Benar. Tidak ada cara lain selain kabur dari tempat ini. Freya tidak ingin Deva mati. Sebisa mungkin ia melindungi Deva sampai ke kota Deep Ocean.
Saat ini mereka berada di dungeon pertama. Mereka sedang melewati sarangnya monster lipan, Centipedes Coridor.
Dengan cepat, Freya membawa Deva menjauh dari kejaran para Centipedes Tenebris. Raungan kemarahan para Centipedes Tenebris menggema keras hingga mengguncang tempat itu. Mereka tidak akan berhenti mengejar sebelum menghabisi dua anak muda itu.
"Waaah, mereka semakin banyak, Freya!" Deva semakin ketakutan saat melihat ke belakang.
Rombongan Centipedes Tenebris memenuhi lorong, tepatnya berjarak beberapa meter dari jarak Deva dan Freya.
Freya juga melihat ke belakang. Ia menjadi panik.
"Gyaaa!! Ini benar-benar mengerikan!!"
"Cepat! Cepat!!"
Saking takutnya, membuat Deva bisa berlari cepat bagaikan kilat. Bahkan ia yang malah menarik Freya dan berlari di paling depan. Freya yang kewalahan karena terseret oleh arahan Deva.
Suasana semakin tegang dan memanas. Aksi kejar-kejaran antara Deva, Freya dan kelompok Centipedes Tenebris, semakin seru saja. Suara raungan kemarahan kelompok Centipedes Tenebris, membuat nyali Deva menciut. Deva tidak bisa berpikir dua kali untuk melawan monster sebanyak itu.
Andai aku punya kekuatan seperti pendekar pedang di game yang pernah kumainkan, aku ingin melindungi Freya, pikir Deva spontan.
Tapi, tidak mungkin itu terjadi padanya.
Tiba-tiba...
PIP!
Kaki Deva menginjak sesuatu. Sedetik kemudian, lantai yang ia pijaki ambruk ke bawah. Ia pun jatuh bersama Freya ke lubang gelap gulita.
"Wuaaah/kyaaa!!" Deva dan Freya berteriak kompak. Mereka terjun bebas ke lubang setinggi 5 meter.
BRUK!!
Untung sekali, mereka berdua mendarat di lantai yang empuk. Lantai yang terbuat dari spons. Mereka terbaring dalam keadaan tertelungkup.
"Aduuuh, sakitnya," Deva mengeluh kesakitan pada sekujur tubuhnya. "Kenapa kita mengalami seperti ini terus?"
"Karena ini sudah takdir," Freya tidak mengeluh, justru ia tersenyum. Ia bangkit dengan cepat dan memilih duduk sebentar di lantai.
"Nikmati saja permainan ini. Anggap kita bermain di game yang seperti di Playstation," lanjut Freya lagi.
"Seenaknya saja kamu berbicara begitu. Resikonya pasti membahayakan nyawa, kan?"
"Iya. Kalau kita mati, maka kita game over dan tidak akan pernah bisa mengulangi game ini dari awal lagi."
"Aku tidak mau berakhir di sini. Freya, kita harus maju terus sampai ke kota Deep Ocean."
"Iya. Inilah jalan satu-satunya menuju ke sana."
"Tapi, aku penasaran, bagaimana caranya Yuda bisa sampai ke kota Deep Ocean?"
"Karena dia melewati jalan alternatif yang lebih aman."
"Jalan alternatif?"
Deva mengerutkan keningnya karena tidak mengerti. Ia duduk di samping Freya. Freya menyatukan dua jempol dan dua telunjuknya menjadi segitiga.
"Intinya... Dua pulau kembar itu adalah paru-paru kehidupan kota Deep Ocean. Dua pulau terapung buatan yang sejajar dengan kota Deep Ocean di bawahnya sehingga membentuk segitiga...," Freya menjelaskan rahasia tentang pulau kembar yang berkaitan erat dengan kota Deep Ocean. "Pulau pertama adalah jalan tercepat, di sana ada terowongan pipa kaca yang memungkinkan kamu bisa melihat pemandangan dalam laut. Lalu pulau yang kedua adalah jalan terlambat, jalan yang kita lewati sekarang. Banyak jebakan dan monster rekayasa genetika yang berkeliaran di sepanjang jalan ini. Kita harus menempuh lima dungeon dan mengalahkan boss monster yang menunggu di pintu setiap dungeon yang berbeda. Kita tanpa sadar telah menjadi pemain di game nyata yang bernama Reality Deep Ocean, game yang diciptakan ilmuwan ternama yang terlibat dalam penciptaan Cumulonimbus."
"Oh, begitu ya?"
Deva manggut-manggut dengan tampang yang serius. Freya memandang wajahnya dengan lama lalu tersenyum.
"Apa kamu takut, Deva?"
"...," Deva terdiam sebentar lalu menggeleng kuat. "Aku tidak takut!"
"Bagus itu."
"Tapi, aku tidak punya kekuatan apa-apa untuk melawan monster. Hanya kamu yang memiliki kekuatan...."
"Tunggu sebentar, Dev."
Freya memotong perkataan Deva karena melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia berdiri dan melangkah di lantai empuk bagaikan karet.
Saat ini, mereka berada di sebuah ruangan berbentuk segienam. Tidak diketahui berapa panjang dan lebarnya.
Dindingnya terbuat dari bahan yang keras, entah apa jenisnya. Di sisi-sisi dinding, terdapat obor-obor yang menyala terang. Langit-langitnya berukir aksara yang aneh dengan simbol menyerupai kepala banteng.
Entah tempat apa namanya ini. Deva tidak tahu. Ia pun berdiri dan mengikuti Freya. Freya berhenti tepat di dekat pintu bersimbolkan gambar kepala banteng.
Ada sebuah benda yang menancap di tengah pintu berdaun dua itu. Benda yang bertangkai menyerupai gagang pedang dengan aksara yang rumit.
"Apa ini?" Deva penasaran, dan lantas menggerakkan tangan kanannya untuk menyentuh benda yang menancap di tengah pintu.
Terdengar bunyi 'pip' saat tangan Deva menyentuh benda itu. Deva terkejut, secara refleks menjauhkan tangannya dari benda itu.
"Kamu dengar itu, Dev?" Freya menoleh dengan wajah yang sangat serius.
"Iya. Aku dengar," Deva mengangguk.
"Sepertinya benda ini adalah kunci untuk membuka pintu. Mungkin ini adalah Monstrum Clausum."
"Monstrum Clausum?"
"Ya. Sebuah pedang pengunci dan sekaligus penghancur monster. Hanya orang tertentu saja yang bisa menggunakannya."
"Begitu ya?"
"Hm. Monstrum Clausum meresponmu sebagai pemiliknya, makanya ia berbunyi."
"Baiklah, aku coba lagi ya."
Deva tiba-tiba bersemangat ketika Freya mengatakan benda yang menancap di tengah lubang pintu adalah sebuah pedang. Ia pun dengan cepat meraih ujung benda itu lalu mencoba menariknya sekuat tenaga.
PIP!
Terdengar bunyi yang sangat keras bersamaan tempat itu bergetar hebat bagaikan dilanda gempa bumi tektonik. Deva panik saat terjadi guncangan tapi Freya dengan tenang mengatakan sesuatu padanya.
"Tarik terus, Deva!"
"I-Iya."
Atas dorongan semangat dari Freya, Deva berusaha dengan sekuat tenaga menarik benda itu di tengah-tengah guncangan yang terjadi. Benda itu perlahan-lahan tertarik dan terlepas dari lubang tengah pintu tersebut.
Getaran berhenti. Pintu besar berdaun dua itu terbuka secara otomatis. Menunjukkan ruangan yang lain - sebuah lorong yang berbentuk segienam dengan akar-akar yang menyembul di sisi-sisi dinding.
Obor-obor menyala sendiri. Menerangi sepanjang lorong hingga ke ujungnya.
Tersenyum senang, Freya melirik Deva.
"Kamu berhasil, Dev."
"Ya. Aku berhasil...," Deva menunjukkan wajah yang berseri-seri. "Ternyata benda ini memang sebuah pedang."
Di kedua tangan Deva, tergenggam sebuah pedang besar yang terbungkuskan dengan sarung yang berwarna hitam. Ada desain matrix digital berwarna biru laut menyerupai aksara yang aneh di sepanjang sarungnya. Gagang pedangnya berwarna biru dengan ukiran aksara aneh yang berkilauan seperti permata.
"Monstrum Clausum... Aku penasaran bagaimana cara menggunakannya," Deva menarik pedang itu dari sarungnya.
SREK!
Bunyi halus terdengar saat pedang keluar dari sarangnya. Bilahnya yang berwarna putih kebiruan, berkilauan karena memantulkan cahaya obor. Deva bisa merasakan energi besar tersembunyi dari pedang tersebut.
*****
A/N:
Terima kasih atas vote dan komentarnya ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cumulonimbus
Ciencia FicciónApa jadinya jika Bumi dikuasai kelompok awan Cumulonimbus yang menjadi monster? Para manusia tersingkirkan dan memilih hidup di kota bawah tanah. Seorang mahasiswa bernama Deva Praditia, sedang melakukan penelitian agar mencari cara untuk melawan ke...