16

417 102 4
                                    


16.

"Menurutmu Barong itu apa?"

Bukan penjelasan panjang lebar bagaikan dongeng rakyat, justru pertanyaan yang didapat. Mengerutkan alis, Soera balik bertanya, "Bukankah kau yang mau menjelaskannya padaku?"

"Aku mau mendengar dari jawabanmu dulu. Apa yang kau lihat, rasakan, dan tebak?"

Sejenak, Satria terdiam.

Lihat. Sosok Barong yang mereka bicarakan ada di sebelah Soera. Turut mengamati apa yang mereka bicarakan. Kepala bergerak-gerak, mulut mengatup, juga telinga berderik bak jangkrik. 

Rasa. Sedari awal ia bertemu dengan Barong, hanya aura menenangkan yang ia rasa. Rasa hangat, nyaman, juga tak terganggu dengan aura berat selayaknya pertama kali ia menginjak kediaman Wayan. 

Tebak .... Ditanyakan begitu pun begitu banyak yang ingin ia tebak. Prasangka buruk maupun baik terus menerus berputar di otak. Namun jika ditilik—

"Aku bisa melihat sosok Barong secara jelas. Aku tak merasakan apa-apa, kecuali ketenangan. Dan ... tebakanku adalah ... Barong itu sosok penunggu. Atau bisa dibilang sosok penanda bencana seperti yang dulu pernah kubicarakan." Kalimat terakhir diucapkan dengan raut keseriusan.

Satria mengangguk. "Apa saat kecil dulu kau juga pernah melihat sosok yang setali tiga uang layaknya Barong?"

"Maksudmu?"

"Penanda bencana ... itu yang kausebut, bukan? Omonganmu yang begitu yakin akan penanda bencana. Maka pastinya pernyataan itu berdasarkan pengalaman."

Sekelebat ingatan akan wayang Batara Guru ia kenang. Bibir ditipiskan, mata memicing. Satria percaya atau tidak, ia harus bisa menemukan jawaban. Apalagi dari sikap penuh ketenangan yang diperlihatkan Satria. Mau tidak mau, buat Soera penasaran.

"Ya. Dulu saat kecil aku pernah melihat penanda bencana yang lain. Ia hanya muncul saat sebelum kejadian dan menghilang setelahnya. Apa dia memang penanda atau justru keberadaannya adalah pemanggil bencana?"

Walau sebentar, alis hitam Satria mengerut, matanya memicing, juga kilat amarah terlihat. Kali itu tak biasanya pandangan penuh emosi terpancar dari wajah ramah sang pemuda. Soera bahkan sempat merinding, tubuhnya diseret mundur. Saat helaan napas terdengar di sebelahnya, pemuda blasteran mengangkat dagu.

"Bukan pemanggil, Soera. Mereka memang penanda bencana. Mereka tidak bisa mencegah bencana karena mereka membutuhkan seorang medium untuk bisa melakukan sesuatu. Mereka hadir biasanya ke hadapan orang yang memiliki kesadaran spriritual yang selaras. Namun, jika tak ada sinkronisasi antara keduanya, maka tak ada yang bisa mereka perbuat. Lama mereka muncul pun tergantung dari keselarasan. Jika tak terjalin, maka mereka hanya terlihat sebentar. Jika terjalin, akan terlihat dalam jangka waktu lama. Dan kau, Soera—"

Soera mengerjapkan mata saat jemari Satria menunjuk ke arahnya.

"Kau adalah medium Barong yang paling selaras dengannya. Maka hal itulah yang menjawab mengapa ia terus menerus mengikutimu sedari kau menginjakkan kaki di Ngurah Rai."

Mata hijau Soera membelalak. Dengan cepat ia melirik ke arah Barong yang balas menganggukkan kepala. Medium yang selaras? Aku dan Barong? Yang benar saja! "Kenapa aku? Aku bukan orang Bali murni. Aku adalah orang Jawa dan sama sekali tak berkaitan dengan Barong. Kenapa justru aku, bukan seorang pedande atau pemangku? Atau—kenapa bukan kau, yang telah hidup beribu tahun?"

Sang pemuda berambut hitam menatap dengan senyuman kecil. "Akan kujelaskan di lain waktu."

"Fuh, kau tak bisa menjawab? Atau tak mau menjawab, Mas Satria?" Dengkus merendahkan terdengar hingga ke telinga Satria. Namun, sang pemuda tak menghiraukan. Ia tetap diam dan menatap dengan pandangan tak terbaca. Merasa kalah, Soera pun melanjutkan pembicaraan. "Jika begitu ... adanya Barong hingga kini, berarti menandakan suatu bencana yang akan terjadi?"

Satria mengangguk. "Ya. Akan ada bencana yang lebih besar yang terjadi apabila tak bisa kita cegah."

"Contohnya? Gunung Agung?" Kilas pembicaaan di sawah juga pencarian di situs daring buat Soera teringat.

"Tidak. Gunung Agung ... sementara waktu kupastikan tenang. Aku sudah menenangkan 'beliau' saat dirinya terbangun."

Soera mengerutkan alis. "Beliau? Terbangun? Apa maksudmu?"

Sialnya Satria lagi-lagi tak menjawab.

"Yang pasti ... peristiwa yang akan terjadi akan berpengaruh pada kehidupan sekitar. Baik itu kematian, kecelakaan, penyakit, ataupun gangguan mental. Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka sama saja kita membiarkan virus menyebar. Tugas kita kali ini hanyalah untuk menjaga keseimbangan alam."

Gempa bumi Yogya dan Tasikmalaya tentu buat Soera diam. Peristiwa yang buatnya yakin akan keberadaan penanda bencana. Degup jantungnya bertalu, darah seakan naik hingga ke ubun. Ada sesuatu yang buatnya menggebu. Seakan ia akan menghadapi sesuatu yang buruk.

Setidaknya jika ia bisa berguna sebelum dirinya mati ... maka ia akan menerimanya dengan senang hati. "... Lalu apa yang bisa kulakukan?" Soera bertanya dengan keteguhan.

Satria berdiri dari duduknya. Menepuk celana juga telapak tangan, lalu berkacak pinggang menatap matahari terbenam.

"Latihan. Aku akan mengajarimu cara bersinkronisasi dengan Barong."

.

p.s : Kalau ada notif apdetan chapter sebelumnya tadi, itu brarti ada yang saya ubah di bagian cerita (sedikit). Kalau mau mengecek, silakan logout, login, lalu cek cerita ini kembali ya wakakkakaa

BarongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang