Di saat semua orang bersorak gembira jika hari libur tiba, Mentari justru kebalikannya. Murung dan sebal, rasanya ia ingin mencoret tanggal merah di kalender setiap rumah yang ada di muka bumi ini. Tapi dirinya tak sebodoh itu untuk melakukannya.
"Weh! Sini lo!" suruh gadis berusia sekitar 16 tahun atau sebaya dengan Mentari. Gadis itu tampak glamor sehingga jika dilihat seperti wanita berusia 25 tahunan.
Mentari menghela nafasnya dan menghentikan aktivitas memakan nasi dengan lauk telur dadar di meja maka.
"Beliin gue farfum yang kayak biasa!" suruh gadis itu yang bernama Queen. Namanya memang sesuai dengan kelakuannya yang selalu menyuruh bak putri kerajaan.
Mentari menyongsong tangan kanannya untuk meminta uang. Tangan itu ditepis dengan kasar oleh Queen seraya berucap, "Pake duit lo lah, kan gue nyuruh."
Mentari menyahut dengan jujur, "Gak ada."
Queen berdecak kesal dan berjalan ke kamarnya. Kamar itu berbanding terbalik dengan kamar Mentari. Di saat kamar Mentari pengap dan gelap, sedangkan kamar Queen luas dan terang.
"Nih, gc mau gue pake buat hangout," ucap Queen seraya menyerahkan selembar uang berwarna biru di tangannya.
Mentari meraih uang itu dan segera berjalan keluar rumah untuk membeli apa yang diminta saudara tirinya itu. Layaknya pembantu yang menuruti perintah majikannya.
Berjalan diiringi sang surya dengan sinarnya yang menyengat. Ini alasan kenapa Mentari benci hari libur, pasti ia akan disuruh-suruh seperti ini.
Tinnn
Mentari mendengus kesal karena padahal ia sudah berjalan di tepi. Tapi, kenapa masih diberi klakson? Gadis itupun menoleh.
"Ini gue Bintang," ucap Bintang yang tak lain adalah sang pengklakson. Seraya membuka kaca helm yang dikenakannya.
"Ternyata Jakarta gak seluas yang gue pikir," sahut Mentari.
Bintang terkekeh dan memberi kode kepada Mentari untuk naik ke motornya.
Entah kenapa hati Mentari seolah berbisik 'udah naik aja' Mentari yang mudah tepengaruh alhasil mengikuti perintah hatinya.
Baru saja Mentari menjatuhkan bokongnya di jok, jantungnya seperti lari marathon. Rasanya saat ini ingin segera turun dan berlari menjauhi Bintang supaya jantungnya kembali normal.
Hal serupa dirasakan Bintang, tapi tak separah jantung Mentari.
"Mau kemana?" tanya Bintang lewat kaca spion.
"Ke minimarket bentar," jawab Mentari sedikit gugup. Beruntung hanya sedikit, bagaimana jika tadi ia sampai terbata-bata?
Bintang mengangguk dan mulai melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Membelah jalanan Jakarta yang ramai. Mengklakson tiap mobil angkot yang menghalanginya.
Ingin rasanya Mentari mempercepat waktu supaya segera sampai. Bagaimana pun juga ia masih ingin hidup walau hidupnya menyakitkan.
"Gue masih mau hidup, Bintang!" teriak Mentari tepat di samping telinga kanan Bintang.
"Pegangan makanya!" sahut Bintang tanpa mengubah kecepatan berkendaranya. Menurutnya ini masih normal saja, Mentarinya saja yang lebay.
Dengan jantung yang masih tak bisa normal, kedua lengan Mentari melingkar di pinggang Bintang yang dibalut kaus polos berwarna biru muda.
"Nah gitu, bukan gue modus kok. Ini keselamatan berkendara," ucap Bintang lalu menambahi kekehan khasnya diakhir kalimat.
Ndasmuh, batin Mentari kesal.
Menit demi menit berlalu dan akhirnya motor ninja hitam milik Bintang telah nendarat dengan selamat di parkiran sebuah minimarket di tengah Ibukota.
"Udah?" tanya Mentari bodoh.
"Udah, sayang," sahut Bintang hanya bercanda dan berharap candaannya menjadi kenyataan di kemudian hari.
Mentari tersenyum canggung dan melenggang pergi meninggalkan Bintang seorang diri bersama motornya.
Tujuan Mentari langsung ke rak kosmetik di sekitar kasir. Meraih farfum yang biasa ia beli untuk Queen. Dibandrol dengan harga Rp.25.200, tapi wanginya menyengat.
Tanpa kemana-mana lagi, gadis itu menghampiri kasir dan menyerahkan barang yang ingin dibayar.
"Nih," ucap Mentari seraya menyerahkan uang yang tadi diberikan Queen sebelum berangkat.
Sang kasir memberikan uang kembalian dan gadis itu pun keluar minimarket.
Harapan Mentari, Bintang masih ada di tempatnya. Harapannya terkabul alhasil gadis itu sumringah seraya berlarian menuju Bintang.
"Di dalem emang ada apa? Kok lo jadi sumringah gitu?" tanya Bintang heran seraya memakai helmnya.
"Ah, enggak ada apa-apa," sahut Mentari menormalkan ekspresi wajahnya supaya terlihat biasa tidak seperti bocah yang diberi permen gratis.
Mentari segera naik dan memberitahu alamat rumahnya, "Jalan Warakas 4 gang 16."
Bintang melajukan motornya ke alamat yang disebut Mentari. Tanpa harus menanyakan lagi dimana letaknya, apa patokannya, karena ia sudah hafal seluk beluk tanah kelahirannya.
Jantung Mentari lagi-lagi tak normal. Pandangannya tertuju lurus pada kedua tangannya sendiri yang melingkar pinggang Bintang.
Teriknya matahari, hitamnya polusi, kencangnya klakson seolah menyaksikan bahwa awal dari cinta seperti ini.
Butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai di rumah Mentari. Gadis itu segera turun tanpa mengucapkan apa pun dan langsung fokus pada seorang pria paruh baya di ambang pintu.
Witama, ayahnya tersenyum dan merenggangkan kedua tangannya. Mentari memeluk ayahnya dengan erat seolah menyuruh untuk tidak pergi kemana-mana.
"Mentari kangen papah," ucap Mentari seraya melepas pelukannya. Gadis itu sedikit mendongak karena Witama bertubuh tinggi dan gagah.
"Tapi kangennya udah terobati kan? Papah cuman sebulan doang kok," sahut Witama lalu tersenyum tulus diakhir kalimatnya.
Ingin sekali rasanya Mentari menjawab 'Iya sebulan, tapi bagi Mentari kayak setahun, karena Mentari dijadiin babu' Berhasil gadis itu urungkan.
"Si Bintang mana ya?" gumam Mentari seraya mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. Tapi nihil.
"Cari siapa? Yuk masuk!" ajak Witama lalu masuk mendahului Mentari seraya membawa tiga buah paperbag di tangannya.
Terima kasih, Tuhan. Hari libur yang berbeda, batin Mentari senang.
-Love with badboy-
Next?
Jakarta,
23-05-18
MalamHai msh ada gk ya yg bc crtku? Kalau ada ayo tunjukan dirimu! Asek wk:v
Gmn suka gk? Suka ya suka hehe:)
Dilanjut gk nih? Lanjut ya lanjut hehe:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love with badboy [Completed]
أدب المراهقين'Tentang rasa yang tak kunjung mereda' "Gue suka sama lo, lo bisa apa?" -Bintang Pramudya Jaya. Disini, di bawah langit Jakarta, Mentari menceritakan semuanya. Di atas bumi yang berputar pada porosnya dan berputar mengelilingi matahari, Mentari mera...