05.
Pendopo tari Ganendra yang Soera datangi, dipenuhi banyak wisatawan. Lokal ataupun luar semua berdatangan dengan kamera ataupun ponsel di tangan.
Namun, bukan menaiki tangga dan berfoto dengan satu penari yang Soera lakukan. Ia berjalan mengintili Satria yang kini berjalan memutar ke belakang pendopo. Pintu kecil ia lewati, mengedarkan pandangan ke beberapa pria yang berbincang dengan celana lurik bermotif hitam putih.
Tugas mereka adalah mengantarkan kue bagi para penari juga panitia pendopo. Dengan sebelumnya, Satria mengambil sepuluh nampan bambu yang berisikan kue basah juga gorengan dari rumah tetangga sebelah. Di perjalanan, Soera mendapat informasi bahwa pemuda-semi-pengangguran itu menyediakan jasa mengantar barang. Ibu yang menjual kue tersebut sudah tua renta. Keriput hampir di seluruh wajah juga rambut putih merontok buat Soera terenyuh melihatnya.
"Beliau telah ditinggal putra-putri juga sanak saudara."
Soera mengerjapkan mata saat mereka telah di dalam mobil, bersiap ke tujuan. Ia menipiskan bibir dan bertanya, "Pergi merantau?"
"Mungkin," Satria tersenyum kecut, "kabar terakhir yang diterima Dadong Derma hanya sepucuk surat maaf. Selanjutnya mereka pergi membawa harta juga tabungan."
"Mas membantu Dadong Derma setelahnya?"
Satria melirik ke arah Soera dengan senyuman kecil. "Tidak, dari dulu Bli Wayan yang membantu para warga yang kesusahan. Usaha retail perlengkapan kendaraannya berjalan sukses. Sangat disyukuri ia mau menyediakan dana untuk sekitar. Aku hanya membantu tak seberapa dibanding Bli Wayan. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Setidaknya kesejahteraan warga juga menjadi tanggung jawabku."
"Tanggung jawabmu? Memang kau kepala desa?"
Satria tak menjawab. Barong yang ada di kursi penumpang juga tak biasanya diam. Merasakan keanehan, Soera hanya bisa menatap jalanan yang kini berbelok ke arah pendopo besar di ujung jalan.
.
.
Selesai menata kue juga gorengan, Soera mendengar gamelan Bali mengumandang. Mengelap keringat, ia menatap ke arah belakang layar, tempat para penari bersiap-siap—menepuk bedak, mengaitkan kain, ataupun berlatih gerakan. Barong di belakang Soera bergerak-gerak senang. Entah karena apa.
Di tengah kerumunan orang bersiap, ada satu sosok yang buat mata hijau tak berhenti menatap. Kilau-mengilau bak permata. Auranya sungguh berbeda dari banyaknya penari di sana. Hiasan kepala juga pakaian penari yang melekat di tubuh eloknya. Pandangannya tajam—entah sebab make-up yang tergaris tegas, dengan bibir penuh berpoles gincu. Ia memfokuskan diri pada pertunjukkan. Segala keributan di belakang tubuhnya ia tak acuhkan. Satu penari yang berhiaskan kepala juga pakaian yang sama, menghampiri dirinya. Penari itu berbisik sebentar, lalu sang gadis elok mengangguk tanpa melepaskan pandangan di depan.
Mendadak, tubuh Soera ditarik kencang ke arah belakang. Satrialah pelakunya. "Kau ingin melihat pertunjukkan, bukan? Kemarilah wahai perjaka ting-ting!"
"Pe-perjaka ting-ti—o, OI!"
Tubuh ditarik tanpa jeda, tungkai Satria melangkah panjang. Soera mati-matian mengikutinya dari belakang. Beberapa wisatawan menatap keduanya saat muncul dari samping pentas pertunjukkan.
Satria mendudukkan Soera di deretan kursi tengah. Tepat di sebelah bule lelaki pirang namun berwajah oriental dengan partner pria asia berambut hitam. Bule itu mengangguk ramah, mengucap dalam bahasa (kiranya) Jepang namun tak bisa Soera tangkap.
Gamelan berbunyi lebih kencang, dua gadis penari masuk ke dalam pentas. Mengibas kipas sambil menggoyangkan pinggul seirama. Mata kedua penari terlihat melotot tajam. Empat jari tangan kiri didempet, bersamaan dengan gerakan luwes badan ke kanan dan kiri. Salah satu penari adalah gadis yang Soera perhatikan sedari tadi. Ia begitu cantik. Dari samping saja terlihat menarik, apalagi dari depan yang pastinya terlihat apik.
Tak berapa lama, kedua penari itu berputar, lalu masuk ke dalam pintu pemisah—antara pentas dengan belakang layar.
Dari sanalah, barong memasuki pentas.
Soera mengerjapkan mata. Ia mengedarkan pandangan, mencari sosok Barong yang biasa mengintilinya. Nihil. Tak ada Barong di belakang ataupun di samping.
Barong yang berada di pentas pertunjukkan tentu adalah barong buatan yang berisikan dua orang penari pria. Bukan Barong si penunggu yang sosoknya hanya terlihat di mata Soera, namun transparan ke orang lain. Seharusnya ....
Entah kenapa ... gerakan Barong yang ada di pentas begitu luwes. Terlalu luwes seakan memang sosok asli paduan singa, macan, sapi dan naga. Gerak-geriknya juga bagai Barong yang Soera kenal. Apa jangan-jangan ....
Belum lama prasangka itu dituduhkan, sosok roh Barong keluar dari tubuh barong buatan yang kini mendadak tergeletak. Kera yang menemani barong di dalam pentas pertunjukkan mendadak diam saat melihat tubuh barong ambruk bak diserang topan. Roh Barong meloncat tinggi ke arah belakang Soera dalam sekejap. Gemerincing kaca terdengar di telinga Soera, bertepatan saat ia menengok ke belakang. Barong menelengkan kepala, mengerjapkan mata bertingkah polos seperti anak-anak.
Kera di pentas segera mengimprovisasi keadaan. Ia meloncat-loncat, lalu menarik tubuh barong kuat-kuat namun gagal—berlagak seakan iseng membangunkan barong yang tertidur pulas. Tak lama, kedua pria di dalam tubuh barong itu pun bangun, menganalisis keadaan dan segera bergerak mengikuti naskah.
Soera menghela napas saat melihat barong juga kera keluar dari pentas. Ia melirik tajam pada Barong yang mengatupkan mulut juga menggerakkan telinga seperti minta perhatian.
Jangan ulangi lagi. Soera mencoba mengirim telepati. Sialnya Barong hanya menggeleng menimpali.
Oh Tuhan, apa mau si Barong ini?
.
.
* Dadong - sebutan Nenek. (kalau Kakek itu Pekak)
*Perhatikan 'Barong' juga barong di atas yak. Keduanya berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasySejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...