03.
Berbeda dengan pertama kali ia melihat sekitar rumah yang auranya terasa berat. Uap panas seakan menyelimuti dirinya. Kegelapan merambah dari segala arah. Tentu, itu hanyalah imajinasinya belaka. Namun rasa berat yang terasa buatnya tak nyaman.
Ketika sepatu ia jejakkan di halaman dalam rumah, justru kesejukan yang terasa. Angin sepoi berasal dari belakang rumah, juga bagian pendopo dan pura kecil yang terbuka. Silir-semilir buat mata turut memejam penuh keteduhan. Rasanya seakan ia berada di pegunungan.
Pendopo berada di belakang pura kecil; berlapisi kerajinan kayu juga patung wanita berdiri cantik di antara tanaman. Gemericik air terdengar dari kolam ikan yang ada di dekat pintu masuk ruangan. Mata hijau mengerjap pelan.
"Pendopo digunakan untuk berkumpul. Kalau ada upacara biasanya dipakai untuk menyiapkan banten," Satria menjelaskan. Pandangan Soera berubah ke arah pemuda berambut hitam ikal.
"Banten?"
"Sesajen, dalam arti lainnya."
Soera mengangguk mengerti. Ibu jari si pemuda blasteran ditunjuk ke arah pura kecil. "Yang itu buat upacara, nggih?"
"Yep. Betul! Pura kecil atau juga bisa disebut dengan sanggah. Di setiap kamar juga ada tempat kecil diletakkan di atas, itu dinamakan plangkiran," Satria menjelaskan bak pemandu wisata dadakan. Soera mengamati sekeliling sambil manggut-manggut mengerti. Barong yang ada di belakangnya, mengangguk mengikuti.
Mendadak teringat, Satria menepuk jidatnya keras. "Ah, iya! Aku cari Bli Wayan dulu sebentar. Aku lupa belum menanyakan kamarmu di mana. Tunggu, ya! Sek, sek!"
Memperhatikan punggung Satria yang menghilang di balik pintu ruangan dekat kolam, Soera pun berjalan ke arah yang sama, mengamati dengan penasaran. Kolam yang biasa ia lihat di desa hanyalah kolam pemancingan. Itu pun juga airnya butek, dengan para lelaki pengangguran bertebaran. Kadang kalau ia bosan, ia pasti mengisi waktu dengan membantu bapak-bapak menangkap ikan. Lumayan untuk lauk tambahan.
Dalam sekejap, bunyi gemerincing Barong hilang dari pendengaran.
Pantulan air kolam tidaklah menunjukkan rupa wajahnya. Bukan seorang Soera yang dianugerahi wajah kotak, hidung bangir dengan mata belok kehijauan. Melainkan sosok pria berwajah oval tegas, alis menukik tajam, dengan mahkota kerajaan di atas kepala. Ia tak mengenalnya. Bukan wajah ayahnya, tentu. Bukan juga wajah kakak pertamanya. Entah kapan ia pernah melihatnya ... entah di mana ....
"Ragane ... nyen ngajak mai—kamu ... siapa yang ajak kemari?" Satu embusan napas menerpa telinga sensitif.
Sontak Soera berbalik, refleks meninju wajah asing. Sialnya sosok itu dengan mudah menangkap pergelangan tangan, lalu mencengkeram erat. Sosoknya adalah seorang pria bertubuh tegap tinggi. Mata cokelat tua sang pria menatap penasaran. Alis menukik tajam, hidung mancung, dengan bibir tipis. Rambut hitamnya ditutupi udeng berwarna putih—topi khas bali. Rahangnya tegas, otot bibirnya tertarik ke atas kala ia geli melihat muka Soera yang memerah.
Lama tak mendapat balas, lelaki itu pun kembali bertanya dengan bahasa Indonesia diselingi dialek Bali kental. "Kamu siapa? Teman Satria? Teman?"
"... Ya, saya temannya Satria .... Mas siapa?" Kali ini Soera mengambil jarak, setelah tangannya dilepas. Ia memasang tampang sengit.
"I Wayan Bhadreswara. Panggil saya Bli Wayan."
"Soe—"
"AAH! Bli Wayan! Kenken Bli! Dari tadi kucari! Gorila di pelupuk mata tak terlihat, eek di seberang samudra kelihatan!" Derap kaki terdengar dari lantai dua. Tangga dituruni, hingga sosok pemuda berambut hitam ikal terlihat tergopoh-gopoh menghampiri.
"Iwah tu, Bli—salah itu, Bli. Gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut di seber—"
"Eits! Jangan masalahkan hal kecil, nggih! Soera, ini Bli Wayan. Pemilik rumah gedong yang kita tempati sementara waktu ini. Bli, ini Soera. Saudara jauh dari Mbok."
"Saudara Mbok Nesia? Ooh, salam kenal Bli Soera. Senang bertemu denganmu."
Soera mengangguk. Tas selempangnya turun ketika ia menunduk.
"Ah, daripada berlama ... Bli, bisa tunjukkan kamar Soera? Kasihan dia, sepertinya dia pusing sebab masuk angin."
Mendengarnya, alis hitam Bli Wayan naik. "Masuk angin? Mau saya kerok pijat?"
Alis Soera berkedut pelan, dengan cepat ia menggeleng menolak. "Mboten, mboten. Enggak usah, Mas. Saya mau tidur aja." Demi kolor Paijo-Si-Gembul-Tetangga-Sebelah, sekilas ia melihat raut kecewa yang diperlihatkan Bli Wayan.
"Nah, ikut saya. Bli Satria, makanan ada di dapur. Kalau mau makan silakan, nah!"
"Ada sate lilit?" Mata Satria berbinar cemerlang. Kian bertambah, saat Bli Wayan mengangguk pelan. "Matur suksmaaaaaaa, Bli!!!!! Sate liliitt!"
Mengabaikan gegap gempita dari penjemputnya, Soera menggeret koper kecilnya menaiki tangga. Ia mengedarkan pandangan. Lagi-lagi, kerajinan tangan khas Bali tersebar di mana-mana. Matanya bahkan sempat melotot saat lihat patung wanita kecil dengan dada telanjang—dua tonjolan kecil pun turut dibuat dengan sempurna.
Kamarnya adalah kamar kecil dengan satu ranjang, meja, kursi, juga lemari sedang. Lukisan dua penari Bali diletakkan di tembok dekat ranjang. Ada kotak kecil kayu yang diletakkan di atas kamar—yang ia tebak sebagai plangkiran. Jendela ada di sebelah pintu kayu. Menaruh koper dan tas, Soera menunduk. Gerak geriknya begitu aneh, seakan menahan sesuatu.
Bli Wayan mengangkat alis. Sadar akan keanehan yang terjadi. "Ada apa, Bli? Mau BAB? Bisa ke pojokan sana, ada WC."
"Bukan BAB," sergah Soera cepat, ia berdeham kecil lalu berbisik pelan, "mm .... Ma ... mm, te-terima ka ... uh, saya enggak sopan tadi."
Muka Wayan langsung sumringah. "Enggak apa, Bli! Saya juga yang salah mengerjai. Bli pusing? Mau saya ambilkan obat? Obat?" Dialek Bali lagi-lagi terdengar, Soera hampir menarik senyum saat mendengarnya.
"Mboten, Mas. Saya tidur aja. Enggak apa, kan, kalau tamu langsung tidur?"
"Nah, sing engken—enggak apa-apa. Kalau perlu sesuatu, bisa ketuk kamar pojok di bawah atau sebelahmu, nah? Saya tidur sendiri di bawah. Bli Satria di sebelah. Nanti saya bawakan teh hangat."
"Nggih, Mas, eh, Bli. Matur suwun." Soera kembali menunduk.
Menganggukkan kepala, Bli Wayan pun tersenyum. Senyum yang terbilang aneh sebab otot pipi tertarik namun mata tak menyipit. Mata hijau Soera menatap waspada. Entah mengapa reaksi Barong saat menginjak kediaman kembali teringat. Tak lama, pintu pun ditutup pelan.
Menghela napas panjang, Soera pun membaringkan badan. Ia memejam, kepenatan juga pusing tak juga hilang. Ah, ya, obat. Maka diminumnya obat keseharian, lalu kembali telentang di atas ranjang. Ia mengerucutkan bibir juga mengerutkan wajah.
Barong, aura kediaman, bayangan kolam, dan sekarang tatapan Bli Wayan. Entah ia yang paranoid atau memang banyak keanehan yang terjadi. Barong mungkin ia bisa menerima, sebab ia pun terbiasa melihat sosok wayang ataupun patung bergerak dengan sendirinya. Sebagian ia kenali dengan roh halus, akan tetapi beberapa juga bisa disebut penunggu. Semakin berpikir, semakin cepat otaknya meremas-remas. Hanya satu pinta yang ia harap, bersamaan dengan helaan napas lelah.
Semoga esok bukan hari yang buruk.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasySejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...