21
Di antara segerombolan orang itu tidaklah terlihat Satria. Entah kenapa yang dipikirkan Soera di saat genting seperti ini, ia malah mencari-cari sosok keberadaan pemuda yang bahkan baru dikenalnya beberapa minggu. Namun, omongannya mengenai dirinya yang berusia ribuan tahun, juga kekuatan yang berbeda dengan manusia biasa ... tentu buat dirinya berpikiran macam-macam. Apakah ia seperti Barong—sosok penanda bencana? Atau bentuk lain dari penanda?
Akan tetapi fisiknya ia yakini adalah manusia asli yang bisa disentuh ataupun diajak bicara. Sikapnya pun seperti lelaki berusia 20-an tahun. Tak ada yang aneh, terkecuali kaki yang mendadak sembuh dalam sekejap. Merapatkan bibir, Soera hanya bisa memperhatikan keadaan perang sekarang.
Perang itu Soera sendiri tidak tahu di mana dan siapa. Jika sedari tadi berada di Bali, apakah perang ini juga berada di pulau yang sama? Melirik ke arah pintu gerbang yang dipijaknya, dengan bebatuan yang ditumpuk berbentuk khas Bali, maka ia yakini dugaannya memang benar.
Ia sendiri pun tak bisa berbuat banyak pada perang yang terjadi. Mayat terus menerus bergelimpangan, namun para pemuda pemudi yang berlarian seakan tak takut akan kematian. Musuh mereka memiliki senjata berlaras panjang ataupun meriam yang bisa membunuh dalam sekejap. Sementara mereka hanya memiliki keris juga tombak yang jika dilempar pun hanya bisa menghabisi satu dua nyawa.
Perang Puputan. Terus berperang hingga penghabisan nyawa. Mau tidak mau itulah yang terpikirkan Soera saat melihat pergolakan masyarakat Bali melawan Belanda.
Sosok Barongnya kini pun terlihat transparan. Berbeda dengan sebelumnya yang fisik bisa diserang dan menyerang Rangda. Yang ia pastikan, bahwa Barong sendiri kini hanya berperan sebagai penanda bencana. Sama seperti wayang Batara Guru yang hanya bisa melihat bencana alam.
Mendadak, mata Barong yang ia miliki berkedip-kedip cepat. Ia memandang ke satu arah, di mana seorang pemudi yang berlari dari arah seberang melihatnya—atau lebih tepatnya ke arah Barong—dengan mata terbelalak. Sontak Barong menelengkan kepala, kupingnya bergerak-gerak senang. Seakan memiliki sebuah harapan di dalam keputusasaan.
Barong pun meloncat, tepat saat pemudi itu menghindar dari serangan senjata lawan. Namun, bersamaan dengan pertemuan sang gadis juga sang perlambang kebajikan yang tinggal selangkah, dada pemudi itu tertembak peluru lawan.
Mata cokelat tua sang gadis membeliak. Ia jatuh tergeletak, dengan genangan darah mengelilingi tubuhnya. Soera hanya bisa menatap bagaimana mata cokelat tua itu bergerak perlahan ke atas, tepat ke arah mereka berdua. Tak ada yang terucap, seiring dengan sinar matanya yang lambat laun kosong.
Kepala Barong tertunduk. Ia merebahkan diri di samping mayat sang gadis. Kepalanya disentuh sama seperti saat ia mendekatkan diri pada Soera. Ingatan demi ingatan sang gadis terputar di kepala bagai rol film kehidupan.
Di tengah peperangan yang semakin lama menimbulkan banyak mayat penduduk bergelimpangan, jeritan kesakitan, raungan kemarahan, juga tangis penderitaan ... Barong hanya bisa diam. Ada rasa sesak yang masuk ke dalam dada Soera. Rasa sesak yang buat napasnya tercekat. Wajahnya pun terasa memanas.
Sialnya sosoknya kini seakan tak bisa menangis. Sehingga perasaan sakit juga sesak hanya bisa dirasakan tanpa bisa ia lepas.
.
.
"Ada uang Abang disayang, tak ada uang Abang ditendang!"
Bahasa Indonesia berlogat bule itu diiringi dengan gelak tawa. Soera mengerjapkan mata.
Kini ia berada di jalanan yang memancarkan kelap kelip cahaya. Musik kencang berdentum memekakkan telinga. Kawanan muda-mudi berjalan ataupun bercengkerama di dalam klub goyang. Beberapa orang berseragam pramusaji mondar-mandir sibuk dengan tugasnya.
Soera kini berdiri di atas tiang listrik, melihat ke bawah, memperhatikan keadaan di bawah sana.
Ia pun menipiskan bibir.
Klub goyang .... malam hari ... Barong, sang penanda bencana ....
Seketika mata hijau Soera membeliak. Jangan bilang—
Ledakan besar terjadi tanpa bisa dihentikan.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasySejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...