14

399 106 20
                                    


14.

Ada satu alasan mengapa Soera bersikap lebih ketus dari biasanya.

Satria tak kunjung memberinya jawaban atas pernyataan di Tanah Lot. Setelah mengatakan hal—yang sepertinya penting, ia langsung mengibaskan tangan sambil tertawa kecil. Tak puas dengan jawaban hampa, Soera kembali bertanya saat di kediaman Wayan.

"Jangan ditanya, Soera. Berat. Biar aku saja," Satria mengucap sambil menggenggam tangan.

Soera mendesis. Ia melepas tangan sambil berkata penuh penekanan, "Mas, jangan bercanda, Mas. Saya serius. Apa maksudnya melihat mereka ribuan tahun?"

"Eh, kalau saya Dilan, berarti namanya jadi Satrilan, ya. Kalau kamu jadi Soelea. Soelea dan Satrilan. Duo S. Bisa diplesetin jadi Duo Serigala. Nanti saya beli roti bulat dulu buat sumpalan." Satria tertawa terbahak-bahak. Soera menatap tak percaya.

"Mas!"

"Ssshhh, Soera! Kalau tak ada angin bertiup, takkan pohon bergoyang. Kalau tak ada dangdut, Abang enggak goyang!"

Dan Satria meninggalkannya.

Tarik-ulur itulah yang buat Soera jengah. Terlebih ia tak bisa tertawa dengan lawakan recehan ala Satria—walau sebenarnya ia penasaran apa yang lucu dari lawakan tak jelas.

"Awannya hitam."

Komentar itu buat Soera menengadah. Jaje pisang rai—pisang berbalut parutan kelapa dan adonan tepung beras—terhenti di dekat mulut. Benar. Awan hitam berkumpul di langit sore hari ketika semua petani berkumpul di gubuk. Angin sepoi menerpa tubuh, yang berarti hujan akan turun. Semuanya terdiam menatap awan. Bahkan Satria, yang sedari tadi mengeluarkan guyonan, turut diam. Soera mengerutkan alis heran. Ada apa dengan awan?

"Malam terjadi dua kali."

Suara ringkih terdengar dari arah belakang. Kakek tua yang tadi menepuk pundak, menatap awan bak panggilan kematian. Soera semakin bingung. Malam terjadi dua kali?

"Memangnya ada apa dengan awan hitam dan malam 2 kali?" Soera mencoba bertanya.

"Peristiwa gunung Agung meletus di tahun 1963."

Satrialah yang menjawab dengan pandangan getir terlihat. Belum sempat Soera kembali bertanya, suara ibu di sebelah kanan turut mengucap, "Dulu, malam hari terjadi seakan dua kali. Satu hari penuh gelap gulita. Letusan terdengar hingga buat kepanikan. Hujan pasir terus turun, bahkan memakai payung pun hanya menambah beban. Kata orang tua, telah datang hari kiamat."

Soera terdiam.

"Anak sekolah dipulangkan sebab sampai jam 2 sore langit masih gelap. Lampu petromak dinyalakan. Hujan abu terjadi tiga bulanan dan terakhir hujan pasir satu minggu kira-kira." Ibu di sebelahnya turut bercerita.

"Pertanian jadi rusak, mati semua tanaman, ternak tak mau makan karena rumput bau belerang, rumput kita bawa ke sungai dan dicuci. Kadang mau makan, kadang tidak. Akibatnya ternak jadi kurus."

"Setahun penuh, kami dan orang tua bergotong royong bertani dengan membersihkan pasir terlebih dahulu."

"Pengungsian dikumpulkan ke berbagai tempat, nah. Desa Angsri, dulu Kakek di sana."

"Oh, kata Ibu juga dia bertemu dengan Ayah saat—"

Kisah demi kisah, Soera dengar. Begitu banyak cerita hingga ia sendiri hanya bisa mendengarkan dan diam. Namun, hanya satu orang yang ia perhatikan gerak geriknya.

Satria Wilaga. Pemuda itu memakan pisang dengan pandangan tak terbaca. Sesekali ia menengok ke arah Barong—ya, makhluk itu sekarang entah kenapa berdempetan dengan Satria, sambil mengangguk ataupun menggeleng. Apa mungkin ini berkaitan dengan 'ribuan tahun' itu? Soera hanya bisa menebak sebelum Satria sendiri yang mengutarakan.

"... Juga ...." Pandangan Soera kembali ke kakek tua yang tersenyum lelah.

"Mungkin itu adalah pertanda ... bahwa dewa-dewi marah akibat ketamakan manusia. Semua saling membantai, tak pandang saudara, bahkan juga merebut hak yang bukan miliknya."

Ibu gemuk dengan senyum tipis turut berkata, "Alam murka sebab manusia tak bersyukur apa yang sudah diberikan dewa."

.

Usai bala bantuan dilakukan, Satria dan Soera pulang dalam diam.

Bunyi mesin motor menderu menjadi penghalang kesunyian. Soera hanya bisa menghubungkan berbagai petunjuk dalam diam. Gunung Agung meletus ... adanya Barong ... Satria (kemungkinan) berumur ribuan tahun. Dipanggilnya ia ke Bali untuk membantu ... kemampuannya untuk melihat sosok penanda bencana, juga kisah sendratari Barong.

Barong akan melawan Rangda.

Maka bisa disimpulkan jika tujuan Barong ada di sekitarnya adalah untuk menghalau niat buruk Rangda. Dan jika Barong masih ada di pandangannya, berarti ....

Semua kejadian bunuh diri yang terjadi kini, hanyalah awal dari bencana.

.

.

BarongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang