28. Bertahanlah untuk hidup demi aku

64 4 14
                                    

Teringat tentang masa lalu yang suram. Dimana orang-orang terkasih meninggal dunia karena monster awan yang bernama Cumulonimbus. Memberi dampak psikis dan mental yang terganggu karena mengalami trauma yang sangat berat. Cukup lama bagi Deva untuk menyingkirkan trauma yang menyebabkannya tidak mampu membendung kesedihan dan ketakutannya.

Jika tidak ada Ridwan yang menghiburnya saat itu, mungkin ia mengalami koma. Ia tidak akan bisa melanjutkan hidupnya, dan dua adiknya akan hidup sendirian. Tanpa ada yang melindungi, merawat, dan membesarkan dua adiknya yang masih kecil. Karena dua adiknya masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu dan ayah.

Kasihan pada dua adiknya itu, ia pun berusaha melawan traumanya. Butuh lima bulan lamanya, ia diterapi oleh dokter khusus agar sembuh total dari trauma.

Setelah dinyatakan sembuh, ia pun melanjutkan hidupnya, dan kembali bersekolah seperti biasa. Ridwan-lah yang membiayai kebutuhan sehari-hari mereka.

Ia sangat berterima kasih pada Ridwan yang telah berjasa bagi keluarganya. Tidak akan melupakan sosok Ridwan yang begitu berkesan baginya.

Atas dasar kepedulian terhadap manusia dan bumi, ia dengan teliti merakit senjata itu satu persatu. Dibutuhkan konsentrasi yang tinggi saat merakitnya.

Dengan ditemani lampu meja yang terletak di atas meja, ia bisa melihat lebih jelas tulisan tangan yang tertera di secarik kertas putih. Entah tulisan tangan siapa, namun yang pasti, termasuk ilmuwan yang menciptakan Cumulonimbus.

Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam. Tak terasa waktu berlalu dengan cepat hingga sang surya muncul di balik awan-awan Cumulonimbus. Hujan tetap turun dengan ganas disertai angin yang kencang. Air laut terus naik sedikit demi sedikit.

Di ruang keluarga, Deva berada. Ia duduk di lantai putih bening yang dingin. Baru sedikit senjata itu dirakit, tapi Deva sudah terkantuk-kantuk.

Kepala Deva bergoyang ke kanan-kiri seperti naik di atas kapal. Tanpa menyadari seseorang yang telah duduk di sampingnya sedari tadi.

"Kalau ngantuk, kamu tidur saja. Jangan paksakan dirimu," tegur seseorang itu.

Otomatis Deva tersentak kaget dan menoleh. Rasa kantuknya menguap dan menghilang entah kemana. Seorang gadis berambut coklat, tengah menatapnya dengan serius.

"Fre-Freya!?" Deva terbata-bata. "Se-Sejak kapan kamu ada di situ?"

"Sejak... Sepuluh menit yang lalu," Freya berwajah polos.

"Ta-Tapi, aku tidak menyadari kehadiranmu."

"Ya. Kamu memang tidak peka."

"Ma-Maaf."

"Tidak usah minta maaf. Aku maklum pasti kamu sangat serius merakit senjata itu."

"I-Iya."

Deva mengangguk dengan wajah yang memerah. Freya tersenyum sambil meletakkan kedua tangan di dua pahanya.

Sejenak Deva memperhatikan Freya. Pakaian Freya berganti dengan dress putih selutut. Dress itu memiliki lengan yang pendek. Ada klip merah terpasang di sisi kiri rambutnya. Tubuhnya tembus pandang.

"Freya... Tubuhmu tembus pandang?"

"Waktuku tinggal dua hari lagi, Dev."

"Maksudnya?"

"Tubuhku yang tembus pandang berarti waktu membantumu tinggal dua hari lagi. Secepatnya kamu menyelesaikan senjata itu. Kalau tidak...."

Sesaat Freya memutuskan perkataannya, ekspresinya berubah suram dengan sorot kedua mata yang meredup. Deva penasaran dengan kelanjutan perkataan Freya.

CumulonimbusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang