmati atau tidak?"
Pemuda bermata hijau menggumam tak jelas. Terlihat sebal sebab dipanggil bocah.
"Biasa saja. Tak ada yang mengesankan, tapi juga tak membosankan. Kau mengajakku ke tempat wisata yang bisa kulihat di media sosial. Rasanya tak ada yang istimewa kecuali makanannya."
Alis hitam Satria berkedut pelan. Bocah kurang ajar. Namun senyum ditarik hingga pipi terangkat.
"Aw, Bocah Kecil ini bosan rupanya. Apa kau sedang pra menstruasi? Mau kubelikan pembalut?"
Soera mendengkus. Ia kembali menyeruput es kelapa hijau hingga habis. Barong di sebelahnya menggaruk leher dengan kaki belakang. Kombinasi bunyi gemerincing juga bulu dikibas terdengar jelas. Tanpa ditahan, ia pun bertanya, "Apa ... yang kaupikirkan mengenai penanda bencana?"
Satria memperhatikan dengan seksama. Ia mengedarkan pandangan lalu bertanya, "Penanda bencana? Maksudmu?"
"Maksudku—adanya ... sosok yang selalu datang saat munculnya bencana. Mereka seperti sosok astral. Bukan astral juga ... hanya saja ... aku bisa melihat mereka. Sosok aneh yang hanya bisa diam menatap sekelilingnya luluh lantak," Soera berbisik pelan. Mata hijaunya menatap ke arah Satria yang kini tak memandangnya. Menyadari kesalahannya, ia pun menunduk dan menggelengkan kepala.
"Ah, lupakan. Aku hanya berdust—"
"Bagaimana jika kubilang aku juga bisa melihat mereka?"
Soera menengadah. Ia mengerutkan wajah, takjub dengan pernyataan. Satria kini menatap Soera dengan senyum kecil di paras tampan.
"Bagaimana jika kubilang—aku telah melihat mereka ... ribuan tahun lamanya."
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasySejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...