25. Angin berputar, ombak bersambung
Sama seperti kejadian yang lampau, kasus kali ini pun hanya menemui jalan buntu. Angin berputar, ombak bersambung. Tak ada petunjuk mengenai pelaku, tak ada bukti yang mengarah pada siapa pun.
Tentu hal ini sangatlah aneh. Bunuh diri seakan menjadi suatu virus, menjangkiti satu demi satu, menumbangkan mereka sendiri ke alam kubur.
Satria menjadi lebih kaku. Ia berwajah kusut juga seringkali terdiam memikirkan sesuatu. Arah pandang biasanya berpindah pada Soera, namun ketika ia ingin mengucap, segera ia tahan entah sebab apa. Ayu pun sejak hari itu tak terlihat di sekitarnya. Bli Wayan bilang, ia sedang menyiapkan pertunjukan sendratari untuk bulan depan. Karena itu waktunya dipakai untuk latihan.
Kondisi Soera kian membaik. Memar sudah tak terasa sakit, lecet sudah sembuh, dan ia siap berlatih fisik juga meditasi penuh. Maka segeralah ia melakukan pola latihan seperti dulu terus menerus. Ia juga mendengarkan apa yang diberitahukan Satria ketika mencoba menyelami pikiran Barong.
Semakin lama, ia mulai terbiasa dengan berbagai ingatan yang berputar di otak selama sinkronisasi berlangsung. Hingga kini pun ia bisa melihat sekeliling—dunia aslinya, tanpa harus tenggelam dalam ingatan beruntun. Sialnya, sinkronisasi mereka tak bisa berlangsung lama. Satria menyemangati, ia yakin kalau Soera bisa lebih lama menyatu dengan Barong.
Semoga saja. Soera hanya bisa berharap.
.
"Bli Soera mau jadi model saya?"
Kalimat itu diucapkan di pagi hari, saat Soera dan Satria selesai sarapan. Soera mengerjapkan mata, bingung untuk mengucap apa. Ia menatap ke arah Satria yang kini memperhatikan Wayan dalam diam. Namun, tak berapa lama wajahnya ceria dan menyengir lebar, "Hehe, kok saya tidak ditawari, Bli?"
"Eeeh, saya sudah bilang, nah? Bli Satria tidak sedap dipandang. Hari ini juga Bli mau ke pura bertemu pedanda dan pemangku, nah? Jangan bolos, beliau sudah mau menyempatkan bertemu itu," Bli Wayan menasehati, Satria mencibir.
"Ingat, ingat. Apa salahnya mencoba, Bli? Mau dilukis kapankah? Besok? Saya mau melihat lukisan Bli."
Bli wayan menggeleng, "Besok saya ada jadwal. Sekarang waktunya tepat. Ya, Bli Soera? Mau jadi model saya?"
Menanggapi tatapan Bli Wayan juga Satria, Soera hanya bisa mengangguk kaku. Wajah penuh kebahagiaan juga kecewa terlihat di kedua pria di depannya. Bli Wayan tersenyum senang, Satria mencibirkan bibirnya.
.
"Kenal Bli Satria, di mana?"
Soera yang membetulkan kemben songket di bagian dekat lutut, mengerjapkan matanya. Bli Wayan sedang menyiapkan alat lukis dengan kanvas di tengah ruang lukisnya. Soera—setelah dipakaikan baju adat Bali milik Wayan, Payas Agung—pun beradaptasi dengan tumpukan kain melilit tubuh. Di Pati, ia bahkan tak pernah dipakaikan baju adat. Selain tak punya uang, Soera pun tak tertarik. Kesejahteraan ibu juga saudaralah yang utama, begitu pikirnya dulu.
"Dari dulu saya tidak bertemu langsung. Saya dengar Bli Satria dari Mbok Nesia saja saat beliau pulang kampung," Soera menjawab sambil berdiri. Ia menggerakkan lengan yang terasa berkeringat sebab bagian sana yang tak tertutup kain.
Bli Wayan mengangguk. Ia meminta Soera menggenggam keris sambil berdiri miring. Soera pun hanya bisa mengikuti sambil berdiri kaku. Bli Wayan menggelengkan kepala, ia pun menghampiri dan menyentuh lengan, bagian dekat ketiak, juga pinggang untuk mengarahkan. Umpal di dada juga saput di samping tubuh dibetulkan. Dominasi ungu dan biru tua mewarna kain songket yang dipinjami Wayan.
"Mbok Nesia memang kenal Bli Satria dari lama?"
Sejenak, Soera terdiam. Ada sesuatu hal yang buat ia tak ingin membicarakan Satria lebih lama. Menipiskan bibirnya, ia pun mengangguk. "Ya, Mbok bekerja untuknya sedari ia direkrut sebagai pembantu pribadi."
Bunyi goresan demi goresan, Soera dengar. Ia mencoba untuk tidak melirik ke arah Wayan (lehernya pegal, juga sesak napas). Keheningan itu kembali buyar saat Wayan kembali bertanya, "Apakah Satria bekerja di keagamaan? Aku lihat auranya begitu berbeda dengan orang kebanyakan. Ia begitu ... tenang. Terlalu tenang untuk seukuran pemuda sepertinya."
Kali ini, Soera yakin untuk mengilah. "Mungkin. Tapi saya kurang tahu hal itu. Saya baru kenal dengannya, kautahu?"
Dari sana Bli Wayan tidak bertanya lebih dalam. Ia fokus dengan lukisan, hingga selesai saat petang. Soera menghela napas panjang saat melepaskan baju adat. Setidaknya ia tak harus menahan napas saat proses lukisan. Saat membereskan kain, mendadak Bli Wayan berdiri di belakang tubuhnya.
Napas hangat menguar di dekat telinga, Soera bahkan membeliakkan mata ketika jemari dingin menyentuh pipinya. "Bli Soera juga berbeda."
"Aura Bli terasa dingin—sejuk dirasa. Kau dan Satria sama-sama beraura berbeda dengan kebanyakan. Apakah benar kau baru mengenalnya?"
Sontak, Soera menepis jemari di pipi dan berbalik ke arah Wayan. "Saya baru kenal. Permisi!"
Kaki dihentak meninggalkan ruang pribadi Wayan. Ia menelusuri jalan setapak taman hingga ke tangga menuju kamar. Aura berat kembali terasa. Gemerincing kaca Barong pun nyaris tak terdengar. Ah, omong-omong Barong ... saat ia dilukis tadi, sosoknya sama sekali tak terlihat. Apa dia menunggu di luar ruangan selama proses? Sebab kini ia bisa merasakan Barong di dekatnya, namun aura berat—ia melangkah lebih lama, ada asap aneh yang menguar di sekitar, juga bau ... bakaran yang bisa diendus olehnya—lebih terasa dibanding sang pembela kebajikan.
Harusnya Soera segera turun dan pergi dari tangga. Namun, Satria pernah berkata bahwa kamar pribadinya lebih aman dari kamar mana pun. Maka dipercepatnya langkah, ia naik tangga tanpa kesulitan dan berada dekat dengan pintu kamar.
Belum sempat ia menyentuh kenop pintunya, mendadak sekelebat putih menyerta wajah.
Rangda berada tepat di hadapan.
Napas panas menguar di sekitar. Mata belok merah bergerak-gerak, taring digesek hingga berbunyi nyaring menyakitkan telinga. Seringai lebar buat Soera membeliakkan mata.
Raungan Barong terdengar di belakang tubuhnya dan dalam sekejap Rangda menghilang. Namun, belum sempat ia masuk ke kamar, pandangannya menggelap.
Gelap, gelap, gelap.
Hingga Soera tenggelam dalam buaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasySejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...