04

607 134 14
                                    



04.

Wayang itu kembali datang.

Mata beloknya menatap ke sekeliling rumah. Ia meloncat-loncat di ruang tamu lalu berhenti di depan teras. Persis seperti 4 tahun yang lalu, saat terjadinya gempa Yogyakarta. Mengerutkan alis cokelat tua, Soera berdiri gagah di belakang Wayang.

Kini ia tak takut lagi. Beberapa kali ia melihat wayang walau hanya sekelebat. Setelahnya kejadian bencana kembali terjadi walau kecil; banjir, longsor, dan yang lainnya. Namun, saat sosoknya terlihat jelas, bencana yang diberitakan termasuk besar—seperti saat gempa bumi Yogya. Sosok wayang itu hanya terlihat pada saat bencana di pulau Jawa. Soera menyimpulkan, Wayang adalah suatu penanda bencana khusus di pulau Jawa.

"Mau apa kau ke sini?"

Wayang itu tak bergerak. Soera menggeram, tungkainya dihentak. Berharap jika makhluk jejadian—entah setan atau hantu—itu, menengok sekadar menyapa. Nyatanya tidak. Si Wayang tetap menengadah (jika bagian kepala tipisnya melengkung sedikit, bisa disebut menengadah), melupakan keberadaannya seakan dunia hanya milik dia dan langit gelap.

"Kau! Kau penanda bencana, 'kan? Hei, Wayang!"

Dalam sekejap, kepala tipis sang wayang melengkung ke arahnya. Satu mata menengok ke bawah. Mata merah yang seakan bisa membolongi kepala remajanya.

Wayang itu tak berbicara, namun gerak-geriknya seakan menunjukkan kata. Sialnya Soera tak mengerti apa yang ingin ia sampaikan. Saat ia ingin menyentuh, ada hawa berat yang menyelimuti tubuh. Buru-buru ia mundurkan tangan, nasihat Pak Haji kembali teringat.

"Apa—apa kau ke sini karena sebentar lagi ada bencana?"

Wayang Batara Guru tetap diam.

"Apa ... jangan-jangan kau yang membawa bencana?"

Bisikan kecil diungkap, sang wayang masih memandang ke arah Soera. Ada kesan sendu yang ditangkap si remaja tanggung. Namun, belum sempat ia menanyakan, wayang itu pun menghilang. Tepat saat suara televisi dikencangkan oleh sang adik ke-3, berita terkini mengumandang.

Gempa berkekuatan 6,3 skala richter melanda Tasikmalaya.

.

.

Pagi harinya, Soera terbangun dengan bunyi geledak keras.

Rambutnya awut-awut, mata melotot seram ke segala arah. Di pojokan kamar, Barong menggoyangkan ekornya—persis seperti peliharaan meminta perhatian. Tas selempang tergeletak di lantai dengan barang-barang buyar ke segala arah. Soera melempar bantal, Barong menghindar. Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit. Barang kecil dilempar ke segala arah, hingga tumpukan barang terpampang. Permainan lempar-lemparan berlangsung sebentar, sebab pintu kamar dibuka lebar.

Bli Wayan menaikkan alis memandang kondisi kamar. Bukan hal yang aneh memang kamar lelaki berantakan. Hanya saja ... dalam semalam ia menggeledah hingga sebegini berantakan, tentu buat pemuda Bali itu mengulum senyuman. Apalagi ada beberapa celana dalam yang berhambur di dekat kaki ranjang. Mengangguk pelan, Bli Wayan masuk ke dalam ruangan.

"Sudah bangun, Bli? Mau makan, nah? Makan sate? Ayam? Nasi jinggo?"

Merasa tak enak, Soera bangun dari ranjang. Ia merapikan barang yang bertebaran lalu mengumpulkannya di pojokan. "Nggih. Sebentar lagi saya turun."

"Rencana Bli Satria apa hari ini? Mau mengunjungi pantai Kuta? Bule-bule bertebaran itu di sana. Atau Garuda Wisnu Kencana? Saya antar bisa, Bli!"

Mendengkus, Soera menggeleng. "Saya ikut Mas Satria dulu."

"Bli Satria mau mengantar kue ke Batubulan. Mau sekalian melihat pentas tarian Barong?" Bli Wayan menaruh tempat bambu berisikan 3 gelas kecil, dengan kertas cokelat berisikan sejumput nasi juga lauk di atas plangkiran. Mata hijau Soera mengikuti gerakan Bli Wayan yang menunduk. Tak lama ia pun kembali menatap Soera yang mengangguk.

Bli Wayan pun berjalan ke luar kamar. "Itu di bawah ada sarapan. Makan dulu, Bli. Nanti sakit lagi, nah."

Soera kembali menjawab sambil mengangguk. Ketika pintu ditutup, ia kembali menatap ke arah Barong yang kini mengacak koper. Menggeram kesal, Soera memilih mengabaikan. Lebih baik ia langsung turun ke bawah daripada mengurusi makhluk menyebalkan.

Sungguh, sikapnya sangat berbeda dengan wayang Batara Guru. Ia bagaikan hewan lincah. Penuh semangat juga ekspresi walau tak diperlihatkan.

.

.

BarongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang