15. Kesedihan dan kegembiraan

69 7 4
                                    

NEO UNDERGROUND, SECTOR 1, 6 MARCH, 2101

Friska menundukkan kepalanya. Wajahnya menggelap, tertutupi dengan poni rambutnya. Badannya gemetaran hebat. Isak tangis pelan terdengar darinya.

Ia duduk di bangku besi panjang yang ada di sebuah lobi, bersama Mira, dan beberapa anggota Neo Resque. Banyak orang yang lalu-lalang, melewati lobi yang ada di markas Neo Resque.

Suasana di sana, sedang berduka karena mendapat kabar buruk tentang kapal selam yang ditumpangi Deva dan keenam anggota Neo Resque meledak karena disambar petir. Tim pemantau yang mengabarkannya pada Mira yang saat itu sedang berjaga di rumah keluarga Praditia.

Sontak, Friska sangat syok ketika Mira memberitahukan kabar ini setelah Friska pulang sekolah. Friska sempat pingsan dan langsung dibopong Mira pulang ke kediaman keluarga Praditia.

Usai Friska sadar, Mira langsung membawanya pergi ke markas Neo Resque untuk memastikan kebenaran kabar buruk ini. Setiba di sana, tim pemantau membenarkan kabar buruk itu dan mengatakan bahwa para awak kapal selam itu tidak bisa diselamatkan lagi.

Saat itu juga, Friska semakin syok dan tidak percaya kalau Deva dinyatakan tewas. Ia pun menangis sejadi-jadinya. Mira menghiburnya dan mencoba berbicara pada tim Saver yang lain untuk menyelidiki keberadaan kapal selam yang bernama Saver Boat.

Sampai detik ini, tim Saver yang mencari bekas-bekas ledakan kapal selam Saver Boat, belum juga kembali. Sudah dua hari berlalu, tidak ada kabar terbaru dari tim Saver yang dipimpin seorang Kapten.

"Kak Deva... Yuda... Hiks... Hiks... Hiks...," Friska menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Ka-Kalau kalian tidak ada, aku tinggal sama siapa lagi? Aku takut kalau tinggal sendirian... Hiks...."

"Jangan menangis lagi, Fris. Ada Kak Mira yang menemani kamu di sini. Kamu tidak sendirian, kan?" hibur Mira yang merangkul Friska dari samping.

"Iya. Kami akan membantumu untuk mencari Deva dan Yuda," tambah gadis berambut hitam dan bermata biru. Temannya Mira, yang bernama Sintia.

"Te-Terima kasih, Kak Mira, Kak Sintia."

"Iya."

Mira dan Sintia menjawab bersamaan. Mereka saling tersenyum karena sudah berusaha menghibur Friska. Walaupun di hati kecil mereka mengatakan bahwa Deva tidak mungkin bisa dicari lagi tapi hanya Yuda yang bisa dicari.

Prioritas utama mereka sekarang adalah mencari Yuda. Apapun caranya mereka akan berusaha mencari Yuda sampai ditemukan meskipun mempertaruhkan nyawa sekalipun.

Para anggota Neo Resque yang bersimpati pada Friska, terus menemani Friska selama dua hari ini. Friska pun tidak bisa masuk sekolah karena sangat syok. Dikhawatirkan Friska akan mengalami trauma berat lagi jika terus-terusan bersedih seperti ini.

Di antara suara-suara yang ribut, seorang pria muda berambut coklat yang sewarna dengan matanya, juga sedang berduka. Ia berpakaian seragam Tentara Angkatan Laut, berdiri di dekat pintu lobi, bersama para anggota Tentara Angkatan Laut.

"Tidak mungkin Laksamana Ridwan dan yang lainnya tewas karena ledakan itu. Kalian pasti salah," ucapnya dengan nada yang datar tapi tegas.

"Itu benar, Mayor Andris. Tim pemantau sudah menginformasikannya pada kami bahwa semua awak kapal selam Saver Boat tewas dalam ledakan di dasar lautan. Penyebabnya karena disambar petir," ujar seorang pria muda yang berambut biru. "Tim Saver B yang dikerahkan untuk mencari bekas-bekas kapal selam Saver Boat, selama dua hari ini, belum mengirim informasi apapun pada tim pemantau. Tim pemantau sedang berusaha berkomunikasi dengan mereka, tapi belum bisa terhubung."

"Aku mengerti."

Wajah pria berambut coklat yang bernama lengkap Andris Nabil, menjadi suram. Kedua matanya meredup. Hatinya sangat terpukul.

Ayah, kenapa ayah pergi secepat ini? Padahal kami mengharapkan ayah untuk bertemu dengannya, batin Andris yang menerawang jauh ke atas sana. Berharap sang ayah bisa mendengar ungkapan hatinya.

*****

FIRST DUNGEON, HIDDEN ROOM, 6 MARCH, 2101

Api obor yang berada di tengah ruangan, masih menyala. Menerangi ke seluruh sudut ruangan dan menghangatkan suasana.

Dinding batu yang dipenuhi tanaman merambat, tampak berwarna abu-abu gelap. Lantai yang keras yang terbuat dari batu granit hijau, menjadi sasaran tebasan pedang. Suara dentingan pedang yang saling bertabrakan dengan tembok, menggema keras tapi tidak bisa didengar monster-monster yang sedang berkeliaran di lorong.

Deva sedang berlatih menggunakan pedang dengan kekuatannya sendiri. Ia berusaha menguasai semua teknik Monstrum Clausum yang tidak sengaja ia dapatkan selama berlatih beberapa jam. Ada Freya yang menemaninya dan memberikan semangat untuknya untuk berlatih.

"Bagus! Kamu berhasil menguasainya, Dev!" seru Freya tertawa senang sambil bertepuk tangan. Ia duduk bersimpuh di lantai dengan santai.

"Baru dua teknik yang kukuasai," balas Deva yang langsung tepar tak berdaya di lantai. "Ternyata berlatih pedang itu lebih menyusahkan daripada menghafal semua istilah biologi. Hosh... Capeknya."

Menghelakan napasnya berkali-kali, Deva benar-benar merasa lelah. Keringat dingin meluncur deras di balik rambut hitamnya. Kemudian ia mencoba untuk menutup kedua matanya, merilekskan badannya sejenak.

Freya tersenyum. Ia berdiri dan berjalan pelan mendekati Deva. Kemudian ia pun berlutut di samping Deva.

"Kamu sudah berusaha keras, Deva. Aku merasa kamu pasti bisa menghadapi monster yang lebih kuat dari Belalang Berpedang. Karena semakin ke dalam, kita akan menemukan monster genetika yang setara dengan level menengah."

Membuka salah satu matanya, Deva memandang wajah Freya yang berada di atasnya.

"Monster seperti apa yang akan kita hadapi lagi?"

"Monster...," Freya memegang pelipis mata kanannya. "Monster manusia banteng, namanya Homo De Armento."

"Homo De Armento? Namanya aneh sekali."

"Hihihi... Orang yang menciptakan karakter-karakter monster ini memang suka memberi nama dengan bahasa latin. Kalau diterjemahkan dalam bahasa inggris berarti Bull Man."

"Oh."

Deva membulatkan mulutnya seperti huruf o. Ia pun bangkit dan duduk lalu melanjutkan kata-katanya.

"Aku akan berusaha mengalahkan Bull Man itu! Lihat saja!" Deva mengepalkan tinjunya di depan dadanya. "Tapi, seperti biasa, kamu menunggu saja di belakang dan jangan bantu aku. Mengerti?"

"Iya," Freya mengangguk sambil tersenyum.

Deva juga tersenyum. Hatinya semakin merasa nyaman saat bersama Freya seperti ini. Ingin rasanya selalu bersama Freya untuk selamanya.

Demikian juga dengan Freya. Ia pun ingin selalu bersama Deva. Ingin di dekat Deva untuk selamanya.

Tanpa mereka sadari, perasaan aneh telah terjadi pada jiwa mereka sehingga mereka saling tertarik. Memandang lama antara satu sama lain. Seperti ada daya tarik magnet yang memberikan sinyal bahwa mereka akan menyatu.

Jantung yang saling berdebar-debar. Senyuman yang merekah di setiap wajah. Wajah yang berseri-seri, menandakan adanya kekaguman di hati. Tapi, mereka belum mengerti sama sekali dengan perasaan yang mereka alami sekarang.

Mereka baru pertama kali merasakan perasaan itu. Perasaan yang berwarna-warni. Perasaan yang indah dan anugerah Tuhan yang telah mempertemukan mereka dalam takdir yang berbeda yaitu...

Cinta.

*****

A/N:

Terima kasih buat vote dan komentarnya ya.

CumulonimbusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang