17. Tidak setuju

4.1K 269 10
                                    

Bintang menuruni anak tangga dengan senyumnya yang mengembang. Sudah tidak ada lagi lelaki brengsek yang mengganggu keluarganya. Hak asuh anak pun diberikan sepenuhnya kepada ibunya.

"Pagi Bintang," sambut ibu Bintang seraya merapikan roti-roti di atas meja makan.

"Pagi Mah," sahut Bintang seraya menjatuhkan bokongnya dengan sempurna ke bangku makan.

Ibu Bintang menatap Bintang sejenak sepertinya ada yang akan dibicarakan. Dari manik mata wanita itu juga terlihat serius.

"Bintang, mamah mau ngomong," ucap ibu Bintang.

Bintang hanya menyahut dengan deheman. Lalu mulai menggigit roti berselai kacang di dalamnya. Makanan kesukaannya, tapi jika disuruh memakan kacang goreng sungguhan cowok itu bergidik entah kenapa.

"Mamah dipindahkan kerja ke Bandung," lanjut ibu Bintang dalam satu tarikan nafas. Terdengar berat dari intonasi suaranya.

Bintang seketika tersedak dan langsung buru-buru meminum susu coklat yang tak jauh dari jangkauannya.

Cowok itu mengangkat suaranya, "Terus apa mamah setuju?" Terdengar sangat keberatan menerima jika dirinya pun harus pindah dan menetap di Bandung.
Kota yang bahkan tak pernah terpikir dalam benaknya dan seumur-umur ia belum pernah menginjakkan kaki di kota itu.

"Jawab Mah!" tuntut Bintang terlalu lama menunggu ibunya menyahut.

Perlahan kepala wanita itu menurun ke bawah lalu naik kembali alias mengangguk walau samar. Bintang sangat kecewa atas keputusan ibunya itu.

Mood Bintang hancur seketika. Cowok itu bangkit dengan kasar seraya sedikit melempar roti di tangannya. Melenggang pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.

Ibu Bintang hanya diam tak melakukan respon apa-apa. Yakin betul memang anaknya tidak setuju jika harus meninggalkan tanah Jakarta.

Bintang menaiki motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sebagai pelampiasan kekecewaannya. Membelokkan motornya bukan menuju sekolah.

Hatinya mengajak untuk bolos pada hari ini, entah kemana. Semakin lama kecepatannya semakin cepat. Sampai akhirnya,

Brukkk

Semua di jalanan itu dibuat terkejut oleh insiden tabrakan yang baru saja terjadi beberapa detik yang lalu. Sebuah mobil angkot ditabrak dari belakang dengan keras oleh motor ninja hitam dengan kode B di plat nomornya.

Samar-samar Bintang mengamati sekelilingnya. Semua orang mengerumuninya dengan raut wajah panik masing-masing. Ia bangkit berusaha menahan sakit goresan di tangannya yang bergesekan langsung dengan aspal. Darah mengalir, tidak deras memang.

Lukanya cukup dalam, menurutnya. Beruntung kepalanya dilindungi oleh helm yang melekat sempurna. Luka di tangan, tapi kenapa seakan kepalanya yang sakit.

Bintang mengerang seraya memegangi pelipisnya, membuat orang-orang di sekitar situ saling tatap aneh. Tunggu, apa mereka tidak ada satu pun yang mau membantu Bintang untuk menepi? Semuanya sibuk menonton.

Bintang sudah tidak kuat lagi, pandangannya mendadak kabur. Tapi samar ia melihat seorang pria paruh baya mendekatinya dan setelah itu pun semuanya gelap.

***

Perlahan Bintang membuka kelopak matanya. Mengingat-ngingat musibah apa yang baru saja menimpanya. Sehingga tubuhnya berada di sebuah ruangan bernuansa putih yang Bintang yakini rumah sakit.

"Hmm, saya di rumah sakit?" tanya Bintang.

Pria paruh baya itu terlihat terkejut dan bangkit dari duduknya. Menghampiri Bintang dengan tatapan tidak bisa diartikan. Pria itu mengenakan seragam kantornya.

"Kamu udah sadar?" tanya pria itu dengan raut wajah khawatir.

Bintang hanya mengangguk mengiyakan. Lalu berpikir sejenak. Dia...Witama, ayah kandung Mentari.

Drtttt

Getaran ponsel dari dalam tas saku yang dikenakan Witama itu sukses membuat sang empunya merogoh ponselnya. Membaca sejenak nama yang tertera di layar ponselnya lalu sedetik kemudian mengangkat dan sedikit menjauhi Bintang.

"....."

"Iya, sabar. Tolong tenangin bentar," sahut Witama menenangi suara di sebrang telepon yang memintanya untuk cepat menemui klyen.

"....."

"Ok saya segera ke sana," putus pria itu
frustasi karena sekretarisnya gagal menenangi klyen.

Tuttt...tut...tut....

Telepon dimatikan secara sepihak. Witama masih berada di posisinya, jari jemarinya sedang mengetik pesan di ponselnya.

"Makasih, om," ucap Bintang.

Pria itu menoleh dan kembali mendekati Bintang. Tersenyum tulus dan berucap, "Sama-sama."

Ceklek

Suara pintu terbuka. Berhasil mengalihkan pandangan keduanya ke sumber suara.

Dengan raut wajah yang terlihat jelas, ibu Bintang mengahampiri putranya. Segera memeluk Bintang dengan erat. Bintang diam tak bergeming.

"Bintang, Kamu gak pa-pa kan, Nak?" tanya ibu Bintang dengan sedikit meraba-raba tubuh putranya.

Bintang hanya menggeleng.

Drtttt

Lagi dan lagi ponsel Witama bergetar. Segera berhenti saat yang empunya mengangkat dan keluar dari ruangan.

"Ibu minta maaf, Nak. Tapi ini yang terbaik. Kalau ibu menolak, kita mau makan pake apa, Nak? Cuman ini cara satu-satunya, kita menetap di Bandung," ucap ibu Bintang seraya menggenggam kedua tangan Bintang.

Bintang berdecak dan mengalihkan pandangannya ke langit-langit ruangan. Malas melihat wajah ibunya yang menurutnya egois.

Pikiran Bintang hanyut memikirkan bagaimana nanti Witama alias calon mertuanya mengira bahwa dirinya adalah anak mamah.

"Bintang," panggil ibu Bintang lembut sukses membuat sang empunya nama menoleh.

"Apa?" tanya Bintang dingin.

"Belajar ngertiin perasaan orang ya? Ngertiin perasaan mamah," sahut ibu Bintang lalu melenggang keluar ruangan.

"Arghhhh!" teriak Bintang frustasi seraya mengacak-acak rambutnya sendiri dengan tangan yang masih diinfus.

"Gue gak bakal bisa jauh-jauh dari dia! Gue gak mau! Bodo amat!" lanjutnya menggema di seluruh ruangan.

Infus yang berada di tangannya terlepas karena Bintang tidak bisa diam dari tadi. Mata cowok itu teredar dan jatuh tepat ke jendela kaca yang terbuka lebar.

Gue harus ketemu dia, batin Bintang.

Dia yang dimaksud Bintang adalah....

-Love with badboy-
Next?
Kuningan,
20-06-18
Malam

Smg msh suka ya gaess

Love with badboy [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang