28.
Mata Ayu membeliak, wajah terkejutnya terlihat kentara. Ia segera berbalik, menyeret pinggul agar mendekati sosok Wayan yang berdiri di pintu.
"K-Kak, Kak Wayan kenapa ...? Bukankah ka—"
"Ayu."
Panggilan nama itu berbeda dari biasanya. Suara ramah tamah tak terdengar, tergantikan dengan nada dingin dengan pandangan bosan.
Bli Wayan mengedikkan kepala ke arah Soera. Namun mata masih tertuju pada wanita yang kini diam penuh ketakutan. "Seperti ini saja ... aku harus turun tangan?"
"A-aku bisa menghadapi—"
"Berhentilah membual, Ayu. Sudahlah. Aku butuh Rangdamu. Bisakah kau berikan padaku?"
Ayu membuka mulutnya lalu menutup cepat. Suaranya seakan tercekat. Ia hanya bisa mendongak, memandang tunangan yang sudah ia kenal seluk beluk sifatnya. Dengan perlahan ia pun mundur, menghindar dari pandangan yang tentu buatnya takut.
"Kalau aku menolak?" Ayu menyunggingkan senyum, berlagak seakan tak gentar menghadapi tunangannya yang turut tersenyum lebar.
"Kau sudah mengenalku lama. Kautahu sendiri jawabannya."
Dua mata saling pandang. Dengan gerakan cepat, Ayu semakin mundur ke belakang, berkebalikan dengan Wayan yang ingin meraih tubuh sang tunangan. Tepat sedikit lagi ia menggenggam, Soera menepis tangan Wayan lalu menarik tubuh Ayu ke dekat Satria. Dengan sigap, Soera bersikap kuda-kuda di depan Ayu juga Satria. "Tidak semudah itu, Bli," Soera mengucap dengan penuh kewaspadaan.
Tangan Ayu bergemetar selayaknya tremor juga dengan kepala nyeri buatnya menahan raung. Ia menggigit bibirnya keras-keras hingga darah keluar dari dalam mulut. Satria membeliak terkejut.
"Rangda menolak ketidakpatuhan Ayu. Sial, keadaan ini gawat. Ayu, bisakah kau menekan Rangda dari dalam dirimu?" Satria berujar sembari mengambil berbagai benda berpotensi tajam—cutter juga pisau tadi yang dibawa Ayu— dan mengumpulkannya menjadi satu. Ia mengaitkannya dengan selimut, lalu membawanya di bahu.
Setidaknya ia harus menyelamatkan Ayu, jikalau Rangda memanipulasinya untuk menusuk tubuh. Satria menyentuh tangan Ayu yang bergemetar. Refleks, ia melepas sambil mengibaskan tangan. "Panas seperti terbakar .... Fuh, kau makhluk keras kepala, hei, Rangda."
Mata Ayu berubah-ubah menjadi merah juga cokelat tua. Pandangannya pun turut berbeda, dari kesakitan menjadi mengerut penuh amarah.
Bli Wayan mengangkat alisnya. Ia pun mendengkus sambil membentangkan tangan.
"Kaupikir, dengan bersembunyi di balik musuh, kau akan aman sepenuhnya? Ayu, Ayu, kau memang lugu."
Satria mendongakkan wajah. "Kau sendiri juga merasa aman, Bli? Sepandai-pandainya tupat melompat, akhirnya kayang juga. Tiga lawan satu. Kupastikan kau akan menangis tersedu di akhir kisah sendratari ini, Bli Wayan."
Wayan tersenyum. Tangannya masih terbentang, membuka mulutnya dengan kepongahan yang masih terasa. Sontak, bulu kuduk Satria merinding. Ia menatap Soera yang juga terpaku dengan gerakan Wayan. Ada sesuatu yang aneh dari dalam diri Wayan. Aura hitam seakan menyelimutinya.
"Soera! Bawa pergi Wayan dari sini! Cegah dia melakukan sesuatu!"
Soera mengikuti perintah dan segera mendorong tubuh Wayan keluar pintu. Barong turut mengeluarkan kekuatan hingga aura putih menyelimuti pria di dalam genggaman.
Wayan tertawa terbahak-bahak. "Kaupikir, aku tak meninggalkan cinderamata di dalam tubuhmu selama kau memiliki Rangda, Ayu?!"
Di tengah-tengah kesakitannya, Ayu membeliakkan mata. "Bli Wayan ... kau—"
"Ambil yang menjadi hakmu, berikan keajaiban padaku. Ambil rahim itu dan jadilah kekuatanku! RANGDA!"
Ayu menjerit kencang. Tubuhnya rubuh ke depan hingga menggelepar. Ia menggenggam perut hingga bajunya ditarik kencang. Satria mencoba meraih tangan Ayu yang seakan ingin mencabik kebaya, namun rasa panas menjalar di satu tubuh. Dengan keras kepala, Satria kembali menggenggam lengan kecil sang penari, ia cengkeram hingga asap bakaran terbau di sekeliling.
"Ayu, tenangkan dirimu. Ayu!"
"SAKIT!! SAKIT! PANAS! HENTIKAN ... HENTIKAN! B-BLI—AAAHH!"
Kebaya terbuka memperlihatkan perut Ayu. Dengan perlahan, keluarlah keris dari dalam perut. Satria membeliak saat menatap keris hitam itu. Tangan bergemetar sebab kesakitan menyeluruh, Satria mencoba meraih keris yang menyembul. Sialnya, begitu terjatuh, keris itu pun mengawang dan sosok Rangda kembali muncul.
Dengan gigi taring tajamnya, Rangda tertawa penuh kepuasan. Ia meloncat meninggalkan Ayu, lalu merasuki tubuh Wayan hingga sang pria juga Soera terjatuh. Dengan cepat keadaan berbalik, Wayan bangun, lalu membalikkan tubuh. Leher Soera ia cengkeram.
Seringai keji terpampang di wajah tampan Bli Wayan. Soera dengan susah payah mengerjapkan mata dan mencengkeram tangan yang kini mencekik kuat-kuat.
"Kau kudapatkan—BARONG!"
.
A/N : Seriusan ini peribahasa kampret ngajak gelud cem eek
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
ФэнтезиSejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...