13

411 107 14
                                    


13.

Soera menepuk punggung.

Mendesah lelah, lalu mengelap keringat dengan punggung tangan. Lagi-lagi ia harus membungkuk, menanam bibit padi yang sudah berkecambah. Keringat dari leher mengalir ke dagunya. Alis cokelat tuanya mengerut tak nyaman. Matahari bersinar sengit, bahkan menyerang kulit hingga rasanya ia ingin pergi meninggalkan. Sialnya tak bisa.

Kondisinya mereka berada di pematang sawah, jauh dari kediaman Wayan. Lebih tepatnya pematang sawah yang dapat ia lihat gunung Agung dari kejauhan. Dini hari Satria mengajaknya untuk menjadi bala bantuan, sebab katanya ada orang cedera. Ya, memang cedera. Salah satu kakek petani, asam uratnya kambuh hingga tak bisa bergerak. Harusnya tentu bisa dilakukan oleh petani lain, bukan dirinya. Namun, mengatasnamakan kegiatan sosial, Satria bersikukuh mengajak Soera untuk membantu di sawah.

Maka dijadikannya bala bantuan dadakan, dengan ilmu belajar cepat yang diajarkan petani sedari pagi, menanam bibit padi di sawah. Bapak-bapak turut menanam di kanan kirinya. Terkadang gelak tawa terdengar di depan tubuhnya. Satria sendiri bolak balik mengangkut bibit padi, lalu membagikannya dengan gesit. Tak hanya itu, ia pun membantu ibu-ibu mengangkat bakul makanan juga termos kopi ke gubuk sawah. Berbeda dengannya, Satria terlihat sumringah saat berkomunikasi dengan warga Karangasem.

Ketika menanam bibit terakhir, Soera menghela napas panjang. Mendadak, pundaknya ditepuk hingga ia terkesiap. Dipandangnya sosok kakek tua yang tersenyum ke arahnya.

"Neked, Bli?"

Soera memandang bingung. Melihat reaksi tak mengerti dari sang pemuda, kakek itu pun mengoreksi sambil mengulum senyum. "Ampura, nah. Capai, Nak?" Kepalanya turut mengangguk seiring ia berkata. Logat bali kembali didengar—lebih kental dari logat Bli Wayan.

Segera Soera menggeleng dan menjawab sopan, "Nggih, Kek. Saya tidak capai."

"Jangan bohong, Nak. Kids zaman now wajar tak biasa menanam, nah!" Tawa dikeluarkan hingga Soera terkaget dengan 2 hal; gelak tawa kencang melebihi Satria juga lawakan kekinian yang dikeluarkan kakek tua. "Ayuklah, makan, makan! Banyak itu kue yang enak di sana. Cepat, cepat!"

Tubuh Soera didorong ke arah gubuk dekat sawah. Satria menyengir lebar saat melihat kondisi pemuda blasteran. Merengut tak senang, Soera berdiri di dekat ibu-ibu yang masih terkikik sebab lawakan Satria.

Satria buru-buru turun dari gubuk dan menyentuh punggung Soera. Ia mengangguk kecil pada ibu gemuk yang terkikik geli. Segera setelah sang ibu menggeser bokongnya, ia pun mendudukkan Soera di atas tikar anyaman bambu. "Tuan Muda sudah selesai melaksanakan tugas? Pasti Anda begitu lelah. Anda mau kopi atau teh? Saya ambilkan dulu di empang tetangga."

Gelak tawa kembali membahana di gubuk sawah. Hanya Soera yang menatap penuh keheranan. Memangnya apa yang lucu dari lawakan garing Satria?

"Mas, kenapa enggak membantu saya di sawah?" Soera berkata kesal. Senyuman si pemuda konyol masih tergaris di bibirnya.

"Eeee, Tole, Tole! Buat apa saya ajak kamu ke sini kalau saya yang kerja?"

Ibu-ibu tertawa bak seriosa. Sungguh, kalau punya ketapel, sudah ia selepet mulut ibu-ibu satu persatu. Dengan muka bengis, Soera menunjuk muka Satria bak anak kecil yang tak suka ditertawakan, "Mbuhlah! Tak doain kena karma! Semoga Mas mati dicatuk katak!"

"Sssh, Tole Nakal," telunjuk Satria menyentuh manja bibir Soera, "kalau Mas mati, siapa yang hidupin kamu? Kamu masih butuh Mas, Soera."

Siulan dan tawa bahagia dilontarkan para ibu-ibu girang. Beberapa kali kamera diarahkan ke arah Soera dan Satria. Merasa jijik, Soera menepis tangan Satria. Bulu kuduk merinding hingga ia berjengit menjauh. Sialnya, pemuda itu justru semakin gencar menggoda. Memeluk hingga mereka bergumul di atas tikar, lalu ditertawakan ibu juga bapak yang ada di sekitar pematang sawah. 

BarongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang