"Saya mengundurkan diri juga membatalkan tunangan."
Ucapannya memang mendadak, tapi pemikirannya sangat matang.
Bukan sekali dua kali dia berfikir seperti ini. Pekerjaan memang segalanya, tapi gadis itu lebih dari segalanya.
"Tolong pikirkan lagi. Tentang pekerjaan dan hubunganmu bersama Nakyung."
Nafasnya terhela dengan lembut, keputusannya sudah ada di tahap akhir.
"Sampaikan maaf dari saya untuk Nakyung. Terima kasih, surat pengunduran diri akan saya kirimkan lewat e-mail."
Sambungan telfon itu terputus. Pelaku yang mematikan sambungan telfon adalah Jinyoung. Kini ia menatap langit malam Praha dari balik jendela rumah singgahnya.
Pertemuan siang tadi berakhir dengan cukup membuat dadanya sakit.
Tepat setelah Siyeon mengucapkan selamat, setetes air mata jatuh dan dilanjutkan dengan kekehan kecil.
"Gue bego ya ternyata. Aduh lebay banget sampe nangis-nangis gini kaya anak baru gede aja."
"Saat gue mati-matian jaga hati gue, takdir emang gak pernah berpihak ke gue. Mungkin takdir bilang, gue harus nyerah buat berharap sama lo."
Menohok. Jinyoung tidak percaya ucapan Siyeon kala itu, tapi air matanya menandakan ucapan yang sebenarnya. Siyeon benar-benar tersakiti.
"Jadi gini rasanya diperbudak sama cinta."
Kembali lagi pada saat itu. Saat Jinyoung berfikir bahwa ia ingin menjaga Siyeon agar tidak ada yang menyakitinya, namun ternyata sakit hati terbesar Siyeon adalah dirinya.
Ini sudah kali kedua, dan Jinyoung tidak ingin ada kali ketiga.
Berbekal ransel dan beberapa potong baju, handphone dan peralatan lainnya, juga dompet. Jinyoung memutuskan untuk nekat, pergi ke Budapest untuk menyusul Siyeon.
Perjalanan antara Praha dan Budapest menghabiskan waktu sekitar lima jam. Sudah sepuluh jam dari keberangkatan Siyeon, kini Jinyoung sudah berada di kereta menuju Budapest.
—Zuhause—
KAMU SEDANG MEMBACA
Zuhause+bjy
Короткі історіїI look front and back, left and right. But when it comes to you, there's no exit. I try to find the entrance, but I cant find the way back. I'm trapped in you.