Aku memeluk Gwenn untuk terakhir kalinya. Ia dan keluarganya pindah ke Amerika. Aku merasa betapa malangnya nasibku. Ditinggal dua orang sekaligus dalam kurun waktu yang dekat. Hari ini genap tiga bulan Christopher menghilang tanpa kabar, walau bukan hilang seutuhnya karna aku tau dia berada di Oxford. Dia hanya hilang dari peredaran teknologi canggih seperti ponsel dan email atau media social lainnya.
Dan hari ini aku ditemani oleh Stephen yang selalu datang ke rumah ku setiap hari dengan berbagai alasan termasuk ingin main dengan Ben, walau yang memiliki nama tersebut lebih suka duduk di depan laptop Stephen ketimbang Stephen sendiri. Ia memakai Tuksedo hitam dengan celana senada. Walau ia selalu sibuk dengan telponnya ia selalu berdiri di sampingku dan ikut pindah ketika aku pindah walaupun hanya sejengkal. Ia bilang ia ingin mengantar Gwenn juga ke bandara, hitung-hitung ucapan terimakasih karna banyak membantu penelitian di turki kemarin.
"Jangan lupa telpon aku!," Gwenn mengguncang bahuku. "Ingat aku akan selalu ada untukmu dan kau tidak sendiri di sini! Ada Stephen yang akan selalu berada di dekatmu kalau kau butuh teman, kita adalah teman. Benar begitu Stephen?."Gwenn memastikan.
"Tentu Westie!." Jawab Stephen mantap.
"Aku tidak mau kau mengganti nomor mu itu, dan emailmu!." Yang benar saja, aku tidak mau percaya begitu saja kalau ada hubungannya dengan perpisahan dan komunikasi melalui telpon.
"Ok! Baiklah, ku rasa aku harus masuk ke pesawat sekarang! Selamat berjuang untuk kita Eleanor!." Ia memelukku erat kemudian Stephen dan segera berlari masuk meninggalkan kami tanpa sedikitpun menoleh.
Itu akan lebih mudah pikirku.
"Kalau memang ditakdirkan untuk bersama kembali pasti kalian akan bertemu lagi." Kata Stephen sambil lalu.
"Haruskah aku mempercayai itu?." Aku menyuarakan pikiranku dan dibalas anggukan oleh Stephen.
"Gwenn! Kita pasti akan ditakdirkan untuk bertemu kembali!." Teriakku dan itu membuat semua orang yang ada di dekatku berhenti dan memperhatikan termasuk Stephen, dan Gwenn yang sudah mencapai pintu keberangkatan, kemudian melambai tanpa menoleh.
"Aku sayang padamu Gwenn!." Kataku lirih.
"Ayo Eleanor, saatnya kita pulang." Stephen membawaku ke mobil dan kami meninggalkan bandara malam itu dalam keheningan yang seakan tak pernah terpecahkan.
***
"Happy birthday Benjamin, Happy birthday Benjamin, Happy birthday happy birthday happy birthday to you..."
Suara nyanyian dari orang-orang yang menghadiri pesta ulang tahun Ben yang menjadi satu, menciptakan koor suara yang sedikit lebih merdu ketimbang suara ayah, ibu dan Leo ketika disatukan.
Tiga tahun berlalu dan kini aku sudah resmi menyandang gelar sarjana sastra. Selama tiga tahun komunikasi ku dengan Gwenn seperti air terjun yang mengalir sepanjang tahun dan komunikasiku dengan Chris sama sekali terputus mulai dari keretanya berangkat waktu itu. Aku sudah tidak mengambil pusing kenapa Chris sama sekali tidak bisa dihubungi, sudah jelas ada sesuatu tak terduga terjadi, atau mungkin sesuatu yang sudah kuduga, ia mungkin saja sudah menikah dengan Julie dan melupakanku.
"Eleanor! Ayo kita berfoto bersama!" Aku menoleh pada Ben yang melambai-lambai dengan ayah dan ibu serta Leo yang sudah bediri di depannya.
Ini entah foto keberapa yang akan di pajang oleh ibu di dinding rumah, aku yakin sekali akan hal itu. Dua tahun terakhir ibu suka sekali mengajak kami sekeluarga berfoto kemudian memajangnya di dinding rumah. Bahkan aku rasa, kami tidak perlu lagi mengecat dinding lagi karna seluruh permukaannya hampir tertutupi figura foto.

KAMU SEDANG MEMBACA
Regen
Romance"Eleanor? Mana mungkin aku tidak sayang dan cinta padamu?," Chris memeluk sambil mengelus rambut hitam Eleanor. "Aku sangat menyayangi dan mencintaimu Eleanor." Sambungnya. "Tapi aku tidak cukup baik untukmu kan Chris? Aku cereboh dan tidak teliti...