Tes.. tes.. tes..
Shila memandangi tetesan kantong cairan yang dialirkan ke tubh gwen, dokter bilang gwen tak memiliki masalah apapun, ia hanya kelelahan, sebenarnya diagnosa itu membuat shila ingin meledak, andai dia bisa menjelaskan pada dokter itu apa saja yang mereka alami beberapa hari belakangan, hanya saja ia rasa akan percuma, dokter rumah sakit itu bukanlah pak parno yang akan percaya dengan hal-hal yang susah dicerna oleh otak."Makan dulu.." abra membawakan sebungkus nasi untuk shila.
"Aku gak laper."
"Kalo kamu sakit juga gimana? Siapa yang jaga kalian?"
"Kamu lah."
"Enak aja, aku kan juga harus jaga diriku sendiri."
Shila tersenyum tipis, ia tau abra sedang berusaha menghiburnya, ia mengambil nasi bungkus di tangan abra lalu memakannya sedikit demi sedikit.
"Kamu tenang aja, nanti juga gwen sembuh."
"Sok tau, emang kamu tau?"
"Tau lah."
"Gimana bisa?" Tanya shila menghentikan kunyahan di mulutnya.
"Karena gwen bisa di andalkan." Abra tersenyum.
Abra benar, gwen memang sosok yang bisa diandalkan, sejak awal bertemu dengan shila, ia merasa gwen adalah sosok yang bisa terus mengimbangi keinginan anehnya, ia jadi ingat dulu ia ingin sekali melihat sosok hantu, tapi sekarang, semuanya berbanding terbalik, ia muak dan ingin menyudahi saja semua itu.
"Kamu harus kuat, kita pasti bisa nyelesaiin semuanya."
"Iya bra."
Bincang-bincang senja, dengan langit oranye dan suasana tenang di kamar rumah sakit, setelah makan, shila beranjak pergi untuk mencuci tangannya.
Ia berjalan melewati lorong rumah sakit di lantai itu.
Shila..
Shila masih berdiam, berusaha tak menghiraukan suara samar-samar yang ia dengar. Shila mempercepat gerakannya, membersihkan sela-sela jemarinya.
Shila..
Suara itu terdengar lagi, shila mendongakkan kepalanya di kaca, tepat dibelakangnya ia melihat makhluk berwajah rusak, seorang wanita dengan rambut panjangnya.
"Arrrrrghhhh!" Shila memekik.
Ia berlari sekencang-kencangnya. Kali ini bukan hanya rasa takut, tapi juga rasa muak yang menjadi satu.
"Abra!" Ia menutup pintu rapat-rapat.
"Kenapa shil? Ada apa?"
"Wa-wanita itu."
Ia langsung meraih ponselnya, mengabarkan pada teman-temannya tentang keadaan gwen, ia berfikir akan lebih baik jika kamar rumah sakit itu ramai, apalagi ia memakai kamar dengan kelas paling atas, yang hanya berisi satu orang saja.
"Kita harus pergi kerumah itu lagi!" Kali ini shila membulatkan tekat.
"Untuk apa shil?"
"Lihat nanti aja, kamu mau kan nemenin aku?"
"Tapi shil---"
"Kamu bilang kamu gak akan ngebiarin aku senirian. Berarti kamu mau kan nemenin aku?"
"I-iya shil."
Abra tak punya pilihan lain, ia memang telah berjanji untuk menemani shila kemanapun ia akan pergi.
Setelah semua teman berdatangan, shila mencoba menitipkan gwen yang tengah terbaring tak berdaya kepada mereka, shila berjalan menarik tangan abra, melewati lorong dan menuruni lift.
Tekatnya bulat, ia benar-benar muak dengan segalanya. Tujuan utamanya adalah garasi kosnya, mengambil sesuatu yang kemudian akan ia bawa ke rumah kosong itu.
Jalanan mulai gelap, abra pun tak tau shila akan membawanya kemana, shila tak memberitau, dan ia harus ikut kemanapun shila pergi.
****
"Sekarang kerumah biadap itu!" Ucap shila dengan membawa bungkusan berwarna hitam.
Emosi telah ada di puncak ubun-ubunnya, ia tak sanggup lagi menahan gangguan demi gangguan yang terus ada di hari-harinya.
"Rumah biadappp!! Bangsattttt!!"
Duakk! Duaaak! Mata abra terbelalak, dirinya terdiam mematung menyaksikan kelakuan shila.
Berbekal palu besar ia menghancurkan dinding rumah itu, yang memang sudah sedikit rapuh.
"Shila berhenti shila"
Shila tak menghiraukan kalimat abra, dinding rumah itu mulai retak, bau busuk menyeruak keseluruh ruangan.
"Bau apa ini?" Shila menutup hidungnya.
Abra hampir muntah dibuatnya, shila terus memukul-mukul dinding dengan palu yang ada di genggamannya, kekesalannya melihat gwen terbaring, ditambah terror yang selalu menerpanya setiap hari membuatnya lupa akan rasa takutnya.
Bruakk..
Sesuatu jatuh di atas kakinya, sesuatu yang berbau busuk.
"Aaaaarghhhh!" Shila meloncat menjauh.
Tubuhnya mundur menghampiri abra, keduanya tercengang. Bau busuk semakin menusuk hidung mereka, ditambah pemandangan tak mengenakkan yang baru saja ia dapatkan.
"Mayat!" Abra memekik.
Itu sosok mayat, dengan tubuh yang tak lagi sempurna. Sebagian tubuhnya telah habis di makan hewan, tinggal tulang, tapi di beberapa bagian tubuhnya masih ada daging membusuk yang menempel.
"Hoekkkk!!" Shila hampir muntah dibuatnya.
"Telepon polisi bra, telepon polisi."
Warga sekitar mulai berkerumun, keluar dari rumah masing-masing karena bau menusuk itu, mata shila berkaca-kaca, kemarahannya membuatnya menemukan sosok mayat.
Mayat siapa yang dikubur di dalam dinding itu? Siapa yang tega melakukannya? -- shila hampir menangis, manusia keparat mana yang tega melakukan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATI TUJUH
Horror#21 in horror (mei & juni 2018) #2 in misteri (juni 2018) #3 in horror (agustus 2018) Shila Albartha, mahasiswi fakultas hukum yang sangat antusias ingin memiliki pengalaman melihat makhluk tak kasat mata, ternyata membuatnya nekat melakukan ritual...