17.
Lari keliling lapangan. Sit up. Push up. Squat jump. Lari lagi. Ulang, ulang, ulang, dan diulang.
Hela napas panjang diembuskan pemuda blasteran sambil tergeletak di rerumputan. Bagian dahi hingga mata ditutup handuk basah. Ia masih mengatur napas. Mengabaikan peluitan lelaki yang kini menghampiri dirinya yang masih menggeletak.
"Soera! Laki kenapa loyo! Maannnaa semangattnyaa??" Satria menyenggol kaki Soera dengan sepatunya. Soera tak menjawab. Dadanya naik turun seiring ia menyesuaikan napas.
Kepalanya terasa panas. Badannya basah oleh keringat. Terakhir kali ia melakukan olahraga sepertinya saat sekolah. Sisanya ia hanya mencari pekerjaan serabutan walau sering kali dipecat mendadak. Entah karena pemilik toko yang sensitif atau dirinya yang begitu mudah dibenci orang.
Menghela napas—lagi, dinginnya handuk menghilang dari sekitar wajahnya. Satria mengangkat handuk penyelamat dan melemparnya ke ember di sebelah. Soera masih memejam mata. Sebal dengan teriknya matahari juga celotehan Satria.
"Soera. Kau sendiri yang mau menjadi medium, bukan? Tak mungkin kau menyerah begitu saja, bukan?"
Dengan cepat, Soera mengambil napas dalam-dalam. Ia mengembuskan seiring tubuhnya ditegakkan dan memicing tajam menatap ke arah Satria yang berjongkok di sebelah.
"Aku ... hhh ... ingin ... menja—hhh—di mediumh ... bukanh ... atlet ...," Soera mengucap lamat-lamat. Wajah Satria mengerut kecewa.
"Aku tak menyuruhmu menjadi atlet. Aku memintamu menjadi medium. Ayolah! Sedikit lagi, Soera! Kamu pasti bisa! Ayo berjuang!" Satria berlagak seperti pemandu sorak di tayangan televisi berlatar kekaisaran Jepang. Mengangkat tangan lalu menggoyangkan bak memiliki pom-pom di tangan, lalu berkata, 'Soera pasti bisaa! Doakan Soera, yaa!'
Soera menatap Satria bak malaikat pencabut nyawa. Tak perlu berkata, ia hanya bangkit dari rumput lapangan kosong, lalu meraih plastik berisikan botol minum berukuran 1,5 liter. Cemoohan Satria, ia abaikan. Ia lebih memilih meneguk air putih banyak-banyak. Latihan sedari subuh telah dilakukan hingga siang. Latihan fisik, begitu kata Satria. Apabila fisik kuat, maka batinnya juga. Berhati baja, berurat kawat. Seperti itulah penggambaran dari sang pemuda berambut hitam—walau dalam hati Soera tak percaya.
Ia mengelap peluh dengan handuk kering dari tas selempang miliknya. Sesekali mengibaskan kaos tipisnya, lalu berdecak kesal. "Mas, maksud latihan ini apa, ya? Memang apa hubungannya ini dengan Baro—Mas, sedang apa?" Ia mengerutkan alis melihat Satria yang melingkarkan sebuah tali di pinggang. Mendongak, Satria menyengir lebar.
Bunyi gonggongan terdengar dari arah belakang Satria. Mata hijau Soera membelalak lebar. Refleks, ia segera berlari kencang. Menerjang jalanan, melewati kawanan gadis yang membawakan banten di kepala, juga menyusuri gang sempit tanpa pikir panjang. Barong turut mengejar Soera dengan bunyi bergemerincing terdengar kencang. Mulut mengatup tanda ia senang, berbeda dengan pemuda blasteran yang kini melewati persawahan.
"ANNJJIIIINGGGGGGG!!!!!!!!!!"
Gelak tawa terdengar dari arah belakang anjing liar. Satria tertawa terbahak-bahak sambil turut berlari kencang. Daging dan tulang yang diikat di pinggang Soera terseret di jalanan. Bagai film komedi, menggunakan makanan dilumurkan vitamin buat korban berlari cepat. "Ya, benar, Soera! Kawasan ini banyak—anjiinggg!!"
.
Aura hitam menguar dari diri Soera.
Menyipitkan mata, merapatkan bibir, sambil menyeruput teh botol hingga berbunyi nyaring. Ia sudah menghabiskan 2 piring makan juga 3 botol minuman. Tak menghiraukan permintaan maaf Satria ataupun kekehan kecil sang pemuda. Ia masih memelototi pinggir jalan dari tempat duduk warung makan, melihat jalan raya yang lengang.
"Soera ... maaf, yaa. Maksudku enggak begitu, kok. Itu biar kamu semangat ajaa. Larimu lebih kencang dari sebelumnya. Tuh, kamu bisaaa lebih kuat kalau kamu diseriuskan." Dan ucapan yang lain namun tetap diabaikan.
Kaki Soera berdenyut-denyut. Telapak kakinya terasa kapalan dan panas. Sungguh sial nasibnya hari ini. Maka ia pun beranjak dari warung, membiarkan Satria yang dengan segera menanyakan total harga.
Ia melangkah ke arah jalanan. Menelusuri jalan raya sambil tertatih sebab kesakitan. Dari warung itu, ia tinggal menyeberang, lalu masuk ke dalam gang kecil, dan sampailah ia di kediaman Wayan. Memikirkan ranjang empuk buatnya semangat. Maka dilaluinya jalan sambil menengok ke arah kiri dan kanan.
Saat ia menapak, mata hijaunya menangkap sosok putih berbulu lebat di pinggir seberang jalan. Mata belok berwarna merah melotot ke arahnya. Taring tajam bergerak-gerak bak mencari mangsa. Di belakang sosok putih itu terlihat seorang gadis berwajah elok yang seolah bersembunyi di kerumunan. Gadis itu—
"SOERA!"
Dalam sekejap, tubuhnya ditarik ke belakang. Tangan dan kaki terseret di tanah bebatuan hingga rasa panas terasa 2 kali lipat dari sebelumnya. Ia pun mengerjap-ngerjapkan mata. Seakan tersadar dengan keadaan sekitar yang kini ramai dilihat.
Satria meneriakkan namanya tepat di samping tubuh yang masih tergeletak di tanah bebatuan. Truk besar terparkir di tengah jalan—dengan kenek supir yang turun sambil bertanya keadaannya. Kerumunan warga berbisik-bisik melihat adanya kecelakaan yang hampir terjadi di depan mata. Beberapa bapak-bapak memakai udeng pun mengelilingi sekitar dengan pandangan penasaran. Namun, bukan itu semua yang menjadi perhatian Soera.
Melainkan sosok gadis juga makhluk berbulu putih yang tadi ia lihat, telah menghilang.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasySejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...