~June, 13th 2015~

3 0 0
                                    

Aku bersama Julie dan Chris serta beberapa mahasiswa turki yang baru datang tadi pagi berjalan mengitari kuil Artemis yang akan kami teliti baik itu relief yang terdapat di dinding atau dimana saja dan juga catatan-catatan sejarah yang ada di kantor arsip sejarah di dekat kuil. Hari ini hari pertama penelitian resmi dimulai. Aku dan dua 'rekan' ku ini di tugaskan untuk mengobservasi sekilas atau observasi pertama untuk mencari titik-titik yang bisa menjadi petunjuk sementara dosen pembimbing kami, Shania pergi ke kantor arsip bersama beberapa dosen asal turki untuk menengok dan mempelajari catatan arsip.

Kuil Artemis yang masuk dalam tujuh keajaiban kuno dunia ini begitu megah. Istana-istana di Inggris bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan kuil milik kembaran dewa Apollo ini. Memang bentuk nya sudah banyak yang hancur tetapi suasana nan magis dan megah masih sangat kental terasa saat berjalan-jalan dan memperhatikan dengan seksama setiap sisi dari bangunan ini.

"Guys, baiklah. Aku akan mengatakan ini, selama hampir setengah jam kita berkeliling, kita belum kenal satu sama lain. Aku tahu mungkin ini tidak penting tapi ini sangat berguna bagiku. Namaku Burak Attaturk, aku semester empat dan mengambil jurusan sastra turki di Universitas Ankara. Dan ini temanku Dilara dia mengambil jurusan bahasa dan sastra inggris. Di sebelahnya ada Ahmed Aydin sama dia jurusan Arkeologi." Kata salah satu mahasiswa yang bernama Burak itu pada kami.

"Aku Eleanor Regen Hoult." Balasku saat tidak terlihat tanda-tanda Julie dan Chris akan membalas ucapannya. "Aku dari Universitas Bournemouth dan aku mengambil jurusan sastra inggris. Kau bisa tanya sendiri nama pada mereka!." Aku mengerling pada Julie dan Chris kemudian melanjutkan perjalananku yang sebentar lagi akan berujung pada tenda dan cemilan pagi.

Dasar, anak-anak kaya Inggris yang sombong. Apa salahnya mereka menjawab duluan, setidaknya walau mereka tidak mengenalku, mereka kan mengenal satu sama lain.

"Miss Eleanor?." Aku menoleh dan mendapati laki-laki dan wanita beranama Aydin dan Dilara yang menghampiriku.

"Ya?."

"Maaf, tapi kau terlihat lebih ramah dari pada dua mahasiswa lain. Bisa kita bertukar kontak atau email? Dari SMA kami sangat tertarik dengan Negara mu, siapa tau kami suatu saat bisa bersekolah disana." Kata yang bernama Dilara.

"Oh ok." Aku mengambil alih ponsel Dilara kemudian mencatatkan nomor dan alamat emailku.

"Terimakasih, kau baik sekali."

Aku meninggalkan mereka yang bertukar nomor dan email ku. Sudah seharusnya manusia itu baik apalagi di Negara orang.

Dua jam kemudian kami makan siang bersama, si Shania dengan gerak-gerik anggunnya berdiskusi mengenai catatan-catatan yang mereka pelajari tadi, sementara Chris, Julie dan Burak dan Aydin serta Dilara yang nimbrung sibuk mengatakan bahwa kesuksesaan penelitian di kuil Artemis sangat tipis dikarnakan kondisi kuil yang sedikit sekali tersisa utuh. Sementara aku? Aku sama sekali tidak tertarik dengan apa yang mereka bicarakan, entah sejak kapan tapi aku sudah malas untuk mengikuti penelitian ini dengan serius. Aku merasa ada hal yang lain yang menarik ku ke Turki yang pada awalnya kupikir adalah penelitian ini, padahal bukan.

Selesai makan siang, kami bersitirahat dan penelitian diputuskan akan di lanjutkan besok, kami kembali akan berkeliling kuil dengan catatan yang telah di pelajari dan beberapa alat yang akan membantu kami, jujur bagiku ini lebih kepada penelitian arkeologi dibandingkan penelitian sastra. Seharusnya mereka memilihkan kami museum atau sekolah sastra ketimbang kuil dewi keperawanan orang yunani.

***

Malam hari nya kami mengadakan api unggun di dekat bus kami, Aku duduk bersebelahan dengan Aydin dan di sebelahnya ada Dilara yang nampaknya sangat menempel dengan Aydin ini. Dimana ada Aydin disana ada Dilara. Sementara Julie yang membungkus tubuhnya dengan selimut duduk bersebelahan (baca menempel) dengan Chris dan Burak yang berkumpul dengan para dosen tidak termasuk Shania yang sudah mau tidur duluan.

Aku bertanya-tanya banyak hal pada Aydin dan Dilara, ketimbang tentang kuil dan sastra aku lebih tertarik pada sejarah dan pembaharuan di Negara mereka. Salah satunya presiden pertama mereka, Mustafa Kemal At-Taturk. Seorang militer yang terkenal dengan system sekulerisme nya.

Aydin dan Dilara sangat bersemangat bercerita, sampai-sampai dua manusia yang menyebalkan diseberang sana melihat mereka dengan minat dalam. Aku berdeham, mereka berdua tersentak seperti orang bodoh ketahuan menguping.

"Aku rasa aku mau istirahat, terimakasih sudah mau bercerita. Sampai besok Aydin dan Dilara." Aku berdiri kemudian memeluk Dilara dan juga Aydin kemudian pergi ke dalam bus.

Tepat tengah malam aku terbangun, melihat ke luar jendela yang hanya di tutupi dengan kain putih tipis, bahan yang mirip sekali dengan bahan puring gaun ku waktu ulang tahun kelima. Aku berusaha kembali tidur namun seperti ada yang mengganjal dan itu membuatku gerah. Beranjak dari rest room yang disinari cahaya remang-remang dari lampu tidur di atas meja dekat tempat tidur Julie dan Shania, aku memasuki dapur kecil dan meminum segelas air putih. Baru akan kembali ke rest room, aku mendengar bunyi angin yang lumayan kencang di saat sepi dan sunyi seperti ini.

Aku mengikuti kemana arah angin ini berasal, kutemukan pintu mobil bus yang sedikit tebuka, ku cek kamar sopir yang terkunci rapat dari dalam. Aku memutuskan untuk keluar bus sekalian mencari angin dan menikmati kuil artemis pada malam hari yang disinari cahaya bulan. Entah kenapa aku ingin memperhatikan kuil itu malam ini.

Aku berjalan dan berjalan dan tiba aku di dekat empat pilar yang masih berdiri di antara puin-puing kuil lainnya, di atas pilar itu ada sebuah bentuk segitiga penyangga dan tepat di atasnya bulan bulat nan pucat terlihat, tidak ditutupi awan malam yang hitam.

"Artemis? Orang bilang kau dewi keperawanan? Benarkah? Tapi aku ada baca novel yang salah satu tokohnya ada dirimu, mereka menggambarmu seperti seorang pecinta yang hebat. Kau memiliki kekasih namanya..." aku tertawa, menertawai diri sendiri.

"Apa kau percaya bahwa dewa dan dewi yunani itu ada?."

Aku membalik tubuhku, jujur aku sedikit takut dengan suara yang tiba-tiba datang seperti itu. Hei! Ini tengah malam dan ini di kuil Artemis yang katanya sudah berdiri sejak ribuan tahun lalu, bahkan sebelum masehi.

Aku mengusap dadaku, menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Berkali-kali aku melakukannya sampai akhirnya Chris mendekatiku dan menyejajarkan wajahnya dengan wajahku.

Mata itu, mata yang masih sama indahnya dengan beberapa tahun lalu.

"Kau kenapa Eleanor? Apa kau sakit?." Chris bertanya padaku, entah sudah berapa kali namun aku baru berhasil mengerti pertanyaannya sekarang.

"A..Aku baik-baik saja!." Aku mendorongnya kebelakang, kami tidak boleh berada sedekat ini.

Christopher melepaskan jaket tebalnya dan yang tidak kusangka ia melilit tubuhku dengan jaketnya itu dan memelukku dari belakang.

Apa-apaan dia?!

"Apa yang kau lakukan?!." Aku mendelik padanya.

"Kau menggigil, tidak kah kau sadar akan hal itu?." Aku mengangkat tangan kananku kedepan muka, iya Chris benar, aku bahkan sampai tremor sekarang.

"Aku tidak merasakan apa-apa." Kataku ngeri, melihat tanganku yang gemetar namun tidak bisa kurasakan sama sekali.

Cukup lama Chris mendekapku dari belakang dan aku mulai mendengar suara gigi ku yang beradu. Baru enam langkah Chris menopangku dari belakang, petir di ujung langit sana berbunyi dengan kilatan sinar putih berisi listrik yang duluan terlihat sebelumnya. Chris mempercepat langkah kami menuju bus yang baru aku sadari berada cukup jauh dari empat pilar tadi.

Total dua puluh langkah aku menghitung, hujan turun dengan lebat tanpa ampun. Seperti seseorang menuangkan air dari baskom, aku dan Chris langsung kuyup dan sinar bulan yang menjadi satu-satunya penerangan kami lenyap.

"Bagaimana ini? Aku tidak bisa melihat jalan!," aku mulai panik.

"Don't be panic E, I am here." Bisik Chris.

"Chris please, don't leave me!. I am seriously afraid now. And cold." Balasku berbisik, aku meyakini Chris mendengar karna sekarang aku merasakan pipi halusnya di pipiku.

Chris kembali membawaku berjalan, dengan penuhperjuangan kami menuruni anak tangga menuju bus yang rasanya makin lama makinjauh. Tak sekalipun Chris melepas pelukannya dari belakang, kami berjalanseperti Chris yang naik kepunggungku. Tepat beberapa langkah sebelum ke tendayang kemarin di bangun Chris, kami roboh. Dia menimpaku dari belakang dan aku mulai merasabus berputar, ban diatas dan atap bus di bawah.    

RegenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang