09
Pentas kali ini diselenggarakan dengan lancar. Tak ada gangguan dari Barong ataupun teknis sebab human error.
Soera bahkan selama pertunjukkan, justru memperhatikan gerak-gerik Barong yang berada di sebelahnya ketimbang pentas. Mata beloknya menatap ke arah panggung. Telinga bergerak-gerak memperlihatkan kesan imut. Bulu-bulunya turut bergoyang kala ia manggut-manggut. Gerak-geriknya memang seperti hewan. Wewepedia menyebutkan kalau perwujudannya memanglah campuran banyak hewan—dinamakan Barong Ket.
"Tak biasanya kau diam," Soera bergumam sambil menatap ke arah pentas. Barong tak menanggapi dan justru semakin diam. Terlebih, saat Ayu memasuki panggung pertunjukkan.
Perannya kini adalah Kalika, keponakan dari Rangda. Rangda sendiri adalah lawan dari Barong, seorang dari tabib yang berubah menjadi ratu iblis. Jika Barong dilambangkan dengan kebajikan, maka Rangda digambarkan sebagai kejahatan. Perhelatan mereka berkaitan dengan Sadewa, putra dari Prabu Yudistira juga Kunti yang merupakan raja dan permaisuri di Bali.
Akting Ayu begitu memesona. Terlebih saat ia melawan Sadewa demi membela Rangda. Daun kipas ditebaskan seiring tubuhnya yang berputar. Gerakannya sesuai dengan Sadewa yang membalas menebas, namun dihindari dengan satu putaran. Kakinya menyapu lantai, tubuh menunduk tegak, dengan keluwesan buat penonton terpana. Walau perannya kecil, auranya begitu memikat.
Setelah selesai, Soera menemani Ayu di belakang panggung. Makanan kali ini tersedia prasmanan. Dengan segala lauk pauk khas Bali disiapkan di atas meja panjang. Kabarnya, sebab ada sponsor besar yang mau memberikan uang tambahan untuk pesta makan.
Ayu dan Soera masih duduk di kursi panjang anyaman bambu. Kerumunan orang yang mengambil makan buat mereka tak nafsu. Tak ada yang mengucap hingga akhirnya Soera mendadak membuka mulut, "Dua kali kulihat, tarianmu sungguh bagus dibanding yang lain. Apa kau tak dibenci di sini atas kemampuanmu?"
Hening sejenak.
Beberapa gadis di dekat mereka, melotot tak senang. Bahkan ada yang memilih pergi dengan meninggalkan cibiran. Ayu mengangkat alis sambil menatap heran ke arah Soera.
"Seperti yang kaulihat. Aku dibenci. Tapi memang itu kenyatannya, bukan?" Ayu mengangkat bahu, bersikap tak pusing masalah sepele. Ia menyilangkan kaki jenjangnya. Kain batik mengetat di dengkul. Soera menganggukkan kepala.
"Auramu berbeda. Tapi kuyakin semua itu bukan berarti kau memiliki bakat," Soera menambahkan. Kali ini, Ayu menatap wajah Soera dengan pandangan tertarik.
"Hei, Sekalipun ada manusia memiliki bakat, jika ia tidak mengasahnya, sama saja bakat itu tak akan terpakai dengan baik, bukan? Seperti halnya diriku. Mungkin bakat hanya 8% dari tubuhku. Namun hasilnya, 92% adalah hasil kerja kerasku yang buat diriku kini, bukan?" Jemari lentik menepuk dada dengan angkuh.
Belum sempat Soera berkomentar, Ayu memotongnya dengan cepat. "Kau sendiri ... mulut besarmu itu bukankah buat orang benci padamu sekali sapa, hei, Soera?"
Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Soera terkena tulak. Ia termakan omongannya sendiri. "Aku hanya menyatakan kebenaran."
"Sebagai informasi tambahan untukmu, kebenaran biasanya dibenci orang karena menyakitkan. Lebih baik menerima kebohongan yang manis daripada menerima kenyataan, bukan?"
Soera tak menjawab.
Saat tempat lauk-pauk sudah sepi, Ayu mengajak Soera mengambil nasi. Dengan cekatan, ia menunjuk mana yang mengandung babi, mana yang tidak. Juga mengingatkan seberapa pedas sambal yang biasa dimasak. Soera manggut-manggut mengerti. Ia memilih 2 tusuk sate lilit ikan juga ayam suwir. Tangan kanan ingin mengambil minuman soda terakhir, sialnya segera diambil salah satu gadis yang tadi mencibir. Mendengkus merendahkan, ia tersenyum--setengah keji-- menatap para gadis. "Sebegitunya kehausan? Enggak sekalian minum air gentong saja?"
Menengahi keadaan yang mulai ribut sebab salah satu gadis berdiri hampir menghampiri, Ayu segera berdiri di dekat Soera. Ia menutupi pandangan pemuda dan mengangkat 2 botol air putih ke depan wajahnya. "Ini minum. Jangan macam-macam di sini. Ikut aku." Mengedikkan bahu, Soera berjalan mengikuti Ayu.
Keduanya makan dalam diam di kursi anyaman. Celotehan juga gelak tawa terdengar dari sekeliling meja. Soera menyeruput air putih, kentara sekali mulai bosan berada di sini.
Mata hijaunya menatap ke arah gerombolan gadis yang beberapa wajah ia kenali sebagai penari di awal pentas. Ia pun menengok, menunjuk dengan jempol, lalu bertanya dengan bisikan, "Apa beberapa mereka kemarin memainkan peran penari sama sepertimu itu?"
Ayu mengangguk. Ia mengikat bekas plastik makanannya, lalu membuang di tong sampah. "Ya. Peran pengikut Rangda."
"Hmm. Jika kau bisa memilih, ada peran yang dari dulu tak pernah kau pentaskan sebelumnya?"
Gadis elok itu terdiam. Mata indahnya bergulir ke arah Soera. Senyum kecil terpampang di wajah oval. "Ya, tentu ada. Peran yang bahkan kuimpikan sejak aku menginjakkan kaki di pendopo tari ini. Sialnya tak pernah diberikan sebab peran itu hanya bisa diberikan pada orang dituakan ataupun orang sakti."
Soera mengangkat alisnya bingung. "Peran apa?"
Satu senyuman yang buat auranya hampir sama dengan saat di mobil kembali terasa. Sang gadis elok tersenyum ramah, namun merindinglah sang pemuda. Bibir bergincunya terbuka, suara merdu membuai hingga ke awang.
"Rangda. Aku ingin menjadi Rangda."
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasySejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...