07

515 113 4
                                    



07

Pagi hari, saat Soera dan Satria sedang menikmati nasi jinggo; nasi sekepal tangan dan lauk pauk porsi kecil, Bli Wayan tergopoh-gopoh berlari dari arah kamarnya. Baju safari putih, kain—kamen juga saput, serta selendang kuning terikat di pinggang. Udeng putih dipakainya di kepala. Penampilannya rapi seakan ingin menghadiri upacara.

"Ada apa, Bli?" Satria bangkit dari duduk bersila di tangga pendopo. Tangan kotor sebab dipakai untuk menyuap makan ia lap dengan tisu basah.

"Bli Artha meninggal. Saya harus ke sana."

Soera mengucap, 'Innalillahi' bertepatan saat mendengar. Satria berbisik pelan akan duka cita. Ia mengambil lagi tisu basah, lalu mengelapnya cepat. "Saya boleh ikut, Bli?"

"Boleh. Saya panaskan mobil dulu. Langsung saja masuk ke dalam mobil kalau sudah siap. Bli Soera, saya pergi dulu, nah," Wayan mengangguk pelan ke arah Soera lalu mengambil kunci mobil dari kantong baju.

Satria menghadap ke arah pemuda yang masih menyuap makan. Ia membungkus bekas tempat nasi dengan karet, lalu membuangnya ke tempat sampah sambil berkata, "Soera, kau bisa bawakan pesanan kue ke Ganendra? Kau bisa mengendarai mobilku?"

Soera mengedikkan bahu. "Saya bisanya motor."

Mendecak, Satria berbisik pelan, "Apa mungkin kubawa semua pesanan baru melayat .... Tapi Bli Wayan ...."

"Biar aku saja yang mengantar Soera."

Kedua pemuda menatap ke arah gadis elok di pintu depan. Make up tegas yang Soera lihat kemarin tak berpoles di wajahnya. Wajah kuning langsat dengan mata tajam juga alis hitam menukiklah yang terlihat. "Kebetulan aku belum berangkat ke pendopo. Jadi sekalian saja."

"Wah, wah, wah. Kau yang pelit medit bin koret ini menawarkan sesuatu? Ada gajah dibalik batu, ada batu dibalik gajah. Hmm ... aku mencium sesuatu yang buruk," Satria mengomentari sambil mengelus dagu. Ia mengamati atas-bawah, bawah-atas tubuh sang gadis.

Ayu mengabaikan omongan Satria. Ia bersedekap lalu menyenderkan tubuh di gapura kecil. "Kau masih sempat melawak, Satria? Kau ditunggu Kak Wayan, bukan?" Bunyi klakson mobil terdengar nyaring setelah Ayu mengucap sambil tersenyum pongah.

Buru-buru Satria mengambil selendang di dekat tangga, ia pun berlari kencang ke arah luar. "Soera! Kalau kau dimangsa Dadong Ayu, jangan lupa teriakkan namaku 3 kali, ya! Dia setan berwujud wanita! Hati-hatilah padanyaa!"

Belum sempat Ayu protes akan tuduhan Satria, mobil menderu kencang meninggalkan rumah. Soera tanpa menunggu lama segera merapikan makanan, mencuci tangan, lalu mengganti celana pendek dengan celana panjang. "Pesanan kue Nenek Derma, bukan?" Komentar yang dikemukakan sang gadis elok ketika melihat Soera menuruni tangga menuju pintu depan.

"Kautahu?"

Tanpa bicara banyak, Ayu melangkah panjang menuju rumah sebelah yang berada di dalam gang. Soera mendecak kesal. Ia pun mengikuti tanpa kata setelah sebelumnya mengunci pagar rumah. Punggung kecil sang gadis terlihat di ujung gang. Ayu mengangguk pada beberapa anak kecil yang melintas. Kumpulan bocah yang bertemu pandang terkikik senang dan saling dorong bahu dengan muka memerah. Tentu, gerak gerik Ayu buat Soera mengangkat alis heran.

Terlebih lagi saat Ayu memasuki rumah tanpa permisi, lalu menemui Dadong Derma di dapur. Ia menunjuk ke tumpukan nampan bambu, yang dibalas anggukkan penuh senyum.

"Ah, biar aku saja!" Soera langsung berdiri di sebelah Ayu. Ingin meraih nampan namun secara mendadak nampan itu diangkat dan diletakkan di kepala.

Ayu melirik ke arah Soera yang melongo melihat nampan bambu dibawa dengan mudah oleh seorang gadis—terlebih lagi di kepala. "Kau bawa nampan sisanya juga plastik yang ada di sebelah. Jangan lamban. Ikuti aku segera." 

Mengerutkan alis, Soera meraih tiga nampan, juga plastik di sebelah. Ia mengangguk ke arah Derma yang masih menggoreng. Peluh mengaliri dahi, kerutan keriput semakin menjadi. Terlebih saat ia menyengir lebar penuh kasih.

Soera langsung mengikuti Ayu dari belakang. Menaruh nampan bambu di kursi penumpang, lalu duduk di kursi sebelah pengemudi. Ada yang aneh dari sekitarnya. Gemerincing kaca tak terdengar di pendengaran. 

Diam-diam, Soera memerhatikan kaca spion, juga kanan kirinya. Tak ada Barong yang terlihat. Namun, saat mobil berjalan dalam kecepatan sedang, mata hijaunya membelalak saat lihat Barong meloncat-loncat dalam beberapa kali tapak, tepat di sebelah mobil Soera dan Ayu mengendara.

Bersyukurlah ia sebab Ayu tak melihat sosok petakilan yang hampir buatnya jantungan, saat tubuh bongsor itu hampir menginjak mobil melintas saat berpijak. Diam-diam Soera menghela napas, menyamankan duduk, dan memilih menatap depan dibanding mengamati Barong dengan sikap bodohnya.

Sungguh sial sebab keheningan mobil buatnya tak nyaman.

Biasanya Satria yang menanyakan kisah hidupnya di Pati, Jawa Tengah. Atau membahas mengenai pekerjaan lamanya, juga pertanyaan absurd yang kadang tak ia jawab. Kini ia hanya bisa mengamati dashboard mobil ataupun jalanan. Ah, omong-omong pertanyaan ....

"Yang meninggal siapa, kalau boleh tahu?"

Sejenak, Ayu hanya diam. Soera pun tak terlalu berharap. Setelah membelokkan mobil, ia baru membuka bibir merah dengan suara pelan, "Bli Artha. Teman sejawat Kak Wayan dalam retail mobil."

Mendengarnya, Soera manggut-manggut mengerti. "Penyakit jantung mendadak? Atau memang penyakit lama?"

Ayu menyipitkan mata. Namun dikendurkan cepat sambil menggelengkan kepala.

"Tidak, bukan penyakit ataupun kecelakaan." Soera mengerutkan alis. Ia menelengkan kepala, menatap Ayu yang bermuka datar.

"Bukan penyakit, bukan kecelakaan ...?" Membelalakkan mata, Soera membuka mulut cepat, "Jangan bilang ...."

Mata cokelat terang sang gadis bergulir ke arahnya, bayang hitam menutupi sebagian wajah Ayu ketika pepohonan menutupi lesak cahaya. Bulu kuduknya merinding.

"Ya, Bli Artha meninggal karena gantung diri."

.    

BarongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang