28th (Last Chapter)

382 75 18
                                        





Jinyoung bergegas, membawa kunci mobilnya dan melesat menuju garasi.


Berharap waktu memihak kepadanya, berharap dia belum terlambat untuk melihat gadis yang sangat ia sayangi.



Kadang penyesalan memang datang terlambat, Jinyoung mengutuk dirinya karena terus-terusan membohongi perasaannya sendiri.



Saat ia mengetahui bahwa hati Siyeon berkata sama, semuanya seakan-akan terlambat bagi dirinya untuk mengutarakan hal yang sama.




Matanya sudah memanas, membayangkan bagaimana jika dirinya hanya dapat melihat pesawat yang ditumpangi Siyeon lepas pandas saja.



Pedal gas itu ia injak keras-keras, berharap kecapatannya bisa terus bertambah dengan sebuah keajaiban.


Namun nihil, semakin ia menginjak pedal gasnya ia lebih merasa sangat lambat. Sangat-sangat lambat layaknya film yang diputar ratusan kali lebih lambat.


Bagitu tiba di bandara Jinyoung meninggalkan mobilnya di parkiran dan berlari sekencang mungkin menuju pintu keberangkatan.




Nafasnya memburu, matanya sibuk mencari sesosok gadis yang mungkin tidak akan ia temukan dengan mata telanjang. Perlahan ia mengeluarkan ponselnya dan menelpon nomor Siyeon yang masih tersimpan baik di kontak ponselnya.




Tersambung, namun tidak kunjung dijawab. Hingga ia mencoba untuk kesekian kalinya, suara itu menyapa telinganya.



"Halo?"


"Lo dimana?"


Dengan tidak sabar, Jinyoung menunggu jawaban Siyeon yang ada di sebrang telfonnya.



"Di bandara."



"Iya gue tau, dimananya?"



"Di bawah televisi, lurusan toilet."




Pandangan Jinyoung mengedar dan menemukan sosok Siyeon disana, tepat dibawah tempat yang ia deskripsikan.





Dengan cepat ia mengakhiri sambungan telfonnya dan berlari ke arah Siyeon.




Siyeon hanya menatapnya dengan tatapan sendu, ia tahu bagaimana terlukanya Siyeon selama ini.





Saat ia takut untuk menyakiti Siyeon, faktanya ialah yang menyakiti Siyeon paling dalam.




Banyak hal yang ingin ia ucapkan, namun semuanya tertahan tepat di ujung lidahnya. Tangannya hanya mampu menggapai jaket yang digunakan Siyeon, tidak mampu menggenggam tangannya.




"Si—"


Kata itu terpotong dan malah air matanya yang mulai turun. Jinyoung tak sanggup, bahkan untuk mengucapkan namanya.




Pada akhirnya yang Jinyoung lakukan hanyalah menangis, entah menangisi apa. Sambil menunduk, menghindari tatapan Siyeon.




"Jinyoung, lo kenapa?"




Pertanyaan itu membuat air mata Jinyoung menderas. Persetan dengan kata laki-laki tidak boleh menangis. Laki-laki punya perasaan juga.




"Kenapa? Kenapa lo baru bilang sekarang kalo lo sayang sama gue?"




Akhirnya, kalimat yang sekian lama tertahan di ujung lidah Jinyoung bisa ia ucapkan juga.



"Kenapa gue gak nyadar kalo lo sakit gara-gara gue?"



"Kenapa gue gak duluan bilang kalo gue sayang sama lo juga?"



"Kenapa kita gak ditakdirin buat bareng, Siyeon?"




Perlahan, pertahanan Siyeon juga runtuh. Air matanya mengalir lebih deras dari air mata Jinyoung, rasanya lebih sakit dari mendengar bahwa faktanya Jinyoung kini sudab bersama Hyunjin.




Kalimat 'kenapa kita gak ditakdirin buat bareng' menohok hatinya, mencabik-cabik isi hatinya menjadi bagian-bagian terkecil.




"Karena Tuhan belum ngasih kita waktu yang baik, Jinyoung."




Mencoba berfikir positif, setidaknya itu yang kini dilakukan oleh Siyeon. Meski dirinya sendiri tidak mengakuinya.





"Kenapa kita harus tau perasaan satu sama lain saat kita bahkan bakal dipisahin kaya gini. Kenapa Tuhan gak adil sama kita, Siyeon?"




Jinyoung adalah seorang bayi kecil, dia masih senang menanyakan hal yang memang sudah seharusnya terjadi.


"Jinyoung, ini bukan akhir. Gue cuman beberapa tahun aja disana, nanti gue balik lagi. Kita cuman pisah daratan aja. Langit kita masih bakalan sama, Jinyoung."




Jinyoung menarik Siyeon kedalam pelukannya, berharap gadis itu tidak pergi darinya. Namun, pengeras suara itu menghancurkan segalanya, pengeraa suara yang mengumumkan keberangkatan pesawat Siyeon.




"Gue harus pergi, jaga diri lo baik-baik. Gue sayang lo."



"Gue juga sayang lo."




Keduanya saling mendaratkan bibir satu sama lain, mencoba mengecap untuk terakhir kalinya. Dengan perasaan berat Siyeon melangkah, meninggalkan Jinyoung yang masih menatapnya dengan mata sembab.




Tunggu gue balik, Jinyoung.



—The End.—
Zuhause. April 23rd 2018.




Akhirnya aku nyelesain buku ini juga.
Aku gak akan bikin sekuel dulu mau ngeberesin Teen, Age. sama Colegio hehehe.

Makasih udah baca story ini, nanti kalo bikin sekuel aku kasih tau lagi ko♡

Zuhause+bjyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang