Suasana malam dengan semilir angin mengibar-ngibarkan poni rambut Bintang yang sedang duduk seorang diri di balkon kamarnya.
Menatap kosong luasnya langit yang tak dihiasi bintang malam ini. Warnanya yang sedikit memerah meyakinkan Bintang bahwa tak lama lagi akan turun hujan.
Pikiran Bintang kembali hanyut pada masa lalu. Teringat sosok panutan hidupnya di kala sosok itu masih hidup. Mengajari Bintang apa arti sebuah harapan. Sebuah harapan yang berada di tangan Tuhan.
Flashback
Bintang kecil terus mengikuti apa pun yang Budi, ayahnya lakukan. Berjalan menyusuri taman kompleks yang ramai oleh para ibu yang sedang menyuapi anaknya dengan semangkuk bubur.
"Papah, Bintang capek," beritahu Bintang seraya mencondongkan sedikit tubuhnya dengan kedua telapak tangan yang menumpu pada kedua lututnya.
Budi terdiam sejenak memandangi anak semata wayangnya.
"Papah, kenapa?" tanya Bintang heran seraya menegakkan tubuhnya.
Budi menggelengkan kepalanya. Berusaha mengusir firasat buruk
yang terus saja muncul dalam hatinya. Sebuah firasat tentang kematian."Gak kenapa-kenapa, Nak. Papah harap suatu saat nanti putra papah bisa melawan rasa cepek menghadapi kehidupan," harap Budi yang mungkin tak Bintang mengerti.
Usia Bintang masih 6 tahun, tidak akan tahu makna harapan yang papahnya sampaikan. Lantas Bintang kecil hanya mengangguk mengiyakan lalu memeluk papahnya sangat erat. Seolah tak mau terlepaskan sampai Budi akhirnya yang melepaskan dengan sebuah senyuman haru.
"Bintang haus, Pah," ucap Bintang yang merasa tenggorokannya kering.
Budi berbalik dan berjalan ke sebuah penjual minuman, membiarkan Bintang kecil menunggu di trotoar.
Selesai membayar, Budi berniat menghampiri putranya. Tapi naas takdir berkata lain.
Saat itu sebuah motor ninja dengan kecepatan maksimum menabrak Budi.Tabrakannya tak serius hanya menimbulkan sebuah luka di kening Budi yang terbentur dengan trotoar. Tapi saat itu juga seolah Tuhan sudah merencanakan dan mengambil Budi kembali.
Bintang menangis histeris dan menyesal.
Apa ini salah Bintang kecil?
Off
Bintang mengeram, "Arghhhh!" seraya mengacak-acak rambutnya sendiri. Walaupun ia tahu ini bukan kesalahannya, tapi bagaimana pun juga ia menyesal.
Memejamkan matanya sejenak. Mencerna harapan almarhum papahnya, Budi Pramudya Jaya.
Berberapa menit kemudian Bintang membuka kelopak matanya, berharap menjadi sosok Bintang yang diharapkan. Bukan sosok Bintang yang seperti saat ini, mudah rapuh dan putus asa.
Prankkk
Tanpa harus memastikan apa yang terjadi di bawah. Bintang sudah tahu. Pertengakaran yang hampir setiap malam terjadi dan kekerasan dalam rumah tangga.
Seberat apa pun, Bintang harus melindungi sosok satu-satunya yang Bintang miliki selain Mentari.
Bintang menuruni anak tangga dan disambut sebuah seringaian tajam dari lelaki brengsek di hadapannya.
"MASUK!" suruh lelaki itu dengan suaranya yang seperti suara setan di telinga Bintang.
"Sampai kapan? Hah?! Sampai kapan bikin mamah saya nangis wahai lelaki brengsek?!" lantang Bintang dengan volume suaranya yang tertinggi. Mungkin sekarang tetangga pun bisa mendengar dari jarak sekitar 10 meter.
Bluggg
Tinjuan mendarat sempurna di perut bawah Bintang, membuat ia tersungkur ke belakang karena tidak siap.
Sementara wanita paruh baya yang terduduk di lantai hanya bisa menyaksikan. Jiwanya sudah lemah tak kuat melindungi putranya yang jauh lebih kuat menghadapi suami keduanya. Hanya satu yang ia harapkan, sebuah harapan Bintang akan baik-baik saja.
Bluggg
Bluggg
BlugggTiga tunjuan menyusul dan selalu tepat mengenai perut Bintang. Bintang hanya diam seraya menahan sakitnya. Tidak tahu kondisi perutnya seperti apa setelah ini.
"CUKUP, MAS! CUKUP! SAYA MAU CERAI!" putus ibu Bintang yang sudah tidak tahan lagi. Wanita itu berusaha bangkit dan menolong Bintang.
Lelaki brengsek itu bungkam. Seolah menyadari apa yang ia perbuat selama ini. Melakukan kekerasan kepada anak tiri dan istrinya. Mengacak rambutnya frustasi layaknya memiliki kepribadian ganda.
"Cerai?" tanya lelaki itu dengan pelan.
"Iya, mas. Saya udah capek kena pengaruh pribadi kamu yang keras itu," sahut ibu Bintang yakin bahwa keputusannya tidak salah.
"Tapi, itu bukan saya," elak lelaki itu. Ya, dia adalah seorang alter ego. Kepribadian ganda, berubah menjadi buruk saat tertekan.
"Saya tahu, tapi saya yakin ini yang terbaik," ucap ibu Bintang.
Bintang berharap itu benar-benar terjadi. Seketika rasa sakit di perutnya berubah menjadi rasa senang di dadanya.
"Besok kita urus semuanya," ucap ibu Bintang lalu menuntun putranya untuk duduk di sofa ruang keluarga.
Rasanya saat ini juga Bintang ingin melompat-lompat di atas sofa. Menunjukkan kesenangannya yang berlebihan.
"Bintang setuju kan, Nak?" tanya ibu Bintang memastikan tidak ada pihak yang dipaksa.
Bintang mengangguk mantap. Remaja 16 otw 17 tahun itu memeluk ibunya dengan tulus dan dibalas pelukak hangat.
Kalau gue nikah sama Mentari terus punya anak dan anaknya cewek. Gue mau kasih nama sama kayak mamah, ah. Supaya jadi wanita kuat dan sabar, pikir Bintang yang sudah jauh bertahun-tahun ke depan.
"Perut kamu masih sakit, Nak? Ayo kita ke rumah sakit sekarang!" ajak ibu Bintang seraya melepaskan pelukannya.
Bintang menggeleng, menurutnya hanya laki-laki cupu yang seperti itu. Tertinju empat kali langsung ke rumah sakit.
"Besok,Bintang mau kenalin mamah sama seseorang," ucap Bintang mengalihkan topik pembicaraan.
Ibu Bintang menaikkan sebelah alisnya, bingung dan heran. Lalu duduk di sofa diikuti gerakan yang sama oleh Bintang.
"Hmm, Bintang pengin tidur di pangkuan mamah," rengek Bintang manja. Seolah kembali menjadi Bintang yang dulu.
Ibu Bintang tersenyum dan membiarkan Bintang terlelap dalam pangkuannya hingga esok. Tak berselang lama kelopak mata Bintang tertutup dan Bintang pun siap disambut oleh mimpinya.
-Love with badboy-
Next?
Jakarta,
13-06-18
MalamDoble up ya
Geser masih ada=>
KAMU SEDANG MEMBACA
Love with badboy [Completed]
Teen Fiction'Tentang rasa yang tak kunjung mereda' "Gue suka sama lo, lo bisa apa?" -Bintang Pramudya Jaya. Disini, di bawah langit Jakarta, Mentari menceritakan semuanya. Di atas bumi yang berputar pada porosnya dan berputar mengelilingi matahari, Mentari mera...