10

469 120 33
                                    



10.

Rangda.

Dalam bahasa Jawa diartikan sebagai janda. Karena dikhawatirkan menimbulkan kesan tak enak pada wanita janda, maka arti itu pun dihilangkan.

Ia adalah ratu dari para leak. Makhluk yang menakutkan dengan memakan anak kecil juga memimpin pasukan nenek sihir sebab ialah perlambang kejahatan. Dalam sendratari barong, ia digambarkan dengan makhluk bermata belok, mulut menonjol dengan gigi tajam dan besar, bulu putih menghiasi wajah, juga bersifat buas. Persis seperti singa jejadian.

Barong pun sama. Ia berbentuk seperti hewan berkaki empat—maka dari itu dalam sendratari, biasa diperankan dua orang. Kulit berukiran rumit dan ratusan kaca kecil bak permata tersebar di tubuhnya. Berlawanan dengan Rangda, ia adalah perlambang kebaikan walau fisiknya bagai monster.

Dulunya Rangda adalah seorang ratu Mahendradatta yang diasingkan oleh raja Dharmodayana sebab tuduhan melakukan sihir hitam kepada permaisuri kedua raja. Ia membalas dendam, lalu membunuh setengah kerajaan. Harta benda menjadi miliknya dan sang putra, Erlangga. Tragis sebab dalam sendratari pun diceritakan perlawanan Erlangga pada sang ibunda.

Soera menyentuh layar ponsel, menggeser ke bawah hingga ia membaca seluruh informasi di Wewepedia. Beberapa informasi telah ia saring. Selanjutnya tinggal mencari petunjuk ... mungkin dari Ayu atau Satria langsung. 

Intisari yang kini ia dapat adalah Barong musuh Rangda, begitu juga sebaliknya.

Dalam pertunjukkan, sampai akhir pun Rangda dan Barong diceritakan masih berseteru, bahkan hingga sekarang. Ya, tentu saja. Di mana ada kebajikan di sana ada kejahatan. Seakan magnet yang terus ingin bertaut, keduanya tak  bisa dijauhkan satu sama lain.

Mata hijau Soera menatap ke arah Barong yang kini menggaruk leher di atas kasur. Jika keberadaan Barong ada, apa berarti Rangda juga sama? Apa mungkin kejadian bunuh diri yang terjadi sekarang juga ulah Rangda?

Kepala Soera kembali berdenyut-denyut. Menggelengkan kepala, ia meraih plastik obat. Meminumnya, lalu merebahkan diri di atas ranjang. Ia pun memejam mata, menikmati angin sepoi-sepoi.

 Gemerincing kecil terdengar di atas kepala. Tak perlu dilihat, ia tahu Barong kembali tidur di dekat tubuhnya. Walau tak terasa suhu panas, ada secercah rasa hangat yang terasa. Tersenyum kecil, Soera pun tertidur.

.

Pintu diketuk beberapa kali.

Tak ada jawaban. Ketukan kembali terdengar hingga tiga kali. Tetap sunyi. Seharusnya, menyadari tak ada jawaban, si pengetuk segera pergi. Nyatanya Satria Wilaga justru membuka pintu dan memeriksa keadaan.

Mata cokelat tuanya memandang ke arah satu kamar. Aman. Tak ada siapa pun kecuali Soera yang tertidur pulas juga ... Barong yang turut tidur menyentuh rambut. Ketika Satria masuk, kepala Barong diangkat hingga gemerincing kaca mengumandang.

Buru-buru Satria mendesis, menyuruh Barong memelankan bunyi. Ia menapakkan kaki di ruangan sepi. Mendekati pemuda tanggung yang kini menanggung beban atas nasib Bali. Bagai guna alu, sesudah menumbuk dicampakkan. Jika saja tetua tahu apa yang ia rencanakan, sudah pasti tuduhan itu ditujukan padanya.

Senyum getir tergaris di bibir Satria. Ia menghela napas, mengelus helai rambut cokelat tua. Raut wajah sang pemuda terlihat kesakitan, ringisan juga lenguh tak nyaman terdengar. Ia tak bisa berbuat apa-apa, bahkan ketika lihat anaknya diserang penyakit mematikan. Lagi-lagi ia merasa seperti dulu, saat ia masih dalam penjajahan. Disekap, tak tahu keadaan, hanya bisa menunggu dan menerima sakitnya para 'anak-anak'. Sebagai personifikasi Indonesia, ia mengemban hidup seluruh warga—seluruh anak-anaknya.

Peristiwa gunung Agung sudah cukup baginya untuk sadar akan adanya sesuatu yang akan terjadi di pulau dewata. Alam telah menunjukkan kemarahan. Rasa panas yang menggelora di dalam perutnya tentu sudah menjadi suatu pertanda. Masalah demi masalah kian bertandang. Terlebih di tahun depan ... di mana tahun perhelatan perpolitikan. Mendesah lelah, ia menyentuh puncak kepala sang pemuda.

"Jaga dia baik-baik, ya," Satria berbisik pelan ke arah Barong yang balik menatap. Mata belok itu mengerjap, lalu kepalanya dianggukkan seiring dengan bunyi gemerincing kaca. Sang personifikasi Indonesia terkekeh pelan. Ia pun mengelus bulu Barong dengan sayang.

Hanya satu tujuan yang terus mengumandang di diri Satria Wilaga.

Kebahagiaan 'anak-anaknya'.

.

.


BarongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang