06.
"Ida Ayu Komang Waranggani. Tunangan Bli Wayan. Panggil saja dia Mbok Ayu, ya, Soera!"
Gadis elok itu berada di hadapan. Tinggi menjulang untuk seorang gadis, dengan tatapan tajam terarah padanya. Satria bahkan hampir sebanding tinggi dengannya. Sementara Soera lebih pendek sedikit dari keduanya—tapi tetap saja, ego sebagai lelaki diperlihatkan. Ia membusungkan dada, beberapa kali menjinjit seakan tak mau kalah.
"Panggil 'Ayu' saja, Satria. Sudah kuingatkan berapa kali, bukan," Ayu mengoreksi dengan nada ketus. Ia bersedekap sambil mengangkat dagu.
"Ooh, nggih, Ndoro. Soera, panggil dia Dadong Ayu, ya!"
Jika tatapan mata bisa mematikan lawan, Satria harusnya sudah meleleh sebab dipandang tajam. Mengabaikan gelak tawa pemuda di sebelahnya, gadis itu memandang ke arah Soera. Helai rambut hitam yang diikat tinggi turut bergoyang. Kulit kuning langsatnya terpancar cahaya bak malaikat. Sulastri si Kembang Desa Pati bahkan tak bisa menandingi kecantikannya.
"Jadi, dia pembantumu? Kau baru menapak di Bali sudah punya pembantu. Kak Wayan saja belum punya. Sok sekali kau dasar penumpang tanpa bayaran." Alis Soera terangkat saat dengar ucapan Ayu yang setajam silet.
"Hei, bukankah kau biasa memerankan utusan Sadewa? Berarti kau siap, 'kan, menjadi utusan Bli Wayan?" Satria menimpali dengan cengiran.
Sepertinya pertengkaran sudah biasa diladeni mereka. Apalagi melihat raut muka angkuh yang diperlihatkan Ayu, juga tatapan menerima tantangan yang diberikan Satria. Beberapa wanita menoleh ke arah mereka dengan tatapan geli namun ditahan. Yang berarti kegiatan ini seperti jadwal keseharian jika Satria mengantar makanan.
Keberisikan masih terdengar hingga kepala Soera lagi-lagi berdenyut kencang. Beberapa tahun ini ia seakan berteman dengan dentum kesakitan di kepala. Dulu, ia pernah dibawa ke rumah saudara ibunya di Belanda untuk pengobatan. Tetapi justru begitu menjejakkan tanah air, sakitnya malah semakin bertandang. Rasanya ingin pulang ke rumah Wayan ... segera tanpa berlama-lama.
Ingin ....
"Satria, kau—"
Pulang ....
"Dadong Ay—"
"Oe, Bajindul Telek."
Sontak dua orang yang bertengkar terdiam. Pandangan mengarah ke arah Soera yang menatap kesal. Logat Jawa kental terdengar dari muka blasteran Belanda-Jawa. Hidung mancung besarnya kembang kempis. Mata hijau melotot garang. Ia pun mengucap dengan bibir tersenyum bak setan, "Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang. Jok ngalor ngidul ra ono gawean, wes cepet pulang."
Ayu dan Satria tak dapat berkata dengan perubahan mendadak di diri Soera.
.
.
Selama perjalanan, Soera memilih diam. Kebiasaan melontarkan pantun kasar saat sakit kepalanya kumat, buatnya ingin mengubur diri dalam kuburan. Ucapan absurd itu terlontar tanpa bisa ia tahan.
Ia pun mengecek ponsel pintar daripada harus berhadapan dengan Satria yang sedari pulang menatapnya tak enak. Mengerutkan alis, ia mencari petunjuk mengenai Barong di pencarian daring. Setidaknya, ia harus tahu dengan makhluk apa yang ia hadapi sekarang. Siapa tahu ia bisa menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan dalam benak.
Sejarah, bentuk fisik, juga cerita mengenai barong yang ia dapat. Ketika mengetik 'roh barong' hanya blog-blog pengalaman yang terjabar juga penjelasan mengenai barong itu sendiri.
Barong adalah raja dari roh-roh yang melambangkan kebaikan.
Mata hijaunya melirik ke arah Barong yang kini menatap ke luar jendela. Asumsi Barong sama dengan Wayang buatnya memikirkan beberapa kemungkinan. Mereka bisa dikatakan baik atau juga buruk. Kehadiran mereka seakan penentu adanya bencana atau tidak. Lagipula ... apa guna keberadaan mereka selain penanda bencana? Dulu, beberapa kali ia melihat Wayang hanya diam tak bergerak. Menatap pilu ke arah langit namun sama sekali tiada guna.
Untuk apa mereka diciptakan? Untuk apa juga ia bisa melihat sosok mereka?
Menutup mata, Soera hanya bisa menenangkan kepala yang lagi-lagi mendentum kencang. Obat telah ia minum namun efeknya belum terasa.
Gemerincing kaca terdengar di pendengaran. Ranjangnya seakan dikelilingi Barong yang kini melayang. Ia pun mendarat tepat di dekat kepala Soera. Kepala berbulu itu menempel ke rambut cokelat tua sang pemuda. Sakit di kepala masihlah terasa, namun entah mengapa ia merasa matanya semakin memberat ... berat, berat ... hingga tak lama ia terlelap.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasySejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...