22

368 92 3
                                    


22.

Bom Bali, 12 Oktober 2002.

Dua ledakan besar menghantam deretan klub goyang di Legian, Kuta. Satu ledakan terjadi di dekat kedutaan Amerika. Dua ratusan orang berbagai negara meninggal dunia, 200-an mengalami luka-luka.

Asap disertai kilauan cahaya api menjulang tinggi hingga 100 meter. Mayat bergelimpangan, potongan tubuh manusia berceceran di segala arah. Jeritan mengumandang di dalam bangunan yang masih berkobar. Teriakan minta tolong, panas, ataupun kesakitan dalam berbagai bahasa hanya bisa didengar dari pinggir jalan. Penduduk sekitar bergotong royong menyelamatkan warga yang terluka.

Namun, tak ada yang bisa dilakukan bagi Soera ataupun Barong. Mereka hanya bisa melihat jalanan yang dipenuhi kerumunan, kini berubah menjadi lautan mayat. Asap membumbung tinggi membelah langit. Jerit demi jerit hanya bisa didengar bagaikan paduan suara.

Lagi, rasa sesak menyerang diri. Barong menundukkan badan, tubuhnya bergerak-gerak bak kesakitan. Soera pun merasakan hal yang sama. Ia tahu apa yang dirasakan Barong saat melihat berbagai bencana yang tak bisa ia cegah. Ia tahu bagaimana penyesalan yang terus menerus dirasakan ketika mengetahui ketidakberdayaannya.

Ia tahu dan sangat mengerti apa yang dirasakan sang perlambang kebajikan.

Hatinya sesak, napasnya tercekat. Soera kesulitan mengambil napas. Hingga ia mencengkeram dada, bermaksud menghentikan kesakitan.

'—Soer—'

Jika saja ia bisa menggunakan kekuatannya ....

'—ra—'

Jika saja ia mampu menyelamatkan semua orang yang menderita ....

'Soe—'

Jika saj—

"SOERA!"

Mata hijau membelalak.

Tepat saat itulah ia baru bisa mengambil napas. Dadanya naik turun tak beraturan. Tubuhnya bergemetar. Napas ia hirup sebanyak mungkin, lalu diembus pelan mengikuti perintah. Satria memegangi tubuhnya, memberikan air putih juga mengelap peluh yang mengalir di dahinya.

Tak sadar bahwasanya ia kini tergeletak di lantai kamar Satria. Ia hanya bisa menetralkan napas juga menelaah keadaan.

Apa yang terjadi? Ingin sekali ia ucap, namun suaranya seakan tercekat. Tak ingin kalah dengan keadaan tubuhnya, Soera pun mendongak, membuka mulut untuk bisa bertanya.

Namun, bukan pertanyaan yang keluar ... justru isakanlah yang terdengar.

Air mata mengalir di pipi sawo matang. Soera mengerutkan alisnya. Ia segera mengusap dengan lengan. Sialnya, air mata itu terus menerus jatuh tanpa ia pinta. Bahunya kini bergerak-gerak, ia menangis tanpa bisa ia hentikan.

Perasaan yang sedari tadi ia tahan, kini bisa ia lampiaskan. Soera menggelengkan kepala dengan perlahan.

"Tenanglah, Soera." Tubuh Soera direngkuh dua lengan sawo matang. Punggungnya dielus-elus, mencoba menenangkan tubuh Soera yang masih bergemetar.

"Semua itu bukan salahmu. Ingatan itu semua hanyalah masa lalu."

Kilasan mata kosong sang gadis, juga mayat bergelimpangan buatnya semakin terisak.

Satria menghela napas. Senyum sedih tetap tergaris di bibirnya. "Kita memang tak bisa mengubah masa lalu. Kita hanya bisa mempelajari apa kesalahan dulu dan memperbaikinya di masa sekarang. Waktu tak akan menunggu siapa pun. Karena itu, manusialah yang harus mengejar waktu. Termasuk ... waktu akan hidupnya sendiri."

Soera mengambil napas panjang lalu mengembusnya. Ia menenangkan diri dengan memfokuskan diri pada omongan Satria. Setidaknya suara pemuda di dekatnya lebih baik dibanding jeritan kesakitan yang terus mengumandang di kepalanya.

"Sinkronisasimu kini berjalan baik. Kau sudah bisa mencapai tahap merasakan perasaan Barong. Selanjutnya, kita akan belajar lebih lagi untuk fisik juga meditasi. Tubuhmu masih ringkih. Secuil perasaan sudah buatmu begini."

Mendengarnya, Soera mengerutkan alis. Ia melepaskan diri, lalu menatap tajam ke arah Satria yang menyengir.

Dipukulnya wajah Satria dengan buku terdekat yang bisa diraihnya, Soera pun keluar dari kamar tanpa bicara satu kata. Satria menjerit kesakitan, sambil mengusap wajah yang kini terasa panas. "Oi, Soera Jahanaaam! Kau anak durhaka! Air susu dibalas air anu! Lihat saja kau akan ku—"

Ucapan Satria tak didengar, Soera pun merebahkan diri di atas ranjang kamar pribadinya.

.

BarongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang