Bel pulang berbunyi panjang membuat para murid berteriak bebas dalam hatinya masing-masing. Dalam kelas Sebelas IPS Satu semua sibuk berkemas-kemas.
Lalu seperti biasa, guru yang mengajar menyuruh ketua kelas untuk meyiapkan doa. Sampai akhirnya guru itu melenggang keluar diikuti murid-murid dari belakang.
Mentari mempercepat langkahnya saat menyusuri koridor IPS kelas Sebelas. Bahkan nyaris berlari menuju kelas Bintang sampai tiba-tiba sepasang sepatu mengalanginya. Lantas gadis itu mendongak.
"Bintang, gue mau ngasih sesuatu buat lo," ucap Mentari to the point seraya mengeluarkan sesuatu dari belakang punggungnya.
Alis Bintang naik sebelah saat gadis di hadapannya menyodorkan sebungkus rokok yang tempo hari pernah ia titipkan dan selembar kertas yang dilipat menjadi dua bagian.
"Gue tau lo berat buat berhenti ngerokok makanya jadi marah sama gue," jelas Mentari.
Bintang mengaggukkan kepalanya, kemudian tangan kanannya mengangkat lipatan kertas itu seolah bertanya 'Kalau ini?' Dengan tatapan dinginnya yang menusuk.
Mentari tertegun melihat tatapan Bintang, menelan salivanya sendiri. Mencoba mengingat-ngingat apalagi kesalahannya yang sukses membuat cowok itu berubah dalam sekejap.
"I-itu surat buat lo," jawab Mentari seraya menunduk. Cukup, ia tak sanggup beradu pandang dengan kedua bola mata coklat terang itu.
Bintang hanya mangut-mangut lalu berbalik menyisakan Mentari yang masih setia di posisinya. Gadis itu kembali mendongak setelah melihat sepasang sepatu NB itu melangkah pergi.
Jantungnya berdegup kencang padahal Bintang tak melakukan perlakuan manis apapun. Justru bersikap seolah-olah tidak dekat dengannya. Menghela nafasnya berat lalu kembali ke kelasnya, ya ia lupa membawa ranselnya untuk ikut pulang.
Tak ada siapa pun di kelas, gadis itu cepat-cepat menghampiri mejanya dan segera meraih ranselnya. Megecek laci meja takut saja ada barang yang tertinggal dan hasilnya nihil.
Jantung yang sempat berdetak normal lagi-lagi berdegup kencang. Gadis itu menatap lurus objek nyata di hadapannya. Bersusah payah tersenyum, tapi jatuhnya senyum kikuk.
"Ikut gue!" titah Bintang tegas seperti paksaan.
"Ke-kemana?" tanya Mentari terbata-bata.
Bintang tak mengubris dan menarik lengan Mentari secara paksa hingga gadis itu meringis. Mentari terus bungkam tak berani bicara ini bukan Bintang yang ia kenal. Bintang yang berubah 180 derajat.
"Bintang, lepas!"
Kedua insan itu menoleh ke sumber suara. Berdiri Satrio dengan dua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Perlahan Satrio mendekat dan langsung memamerkan senyum miringnya kepada Bintang.
Bintang melepas genggaman tangannya pada Mentari, lalu maju selangkah mendekati Satrio. Tanpa ba bi bu lagi, cowok itu menarik kerah seragam seniornya itu.
"Jangan ikut campur!" tegas Bintang.
"Dia," Satrio menjeda ucapannya seraya melirik sekilas Mentari yang masih diam di tempat.
"Mau jadi korban keberapa? Hah?!" lanjut cowok itu berapi-api seraya menempelkan jari telunjuk ke pelipisnya. Seolah menyuruh Bintang untuk berpikir.
Hening.
Tidak ada yang mengangkat suara di sana sampai akhirnya Mentari memberanikan diri.
"Korban? Ko-korban apa?" tanya gadis itu dengan suaranya yang bergetar. Menatap Bintang dan Satrio secara bergantian seolah meminta penjelasan yang lebih rinci.
Keadaan kembali hening.
"Bintang jawab! Kak Satrio jawab!" pinta Mentari seraya menguncang-guncang tubuh Bintang dan Satrio secara bergantian.
"Tumbal," desis Satrio pelan tahu pasti jawaban itu akan melukai hati Mentari.
Jawaban yang terlontar jelas dari mulut Satrio sukses membuat tubuh Mentari melemas dan telapak tangan Bintang yang mengepal keras.
Bluggg
Satu kepalan mendarat sempurna di rahang kanan Satrio hingga mengeluarkan darah segar. Mentari panik bukan main, tapi apalah dayanya. Melihat darah yang keluar dari rahang Satrio membuat jantungnya mencelos.
"Karena cuman dia yang bisa ngeluruhin hatinya mereka!" ucap Bintang tanpa merasa bersalah.
Mereka yang dimaksud Bintang adalah murid-murid yang tempo hari ingin menyerang SMA Cendrawasih. Kesalahan semua kembali pada Nathan, jika saja anak biadap itu tidak mengedarkan narkoba di sekolah SMA Perdana pasti urusannya tidak serumit ini.
Tapi bukannya saat itu Bintang yang kembali mengajak di kemudian hari? Ya, memang Bintang. Cowok itu patut disebut pengecut karena pada hari Hnya mendadak takut. Wajar saja, toh yang para senior tidak mau membantunya.
Rumit? Memang. Semoga paham.
"Cuman gue? Dan seenak udelnya lo buat gue jadi tumbal?" tanya Mentari seraya menunjuk dirinya sendiri. Menatap Bintang dengan tatapan tak percaya, setega itu.
Bintang diam tak berkutik sadar akan kesalahannya yang menggores luka di bagian terdalam hati gadis di hadapannya. Lidahnya mendadak kelu untuk menjawab dan tenggorokannya tercekat.
Plakkk
Tamparan keras menyadarkan Bintang. Seharusnya sakit di pipi, tapi cowok itu merasakan sakit di hati. Kini bergantian Bintang yang menunduk, cupu memang.
"Savage boy!" ucap Mentari. Naik turun menahan emosi. Sedetik kemudian gadis itu melenggang pergi menyisakan Bintang dan Satrio yang masih di tempat.
Bintang mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat sampai kuku jarinya memutih. Menatap Satrio sekilas lalu melayangkan kepalannya itu ke tembok. Ya, jelas mengeluarkan darah.
Satrio hanya tersenyum miring dan menepuk bahu kanan Bintang sekali lalu mengikuti langkah Mentari. Merasa menjadi pahlawan pada hari ini.
Sedangkan Bintang terus menerus meninju tembok menggantikan peran samsak sementara. Tembok yang menjadi pelampiasan penyesalan.
Sampai akhirnya Pak Mual datang dan segera menghentikan Bintang yang sedang melukai fisiknya sendiri. Membawa cowok itu untuk pulang.
-Love with badboy-
Next?
Jakarta,
30-06-18
Malam
MingguUp satu chap aj ya? Heheh
Mendekati end btw
Masih suka gak?Vomment yaw
Bye♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Love with badboy [Completed]
Ficção Adolescente'Tentang rasa yang tak kunjung mereda' "Gue suka sama lo, lo bisa apa?" -Bintang Pramudya Jaya. Disini, di bawah langit Jakarta, Mentari menceritakan semuanya. Di atas bumi yang berputar pada porosnya dan berputar mengelilingi matahari, Mentari mera...