11

466 112 4
                                    



11.

Kasus bunuh diri kembali terjadi.

Kejadian terjadi di tengah malam, menimpa kepala keluarga Abdita. Untungnya, peristiwa itu masih bisa dihentikan oleh sanak keluarga.

Soera menatap Bli Wayan yang menunduk sedih saat dengar kabar di ponselnya. Pundaknya menurun, alis bertaut. Bahkan suaranya terdengar serak beberapa kali. Ayu menghampiri, lalu mengelus punggung sang tunangan, mencoba memberi semangat.

Semakin lama, semakin banyak peristiwa bunuh diri yang terjadi. Baik itu di Gianyar ataupun di kota lain. Keanehan demi keanehan terus bertandang. Namun, ada satu hal yang lebih aneh terasa.

Satria lebih diam dari biasanya.

Hal itu tentu buat Soera sedikit jengah. Biasanya Satria tertawa lebar, menggoda Soera yang balik ketus menjawab. Sekarang senyuman bahkan hanya beberapa kali terlihat. Tentu, ia selalu mencoba bersikap selayaknya biasa. Namun, bagi Soera, perubahan sikap itu sangat terasa.

Terlebih saat ia kadang tak fokus saat diajak bicara. Beberapa kali ia melihat Satria yang menelepon seseorang dengan berbisik-bisik penuh rahasia. Sama seperti pemuda berambut hitam, Barong pun berlaku tak jauh berbeda. Privasi Soera lebih menipis dari sebelumnya. Terkadang saat ia mandi, mendadak sosok berbulu masuk ke dalam. Ia lebih menempel 24 jam. Tak terhitung berapa kali bulu kasar itu mengenai hidung, hingga ia bersin ataupun batuk kencang.

Keadaan Bli Wayan pun semakin memprihatinkan. Belum lepas dari suasana duka hilangnya sahabat, kini ia dihadapkan dengan adanya berita percobaan bunuh diri yang selanjutnya. Kantung matanya membesar, sorot mata lebih sayu dari yang biasa. Senyum terlihat terpaksa dengan sudut bibir ditarik ke atas. Berbeda dengan pertama kali ia mengenal Wayan. Pribadi kuat juga hangat bagaikan matahari yang bersinar.

Hanya dia dan Ayu yang tak banyak berubah. Tak berubah dalam maksud Ayu tetap ketus dan sombong seperti biasa. Dirinya yang sama berkata menohok juga tak ramah.

Saat ia melihat keadaan Bli Wayan yang tertidur di kursi meja makan, mau tak mau Soera merasa khawatir dengan keadaan.

"Bli? Bangun, Bli?" Kepala Wayan mendadak mendongak, gelagapan seakan panik dengan keadaan. Dua kali mengerjap, ia baru menghela napas lega saat tatap wajah Soera yang datar. Ia pun mengangguk pelan, menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Maaf, Bli. Saya ketiduran. Semalam saya ikut ronda malam."

Soera mengangguk paham. "Sudah makan? Mau saya belikan sarapan di Mbok Komang?"

Dengan senyum kecil, Wayan menggelengkan kepala. "Nah, Bli. Matur suksma. Subuh tadi saya sudah makan bersama."

Hening sejenak. Tak ada perbincangan yang bisa diutarakan. Soera memainkan patung kecil lelaki gendut menepuk perut di dekat tangannya. Beberapa kali menatap ke arah Bli Wayan yang kini menunduk penuh kesedihan.

"Dia ...."

Soera mendongak cepat. Wayan menipiskan bibir, lalu menggeleng kepala. Mencoba menguatkan, refleks pemuda blasteran itu pun menggenggam jemari sang pemilik rumah. Mata Wayan membuka, seakan kaget beberapa saat, tetapi segera merilekskan tubuhnya.

"Sahabatku, Bli Artha adalah orang yang ramah dan selalu ceria. Bahkan tak memiliki musuh dalam usahanya. Ia tak pernah terlihat susah ... sekalipun ia sedih, pasti selalu bercerita," Wayan menghela napas panjang, "rasanya aku merasa aku bukanlah sahabat yang baik untuknya. Dan sekarang ... hal yang sama hampir terjadi kepada Abdita .... Aku tak bisa berbuat apa-apa. Mereka meninggalkanku dengan cepat. Teman macam apa aku?"

Soera menguatkan genggaman. Mata hijaunya memandang ke arah mata cokelat tua Bli Wayan.

Bayang-bayang akan dirinya yang ditinggalkan orang yang ia anggap sahabat, berkeliaran di dalam pikiran. Raut benci, muka beringas, ataupun kata menyakitkan ia kenang. Ia sadari dirinya selalu berkata ketus hingga buat temannya sakit hati. Walau kasus mereka berbeda, ada satu kesamaan pada dirinya dan Wayan.

Perasaan tertinggal.

"Akal tak sekali datang, runding tak sekali tiba." 

Tanpa bisa dihentikan, Soera mengucap. Baik dirinya ataupun Wayan saling tatap. Kepalang basah, ia pun melanjutkan. Setidaknya ia harus bisa mengubah diri sedikit demi sedikit, jika tak ingin masa lalu terulang. 

"Semua pasti bisa terselesaikan, Bli. Walau lambat dan berat, tapi aku yakin masalah ini akan terlewat." Wayan hanya bisa terdiam. Soera mengendurkan genggaman.

"Aku pun selalu ditinggalkan teman. Bahkan bisa dibilang ... aku tak memiliki teman yang bertahan lama. Tetapi, kau berbeda denganku, bukan? Kau adalah panutan warga. Bertahanlah, Wayan. Kau pasti bisa melewati masalah ini semua."

Mendengar itu, Wayan balik menguatkan genggaman tangan. Mata cokelatnya memandang mata hijau Soera yang menggelap. Dengan suara serak, ia pun bergumam, "Terima kasih, Soera."

Soera hanya bisa membalas dengan anggukkan. Namun, ada satu hal yang ingin ia katakan walau susah. Dirapatkan bibirnya, ia pun bertanya, "Apa ...." 

Wayan mengangkat wajah, tersenyum pilu dengan senyuman terpaksa. "Ya, Bli?" 

"... Apa ... apakah mungkin kejadian ini semua berhubungan dengan Rangda?"

.

.

.

BarongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang