18.
Syukurnya Soera dan Satria tak terluka parah.
Dengkul juga sikutnya memanglah lecet, namun ia masih bisa berjalan ataupun bergerak seperti biasa. Berbeda dengan Satria, yang saat perjalanan ke kediaman Wayan terlihat pincang—katanya sebab menahan beban mereka berdua juga terantuk batu besar. Namun anehnya, saat sampai ia sudah kembali sehat.
Tentu Soera mengerutkan alis, memandang aneh pada Satria yang sangat terlihat tak ingin membahas bagaimana bisa ia sembuh dalam sekejap.
Bli Wayan yang paling ribut saat melihat keadaan keduanya di depan pintu rumah. Ia segera membawakan kotak P3K lalu mengobati keduanya. Di sela-sela mengobati, ia baru bertanya macam-macam. Dari mana kalian, kenapa begini, apa yang terjadi, dan berbagai pertanyaan yang buat Satria mengucap satu kalimat.
'Kepo, Bli?'
Bli Wayan justru tertawa lebar sambil menggelengkan kepala. Seperti ia sudah biasa menghadapi Satria yang seenaknya. Setelah mendapat jawaban sekadar mengenai kelalaian Soera berjalan ke tengah jalan tanpa lihat kiri kanan, ia pamit untuk menemui Ayu sekaligus sang mertua.
Giliran Satria yang kini menoleh pada Soera.
"Apa yang kaulihat di seberang sana?"
Soera memandang ke arah garasi parkiran di seberang pendopo—tempat mereka duduk menikmati angin malam. Ia tak menjawab.
"Selelahnya tubuhmu, kau tak mungkin berjalan sendiri ke tengah jalan seperti itu. Apa yang kaulihat?" Satria bertanya tegas. Berbeda dengan nada bicara dirinya dengan Bli Wayan, kini ia bertingkah layaknya kepolisian.
"Tak ada." Sosok makhluk berbulu putih dengan muka menyeramkan juga seorang gadis hadir di ingatan. Tapi ia tak bisa mengucap jika kemungkinan ia hanya salah lihat. "Tidak ada."
Satria mendengkus, lalu bersedekap. "Soera. Kasus kecelakaan ataupun sakit di sekitar sekarang perlu dicurigai. Sudah kubilang, bukan? Barong memanglah ada. Selama ia ada berarti ada bencana yang akan datang di sekitar kita. Dan aku yakin kalau kecelakaanmu tadi bukanlah karena kelalaian biasa."
Soera mengedikkan bahu. "Aku tak bisa bilang kalau apa yang kulihat benar adanya. Jadi, anggap saja itu hanya salah lihat, nggih?"
Terlihat Satria tak puas dengan jawaban. Beberapa kali ia terlihat membuka mulut namun kembali ditutup rapat. Ia pun berdiri dari duduknya dan mengucap tegas, "Oke. Kubiarkan kali ini. Tapi jika kau benar-benar melihat tolong segera beritahu aku."
Soera tak menjawab, Satria menatap cemas.
"Dan sekarang ... ikuti aku."
"Ikuti?"
"Akan kubuat kau kecil kecil cabai rawit. Sekarang kita akan berlatih meditasi."
.
.
"Ambil napas dalam-dalam, lalu keluarkan. Buat dirimu tenang. Kosongkan pikiran."
Soera mengikuti perintah. Ambil napas, keluarkan, kosongkan pikiran. Sialnya sekelebat ingatan makhluk aneh dan kerumunan orang kembali ia kenang. Mengerutkan alis, ia pun mengambil napas lebih lama, lalu mengembusnya pelan. Kondisinya ia berada di kamar Satria. Kamar yang cukup lengang dengan karpet bulat di dekat jendela. Ia pun disuruh duduk bersila di atas karpet dan diminta untuk mendengarkan apa yang Satria perintah.
Beberapa kali ia gagal dan justru berbalik menatap Satria yang turut duduk bersila di belakangnya. "Pikiranku bertumpuk. Bagaimana agar menjadikannya kosong?"
"Jangan membebani pikiranmu dengan berbagai ingatan berat, Soera. Tenangkan dirimu. Kau aman berada di dekatku."
Soera menyipit tak percaya. Namun ia pun berbalik, lalu kembali mengikuti perintah. Ia rasakan telapak tangan Satria menyentuh punggungnya. Ada sesuatu yang mengalir ke dalam pikiran. Kosongkan ... buat semuanya hilang untuk sementara. Perlahan-lahan ia tak mendengar bunyi kipas angin ataupun deru motor di jalanan.
Gemerincing kaca kecil Baronglah yang kian lama semakin nyaring didengar.
Ia merasa ada sesuatu yang panas di belakang tubuhnya. Satriakah? Atau Barong? Ia tidak tahu siapa namun yang pasti rasa panas itu menyamankan dirinya.
'Bukalah matamu.'
Mengikuti kata yang mengawang di dalam pikiran, Soera pun membuka mata. Akan tetapi bukan pintu dan jendela kamar Satria yang ia lihat ....
Melainkan tempat layaknya pendopo luas, dengan satu kursi besar ukiran batu berada di tengah-tengah—
Selayaknya pendopo di zaman kerajaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasySejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...