"Tapi rumah itu sudah hancur, dihancurkan polisi, gak mungkin ada jasad yang ketinggalan." Abra bergerak berjalan mendekati kerumunan teman-temannya.
Sedari tadi ia berdiri di depan pintu, ia lah yang paling kalut memikirkan keadaan shila, wanita yang bisa mati kapan saja karena terror biadap itu.
"Ini adalah kasus pembunuhan, kalo ada delapan orang yang mati, pasti delapannya di kubur dengan cara yang sama. Gak mungkin ada satu orang yang dibedakan, untuk apa?" Abra menambahkan kalimatnya.
"Mungkin untuk menghilangkan jejak."
"Itu gak akan berpengaruh, hukum membunuh tujuh orang itu sudah sangat berat, apalagi di kubur di dalam dinding, udah pasti ini pembunuhan berencana."
Shila terdiam, kalimat abra ada benarnya juga, ia melirik ke arah album foto itu, banyak debu yang menempel disana, belum lagi coretan-coretan di wajah salah seorang di foto itu, membuat shila benar-benar tak bisa mengenali siapapu disana.
"Satu-satunya jawaban adalah.."
Semua mata menuju ke arah abra, menanti jawaban dari kalimatnya yang menggantung.
"Satu orang di foto itu masih hidup." Abra melanjutkan dengan nada sedikit berbisik.
Shila mengernyitkan keningnya, itu bukan hal mustahil, satu orang di foto itu mungkin saja masih hidup, tapi siapa? Yang mana? Dan dimana dia sekarang?
"Terus gimana kita bisa nemuin dia?"
"Aku juga gak tau, ini seperti jalan buntu. Kita gak tau benar siapa mereka, gimana kejadian keluarga mereka, dan apa motif pembunuhan ini. Ngandelin polisi kayaknya juga percuma, jasad yang udah tinggal tulang belulang dan sedikit daging masih bisa di otopsi emangnya?"
"Kurasa enggak.." gwen menimpali.
"Ada! Ada cara!" Adhis memekik.
Ia menemukan ide cemerlang di kepalanya, mengingat bahwa masih ada satu jalan.
"Ada seorang bapak tua di jalan delima, dia penduduk asli kampung itu. Kami pernah ngobrol saat aku bertemu dengannya di jalan simpang, katanya dia penduduk asli situ.
"Kamu kenal?" Shila terlihat antusias.
"Enggak.
"Gausah di omong euy."
"Tapi namanya pak broto, jalan delima kan cuma se kecil itu, jarak rumah disana juga lebar-lebar, kita bisa cari namanya pak broto. Gak ada salahnya kan kita coba?"
Mereka saling melempar pandang, tak menemukan jalan lain selain ide gila adhis.
"Yaudah kita coba aja."
****
Pergerakan mereka bisa dikatakan cepat, mobil shila penuh dengan semua teman-temannya, kecuali abra yang memilih pergi naik motornya sendiri agar lebih cepat dan bisa lebih dulu bertanya-tanya rumah pak broto disana.
Yang lain menunggu dari mobil, melihat dari kejauhan abra yang berlari kesana-kemari.
"Rumah pak broto ada diujung jalan, nomor 98, catnya warna hijau, dindingnya warna putih, begitu katanya."
"Kamu yakin cuma ada satu pak broto di kampung ini?"
"Udah dipastikan. Cuma ada satu. Kecuali kalo adhis salah orang." Mata abra melirik ke arah adhis.
"Yeee, bener kok. Enak aja."
"Udah-udah, ayo kita kesana."
Shila melajukan mobilnya, sedangkan abra bersiap dengan motor hitamnya lebih dulu, menuntun yang lain menuju rumah yang di arahkan oleh salah seorang penduduk setempat.
"Nomor 98"
Shila membaca plakat dinding ketika tiba disana, rumah itu lebih mirip gubuk tua yang mengerikan, sayangnya ini siang bolong, jika malam jumat sudah jelas mereka takkan nekat pergi kesana.
"Assalamualaykum.." abra mengetuk daun pintu beberapa kali sembari mengucap salam.
Tak ada suara atau apapun yang menandakan adanya kehidupan, abra membalik badannya, menatap teman-temannya satu persatu.
"Kayaknya kita salah rumah deh.."
"Waalaykumsalam.."
Abra membalikkan badannya, dengan jelas ia melihat seorang lelaki tua berambut putih membuka pintu.
"Saya abra, dan ini teman-teman saya." Abra menunjuk rombongan temannya yang turun dari mobil.
Bapak itu kan---- shila terbelalak, ia ingat dengan betul hari pertama dia datang ke rumah kosong minimarket SS, bapak tua itulah yang memintanya pergi.
"Saya sudah bilang kan.." bapak tua itu mengangkat tongkatnya "JANGAN DEKATI RUMAH ITU." Mengacungkan tongkatnya ke arah shila.
Shila merasa sangat tertuduh disini, tapi memang salahnya juga, kenapa dia tak menghiraukan kalimat bapak tua itu.
"Taa.. tapi pak, tolong pak.."
Pak broto hendak membalikkan badannya, shila memohon sebisanya, dibantu teman-teman yang lain.
"Cuma bapak yang bisa bantu saya pak. Saya gak mau terus-terusan di terror."
Pak broto menghentikan langkahnya, membalikkan badannya lagi ke arah shila, teduh terlihat dari wajahnya, melihat mata shila yang hampir menurunkan rintik hujan di wajah, wajahnya sayu, ia hampir terisak, shila menunduk, dengan menangkupkan kedua tangannya, membuat suasana sekitarnya menjadi haru, iba membuat pak broto mengizinkannya.
"Masuklah.."
Ia membalikkan badan sekali lagi, diikuti shila dan kawan-kawannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATI TUJUH
Korku#21 in horror (mei & juni 2018) #2 in misteri (juni 2018) #3 in horror (agustus 2018) Shila Albartha, mahasiswi fakultas hukum yang sangat antusias ingin memiliki pengalaman melihat makhluk tak kasat mata, ternyata membuatnya nekat melakukan ritual...