Abra menghentikan laju mobilnya, tepat di depan sebuah gedung besar di ujung jalan, jalanan yang sepi dan amat minim perhatian, hari sudah mulai sore, senja berjalan membenamkan diri ke ufuk barat. Mereka masih tak bergerak, berdiam di mobil sembari menunggu kumandang adzan selesai, barulah mereka akan masuk dan menemui pak rengga.
Shila telah membagi rencananya selama diperjalanan, dan semuanya setuju.
"Udah siap?"
"Siap."
Shila yang pertama membuka pintu, menatap ke atas, tinggi gedung dengan enam lantai itu, dengan cat dinding berwarna cokelat yang mulai mengelupas, juga suasana gedung yang mencekam.
Entah gedung apa ini dulunya, cukup terkenal di kalangan mahasiswi seperti shila, tapi tak tau asal-usulnya.
Mereka membuka pintu utama gedung, terlihat lorong kotor yang cukup tak menyenangkan baunya, seperti ruangan tak terawat yang dipenuhi decitan suars tikus.
"Pak rengga gak punya tempat lain apa buat diskusi, kenapa juga harus disini?" Keluh adish pada yang lain.
"Udalah, kita ikuti aja. Kita harus kemana sekarang?"
"Lantai enam, begitu kata pak rengga, tadi di chat."
"Keatas atapnya aja sekalian, tinggi bner lantai enam." Kali ini keluhan datang dari nando.
"Udalah, ayo kita jalan."
Ruangan disan mulai terasa gelap, langit juga mulai menghitam, tak ada lampu terang yang membantu langkah mereka, hanya sinar bulan yang menerobos melalui rongga-rongga jendela, jugs sinar dari senter mereka.
"Astagaa!" Gwen mencengkram tangan shila, menutupi wajahnya dibalik badan shila.
"Kenapa gwen?"
Gwen mulai begidik ngeri, ia melihat seorang gadis menyeret sesuatu, sesuatu yang berdarah, wajahnya seram dengan mata melotot, sesuatu yang di seretnya adalah manusia, dengan kepala yang hampir lepas dari lehernya.
"Kamu liat apa gwen?" Tanya abra.
Gwen hanya menggeleng, ia paham bahwa teman-temannya tak mungkin melihat pemandangan memualkan itu, gwen menutup hidungnya dengan pinggiran kaos yang ia kenakan.
Langkah mereka terus semakin naik, shila dan nando berjalan di depan, disusul gwen, adhis, dan abra yang sengaja meletakkan dirinya di belakang untuk menjaga yang lain kalau-kalau ada serangan tak terduga dari belakang.
Langkah yang cukup melelahkan, nafas mereka mulai terengah-engah, tapi semangatnya tak juga turun, langkah shila semakin mantap menuju lantai enam, ia mengarahkan senter ponselnya ke segala arah.
Sesampainya dilantai enam, ada sebuah pintu besar untuk masuk ke ruangan raksasa, shila mengernyit, kira-kira bangunan apa yang dibentuk sedemikian rupa?
"Masuklah."
Pak rengga muncul dari balik pintu, membuat mereka sedikit kaget dan berdegup kencang.
"Baik pak."
Shila melangkahkan kakinya masuk, disusul yang lain.
Didalam ruangan itu hanya ada sedikit penerangan, dari lampu remang-remang yang di gantung di tengah ruangan.Ruangan yang benar-benar kosong, tak ada apapun kecuali beberapa bsrang bekas yang usang.
Krekk.. pak rengga mengunci pintu di ruangan itu.
"Loh? Kenapa dikunci pak?" Shila berusaha mendekatinya.
Prok.. prokk.. prokk..
Shila membalikkan badannya, langkahnya mundur mendekati teman-temannya yang lain, suara tepuk tangan yang kencang itu terdengar dari salah satu sudut ruangan.
Pak rengga duduk di sebuah kursi kayu, wajahnya terlihat tak berdaya, seperti seseorang yang dipaksa melakukan sesuatu.
"Shila albratha!!'
Suara itu terdengar menggelegar, membuat shila bergetar, matanya terbelalak seketika, sesosok manusia muncul dari ujung ruangan, lelaki dengan pakaian serba hitam dan masker diwajahnya.
"Kau masih mengingatku?"
Lelaki itu berjalan mendekati shila, dan dengan perlahan mencengkram pipi shila sehingga bibir shila termanyun ke depan.
"Kau harus mengingatku!!" Ia meremas pipi shila dan membuat gadis cantik itu mengaduh.
"Lepaskan dia bajingan!" Abra menarik tangan lelaki itu kuat-kuat, membuat tangannya enyah dari wajsh shila.
Ada sedikit darah yang ia sebabkaj dipipi shila, kuku tangannya berhasil merobek permukaan kulit wajah shila, untungnya tidak banyak, hanya goresan kecil yang membuatnya sedikit perih.
"HAHAHHAHA"
Pekik lelaki itu, matanya memandang shila dengan tajam, ia membuka penutup jaket di kepalanya, juga maskernya dengan perlahan.
"Jordan!!" Kali ini gwen yang memekik, ia tak percaya bahwa dugaan shila benar adanya.
"Yaaaa! Kau benar! Aku Jordan Sirdane, atau-----" ia masih menggantungkan kalimatnya.
Mendekatkan wajahnya pada gwen, membuat gwen sedikit mundur untuk menghindarinya.
"Atau jordan oan shasimley" suaranya membisik di telinga gwen, terdengar mengerikan lengkap dengan wajahnya yang menyeringai.
"BIADAAAP!!" Shila memekik.
"Hentikan kalimatmu! Kau yang mencampuri urusanku! Sok pintar! Sok memecahkan misteri! Lihat apa hasilnya? Semua orang itu mati karenamu! Dan sekarang giliranmu!"
Jordan mengangkat tangannya, hampir melakukan sesuatu pada wajah shila, tapi shila dengan sigap meraih tangan jordan, menahannya sekuat tenaga.
"Aku gak takut denganmu bajingan!" Ucap shila dengan nada pertahanannya.
------------------------------
Haihai, karena cerita mati tujuh vote nya masih sedikit, aku minta tolong bantu vote ya :)
Kalo udah mencapai 100 vote, aku baru bakal terusin ceritanya, penasaran kan gimana kelanjutannya?Yuk yang belum vote, langsung vote ya.. itu sebagai bentuk menghargai karyaku hihihi❤
KAMU SEDANG MEMBACA
MATI TUJUH
Horror#21 in horror (mei & juni 2018) #2 in misteri (juni 2018) #3 in horror (agustus 2018) Shila Albartha, mahasiswi fakultas hukum yang sangat antusias ingin memiliki pengalaman melihat makhluk tak kasat mata, ternyata membuatnya nekat melakukan ritual...