29

482 90 32
                                    



29. 

"Kumohon ... tenanglah."

Seorang pemuda berdiri di antara semak belukar, dikelilingi pepohonan menjulang. Ia menatap ke arah langit, mendengarkan gaungan penuh amarah di sekitar. Tanah dan kelopak daun jatuh bergetar hebat, dedaunan di pohon bergemeresak, angin bertiup lebih kencang. Pemuda itu masih tegap menatap ke atas. Tak gentar dengan kemarahan alam yang menuntutnya untuk pergi dari sana.

Kepingan logam bolong bergambar teratai—pis bolong padma bergerak-gerak di dalam genggaman tangan, seakan meminta lepas dari sekapan. Pemuda berambut hitam ikal itu menggenggam lebih erat, lalu memasukkannya ke dalam kantong celana.

"Jangan dengarkan dia. Dia hanya ingin mengadu domba. Ada angin, ada pohonnya. Ada sebab, ada akibat. Manusia memang selalu berbuat dosa, tapi mereka juga berbuat kebaikan walau tak terlihat." Pemuda itu menaikkan suara, ketika kelopak daun terhempas ke arahnya. "Semuanya berjalan seimbang. Baik dengan buruk. Hitam dengan putih. Bukankah sedari dulu memang seperti itu? Kita hanya bisa sekadar mengingatkan, namun caranya pun tidak selalu dengan bencana besar."

Ia menapak ke depan, melawan arah angin yang semakin besar. Tak gentar terus mengucap, walau omongannya ditelan embusan. "Manusia memang salah. Tapi kita akan terlihat lebih salah jika kita seenaknya mengganggu keamanan mereka tanpa sepengetahuan dari-Nya. Patuhi perintah-Nya, bukan melawan-Nya. Kita hanya sebagai perantara. Kau juga aku. Kau sebagai gunung Agung, aku sebagai Indonesia."

Perlahan angin mereda, embusan angin tak lagi menerpa. Kelopak dedaunan berkumpul kembali di tanah, dengan pohon yang masih bergerak pelan. Pemuda itu tersenyum menatap ke arah sekitar.

"Karena itu ... kumohon tenanglah. Aku yang akan bertanggung jawab akan kemarahanmu. Aku akan memperbaiki kesalahanku yang tak bisa segera memantau keadaan sekitarmu."

Angin bertiup membelai tubuh. Kelopak daun hijau muda mengawang di dekat wajah lalu turun di telapak tangan sang pemuda. Mengelus permukaan yang lembut, pemuda itu menarik sudut bibirnya.

"Terima kasih. Dan maafkan kesalahan anak-anakku. Biarkan aku yang mengurusnya sekarang."

Ia pun berbalik, menapaki tanah juga dedaunan, sambil menggenggam kepingan logam di kantong celana. Inilah tugas dari personifikasi Indonesia. Hidup dalam wujud manusia diperuntukkan menyeimbangkan alam dengan manusia, sesama manusia, juga alam dan manusia kepada Tuhan. Jika dulu ia hanya bisa diam disekap dalam penjara personifikasi Belanda, kini ia bisa mengatur kebebasannya untuk memantau anak-anaknya.

Wujud manusianya bernama Satria Wilaga. Indonesia adalah jati diri yang sebenarnya.

Ialah pelindung bagi anak-anaknya. Juga penyeimbang alam; baik alam gaib ataupun nyata.

.

.

Mata cokelat tua menatap awas.

Ia tak panik sedikit pun saat melihat Soera diserang Wayan. Ada Barong yang akan menyelamatkan Soera. Justru Ayu yang tergeletak buatnya cemas. Diangkatnya tubuh sang gadis lalu dibaringkan di ranjang. Ia menyentuh kaki yang tadi dipatahkan Soera, tidak parah—cukup istirahat dan pengembalian tulang pasti bisa sembuh dalam beberapa hari atau minggu. Perut yang tadi mengeluarkan keris hitam—sosok Rangda—pun tak meninggalkan jejak. Rahim yang menjadi tumbal adalah masalah utama bagi gadis yang siap menikah.

Menipiskan bibirnya, Satria mengelus dahi Ayu, menyingkirkan rambut hitam yang menutupi wajah berpeluh. Ia pun segera berbalik, saat mendengar bunyi debam kencang. Wayan menghempas Soera ke lantai bawah. Satria pun keluar dari kamar, saat dengar gumaman suara dari belakang.

BarongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang