24

385 91 6
                                    


24. 

Ketika bangun, mata cokelat tualah yang menatap dengan saksama.

Matanya melotot tetapi alis mengerut cemas. Gabungan raut wajah kesal juga kekhawatiran. Pemuda berambut hitam ikal itu bersedekap. Kaki kanannya bergerak-gerak, terlihat menahan amarah.

"Apa lagi yang terjadi?"

Soera tak menjawab. Ia hanya menatap jendela kamar sambil memeriksa kondisi badan. Tubuhnya luka lecet di kaki ataupun lengan. Tangan terasa kebas, beberapa bagian tubuh serasa memar. Setidaknya lukanya tak terlalu parah. Kepala hanya terantuk sedikit namun tak sampai benjol.

"Soera."

Mengambil napas, Soera menatap wajah Satria yang menatapnya cemas. "Aku tidak apa-apa, bukan? Jadi tak masalah—"

"Tetap menjadi masalah," sergah Satria, "kautahu? Selama berada di dekatku, kau menjadi tanggunganku, Soera. Mbok menitipkanmu kepadaku. Sudah tentu luka sedikit apa pun juga menjadi masalah bagiku."

Soera menipiskan bibir. Jelas tak nyaman dengan pandangan tajam juga nasihat pemuda di sebelahnya. "Aku mengerti. Aku akan lebih berhati-hati lagi."

"Berhati-hati? Kau itu—" Omongan Satria terhenti. Ia mengerutkan alis, memandang bingung ke arah Soera yang tak balik menatapnya. "Apa yang kausembunyikan?"

"Tidak ada."

"Tidak ada tapi kau bertindak seperti melindungi sesuatu. Kautahu siapa yang mendorongmu dari tangga?"

Bola mata hijau bergulir ke arah kanan, lalu kembali melotot ke arah pojokan kamar. "Tidak tahu."

Satria menyandarkan punggung di kursi rotan. Ia bersedekap. "Oke. Kuanggap semua ini memang karena kecelakaan. Puas?" Soera tak menjawab.

Menceritakan kenyataan pun belum tentu Satria akan percaya. Ia tak memiliki bukti. Ingatan akan sosok Ayu dan Rangda juga bisa hanya salah lihat ataupun khayalan biasa. Tapi ... 2 kali ia melihat sosok sang gadis saat ia hampir kecelakaan, apakah memang salah lihat? Apalagi sebelum ia pingsan, ia kembali memastikan siapa pendorongnya di puncak tangga. Senyum kecil yang terpatri tentu tak bisa dilupakan. Hanya saja ... kenapa?

Apa salahnya kepada Ayu? Walau mereka memang sering adu mulut, namun pertengkaran itu pun hanya sekadar ucapan sarkas. Jika itu alasan Ayu ingin mencelakainya, bukankah hal itu terlalu berlebihan? Memang, dari ucapan pun seringkali orang bisa membunuh tanpa sempat memikirkan konsekuensi. Akan tetapi, Ayu adalah gadis pintar yang seharusnya tidak termakan ego hatinya hingga bisa berbuat kesalahan 2 kali.

Sosok Rangda yang ada di dekat Ayu pun buatnya tak nyaman. Bagaimana bisa ia diikuti Rangda? Tidak, tidak—terlihat dari interaksi mereka, Ayu sadar akan keberadaannya. Apakah gadis itu sendiri yang memanggil Rangda? Tapi bagaimana cara—

Soera membeliakkan mata. Para korban bunuh diri ataupun kecelakaan yang belakangan terjadi di Gianyar. Ya, seperti kisah Barong dalam sendratari, Rangda bisa memanipulasi manusia untuk saling bunuh ataupun membunuh dirinya sendiri. Apakah ... ia mendapatkan kekuatan dengan memakan roh tersebut?

Belum sempat Soera bisa menjawab, pintu kamarnya diketuk dan dibuka. Wayan juga Ayu terlihat dari balik pintu cokelat. Mau tidak mau, Soera refleks menahan napas.

Ia bahkan tak terlalu mendengarkan apa yang dibicarakan Wayan dengan Satria. Ia hanya fokus dengan gerak gerik Ayu yang terlihat biasa di sebelah tunangannya. Sesekali bahkan gadis itu melihat ke arahnya dengan pandangan datar. Namun, kembali fokus pada pembicaraan Wayan yang menanyakan mengapa belakangan Soera ceroboh saat berjalan. Sosok Rangda tak terlihat. Namun keberadaan Ayu saja sudah cukup buat Soera bagaikan anjing terpanggang ekor.

Tenanglah, Soera. Tenang. Berkali-kali ia yakinkan ia akan baik-baik saja. Satria juga Wayan ada di dekatnya. Tak mungkin ia akan mendadak mencelakai di depan mereka, bukan?

"Padahal aku ingin mengajaknya menjadi modelku. Sepertinya sudah lama aku tidak melukis. Aku butuh pelepasan stres sepertinya, nah."

Satria tertawa kecil. "Iya, Bli. Sudah lama tidak melihat sketsa Bli lagi. Tidak mau melukis saya?" ujarnya sambil menyengir lebar.

"Engga. Bli Satria tidak enak dipandang. Mending Bli Soera yang blasteran," Bli Wayan berkomentar sambil tersenyum lebar. Satria merengutkan alis dan meremas kaos bajunya.

"Bli sekarang memilih Soera dibanding aku?! Lokal kalah sama setengah luar?! Bli jahat!" Keduanya tertawa, Ayu dan Soera hanya diam.

"Ah, sudah waktunya saya pergi. Ayo, Ayu. Kita ke rumah Mbok Made." Ayu mengangguk sambil mengikuti Wayan yang keluar dari ruangan.

Saat Ayu menapakkan kaki di luar pintu kamar, barulah sosok Rangda terlihat di belakang tubuhnya, muncul dari balik tembok kamar. Mata merah belok Rangda menatap Soera, namun bersamaan dengan itu geraman Barong terdengar di dekat tubuhnya.

Gawat. Ini gawat!

Setelah Rangda dan Ayu tak terlihat, buru-buru Soera menarik tangan Satria yang juga mau meninggalkan kamar. "Mas! Kemarin itu say—"

"Bli Satria!" Pintu kamarnya kembali dibuka. Berbeda dengan tadi, Bli Wayan bermuka serius dengan alis mengerut. Ponsel pintar ada di genggaman tangan, ia terlihat habis menerima telepon dari seseorang.

"Ada apa, Bli? Kenapa panik begit—"

"A—ada ... ada dua kejadian bunuh diri juga pembunuhan di Legian. Dan kejadiannya berlangsung hampir bersamaan."

Satria membeliakkan mata. Ia segera melepas genggaman tangan Soera, berlari ke arah Wayan yang juga keluar dari kamar. Sementara Soera hanya bisa menatap kedua pemuda menghilang dari pandangan.

.

BarongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang