19.
Ukiran batu menghiasi pendopo yang didominasi warna merah bata untuk tiang, abu untuk lantai bebatuan, juga hitam untuk atap dan langit-langit. Pohon rindang mengelilingi pendopo, kolam teratai di balik pagar batu sebagai latar pemandangan indah.
Seorang pria bertubuh besar—dengan mahkota kerajaan di kepala—duduk di singgasana sambil menikmati pemandangan, tempatnya melepas penat. Kain tersampir di pundak hingga pinggang, selendang diikat di pinggang. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berkulit kuning langsat duduk anggun dengan senyum terpatri. Kain bertumpuk berwarna warni dengan hiasan bunga melilit tubuh ramping. Beberapa dayang istana pun turut mengelilingi.
Mereka terlihat berbicara, namun hanya suara redam yang terdengar di telinga. Sang wanita mengangguk pelan, lalu menunduk dengan penuh kepatuhan.
'... Sampun, Prabu Yudistira ....'
Soera mau tidak mau mengerutkan alisnya heran. Prabu Yudistira? Ada di mana ia sekarang? Zaman kerajaan? Raja siapa? Rentetan pertanyaan dipikirkan namun tak ada yang menjawab. Samar-samar ia mendengar suara ... yang mirip dengan logat Bli Wayan. Kerajaan Balikah?
Tak mendapat jawaban dari sekitar, ia menatap ke arah telapak tangan. Transparan. Tubuhnya bak hantu di film horor—tak bisa memegang apa pun di sekitar. Ia pun sudah mencoba meraih dayang di dekatnya, namun tangan menembus badan. Maka bisa disimpulkan, jika ia hanya bisa mengamati keadaan.
Belum sempat ia bergumam mengomentari keanehan, mendadak wajah sang wanita terlihat buram. Wajah itu seakan berbayang—dan kini berganti menjadi muram. Latar keadaan pun berubah menjadi sebuah ruangan besar. Sang wanita tergeletak di ranjang dengan 2 orang pria menggenggam jemari lentik yang menggigil bak kedinginan. Dua pria itu saling pandang, heran dengan kondisi sang wanita. Tabib masuk setelah mendapat panggilan pria yang tadi disebut sebagai Prabu Yudistira. Di antara kalimat panjang yang tak ia mengerti, ada dua nama yang ia tangkap. Dewi Kunti juga Sadewa. Menebak-nebak, maka sang wanita adalah Dewi Kunti, pria satunya adalah Sadewa.
Dewi Kunti terlihat ringkih, sesekali mengelus perut ramping. Mencoba mencari jawaban, Soera mendekati sang wanita. Wanita itu lagi-lagi wajahnya terlihat berbayang. Sama seperti apa yang ia lihat sebelumnya. Jika tadi berubah muram, sekarang berubah menjadi ....
Wajah bagaikan Rangda.
Sontak Soera memundurkan langkah hingga terjatuh ke belakang. "Ra-Rangda?! Jangan bilang—ini semua kisah Barong saat zaman kerajaan?"
'Kau benar, Soera.'
"Mas? Mas Satria?!" Nihil. Sosok sang pemuda tak terlihat di sekitar. Suaranya hanya menggema dalam pikiran. "Mas, jelaskan apa yang terjadi?!"
'Carilah jawabanmu sendiri.'
"Jawaban? Aku bahkan tidak mengerti apa yang mereka bicarakan! Sampai kapan aku ada di dunia ini? Bukankah katamu meditasi?!" Mau tidak mau, Soera menjerit panik.
'Asal ada, kecil pun pada. Lebih baik mendapat sedikit, daripada tidak sama sekali.'
"Satri—"
Keadaan berubah menjadi Dewi Kunti menyerang Sadewa juga tabib yang tadi mengobatinya. Wanita itu seakan kerasukan Rangda—melihat wajahnya yang berganti-ganti dari wanita cantik ke wanita bergigi tajam juga bermata belok kemerahan. Mendadak, ia membawa Sadewa pergi dari istana. Meloncat ke jendela dan menghilang bak ditelan hujan.
Belum sempat Soera mengejar, lagi-lagi latar berubah di hutan, dengan Sadewa diikat di pohon beringin. Mengerutkan alis, kebingungan dengan apa yang terjadi, Soera hanya bisa menatap sekeliling. Saat sekelebat bayang putih terbang di depannya, barulah ia sadar akan Rangda yang kini mendekati Sadewa. Ia tertawa puas, bahkan hingga bulu putihnya bergerak-gerak sembarang arah.
Sontak Soera mengingat kisah sendratari Barong saat ia menonton pertunjukkan. Ya, Rangda memang menginginkan Sadewa untuk dijadikan persembahan. Sebab dulu Rangdalah yang membantu Dewi Kunti saat kesakitan mengandung Sadewa. Sebagai balasan, putra Dewi Kunti yang diminta sebagai hadiah.
"Kalau begitu ... sebentar lagi Rangda akan pergi?"
Dan benarlah, tak lama Rangda pergi meninggalkan Sadewa, yang kini meratapi diri menunggu kematian. Saat itulah, sekuntum bunga putih muncul secara tiba-tiba lalu tersemat di telinga Sadewa. Rangda kembali membawa Kalika—peran keponakan Rangda, yang dulu pernah diperankan Ayu.
Ketika Rangda menghantamkan tongkat ke kepala Sadewa, ia justru terpental dan memuntahkan darah. Tongkat yang digenggam pun luluh lantak. Melihat kondisi Rangda, Kalika segera menyerang Sadewa. Bukannya membunuh, Kalika justru hanya bisa merusak tali yang mengikat Sadewa.
Rangda merasuki Kalika dan menyerang Sadewa hingga kewalahan. Melihat keadaan tak sebanding, bunga putih itu pun memancarkan cahaya terang benderang. Dari dalam tubuh Soera, ada rasa panas yang membara. Ia berteriak kencang, tubuhnya bagai diselimuti bulu hitam. Kedua tangan dan kakinya menapak tanah. Ia hanya bisa memejam mata, tak kuat akan rasa panas yang menggelora di dada.
Ketika ia dongakkan wajah, gemerincing kaca terdengar di telinga. Ia pun mengerjapkan mata yang entah kenapa dua kali lebih berat. Gigi ia katup, hingga bunyi ketukan nyaring terdengar. Gemerincing? Kerjapan mata? Gigi mengatup?
"BARONG!" Jeritan menggelegar terdengar dari arah depan. Rangda murka melihat dirinya. Dirinya?
Saat itulah, ia tersadar bahwa Rangda bukan melihat sosok Soera yang pemuda blasteran. Melainkan sosok Barong, raja dari kebaikan—yang juga lawan hidup dan matinya.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasySejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...