15.
Peristiwa gunung Agung meletus di tahun 1963 menelan korban lebih dari 1.500 orang, juga materi vulkanik terbang lebih dari 14.000 kilometer—bahkan sampai ke Singapura. Disebutkan, suhu bumi pun turun 0,4 derajat Celcius.
Letusan masih berlangsung dari 02 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964. Sebanyak 1.700 rumah hancur, 225.000 orang hilang mata pencaharian, dan 100 orang mengungsi.
Soera mengerutkan alis. Pantas saja mereka menyebutkan alam murka. Menekan berita rekomendasi di layar, ia kembali membaca berita daring yang sedari malam ia baca.
Menurut geologis, tentu peristiwa itu terjadi sebab peristiwa alam. Menurut tradisional, peristiwa itu terjadi sebagai pertanda akan terjadinya bencana. Lebih tepatnya ... gerakan 30 September PKI. Namun, ada juga yang mengaitkan dengan keguncangan politik hingga buat masyarakat terbagi-bagi sesuai pilihan.
Sama dengan apa yang terjadi letusnya gunung Agung di akhir November 2017.
Berbagai kemungkinan terus menerus digunjingkan. Apalagi mengingat dulu di tahun 1963, peristiwa itu dijadikan suatu penanda datangnya bencana. Kemungkinan di tahun 2018 akan terjadi hal yang sama pun turut diutarakan.
Sama seperti dirinya, yang terjebak dengan adanya Barong di dekatnya, yang seakan menandai akan terjadi sesuatu di sekitarnya. Bisa saja peristiwa alam atau memang ulah manusia.
Semakin yakinlah, jika bunuh diri yang kini terjadi pun sama penyebabnya. Ketamakan manusia yang buat alam murka. Keegoisan manusia yang menginginkan adanya kelebihan dari manusia lainnya. Padahal bukankah semua memiliki kelebihan masing-masing? Kuat burung karena sayap, kuat ketam karena sepit. Peribahasa itu sudah merangkul apa yang terjadi kini, bukan?
Soera menekan jidatnya. Lagi-lagi sakit mulai terasa. Ia pun meminum obat dengan cepat lalu merebahkan diri di ranjang. Syukurnya belakangan kegiatan tari di pendopo sedang diliburkan selama seminggu penuh. Maka kegiatannya belakangan hanya dipenuhi dengan bersantai di kediaman ataupun mengikuti perintah Satria.
Ketukan kecil di pintu buat Soera mendongak. Telinga Barong bergerak-gerak, kepala didongakkan. Maka dipastikan hanya satu orang yang bisa ia pastikan. Mas Satria. Atau Bang Satria. Atau Bang-Sat. Oke, memikirkan nama julukan, sedikitnya buat dentum di kepala mereda.
Saat kepala Satria melongok, senyum tersungging di bibir Soera. Hah, benar, bukan?
"Soera ... bisa minta waktumu sebentar?"
Ada hal yang tak biasa saat ia mengutarakan pernyataan. Sama seperti saat ia mengatakannya di Tanah Lot beberapa hari kemarin. Soera pun mengangkat tubuh, duduk di pinggir ranjang, lalu menunggu. "Ya?"
Satria tak kunjung mengucap.
Mengerutkan alis, Soera hampir membuka mulut saat omongannya diputus dalam sekejap. "Bisa kita keluar sebentar? Kau belum jalan-jalan ke pantai Kuta, bukan? Mau ikut denganku?"
Soera mengerjapkan mata. Lagi-lagi ia diseret ke parkiran, duduk di kursi belakang motor, lalu membelah jalanan ramai dengan Satria, bak pasangan sedang kencan. Sialnya ia tak bisa menikmati perjalanan sebab Barong menempel di punggungnya. Oke, kini ia tak akan mengatai acara televisi yang menceritakan 'ketiban'. Beban berat Barong hampir sama dengan tiga karung beras. Mau tak mau, Soera turut menempel di punggung Satria sambil menggemeretakkan giginya.
Berat, Bu. Berat. Dilan atau siapalah itu, tolong bawa Barong dari punggungnya. Soera hanya bisa mengharap tanpa jawaban.
.
Angin sepoi panas menerpa tubuh untuk kesekian kalinya. Rasanya ia ingin kembali pulang, lalu menikmati ademnya suasana rumah Wayan (walau di kali pertama ia menginjak, rasanya ada hawa berat yang terasa). Ia memandang ke sebelah kanan, di mana Satria masih melongo menatap laut di kejauhan. Ada apa ini? Apa yang diinginkan Satria?
"Kau mau membicarakan masalah pernyataanmu dulu?"
Satria diam.
"Kau mau bercerita tentang gunung Agung meletus?"
Satria masih diam. Soera yang tak sabaran.
"Bagaimana kalau bicarakan masalah Barong terlebih dahulu?"
Kini, Satria menatapnya. Bukan dengan pandangan bodoh seperti tadi terlihat. Namun dengan raut ketegasan yang beberapa kali ia lihat.
"Ya, akan kujelaskan terlebih dahulu masalah Barong. Waktu kita begitu sempit, Soera. Dengarkan baik-baik, tanyakan jika kau tak mengerti. Aku akan memberitahumu dengan singkat juga cepat."
Maka yang bisa dilakukan Soera saat itu hanyalah diam mendengarkan.
.
Bersambung. hHAHAHAHAHAHAH
Caw 3 hari dulu yash. Jadi bayar cerita di muka. (Soalnya ini kudu diapdet tiap hari cyin. Doakan saiah yaahh)
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasySejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...