Kondisi Kelas Sebelas IPS Tiga sangat sunyi, bahkan tak ada siapa pun yang berbicara. Ini semua akibat masuknya Pak Idris secara tiba-tiba dengan raut wajah mengenaskan. Seperti hendak menerkam mangsanya yang tak lain tak bukan adalah Bintang.
Bintang yang ditatap seperti itu hanya membalas dengan tatapan dinginnya yang menusuk. Seolah mengisyaratkan dirinya tak takut sama sekali. Sedangkan murid-murid lain hanya menundukkan kepalanya.
"Ikut saya!"
Bintang bangkit dari duduknya hingga menciptakan decitan bunyi yang sukses mengalihkan seluruh pandangan murid-murid. Riko, sang ketua kelas menatap penuh tanda tanya dan dibalas gelengan kepala oleh Bintang.
Terdengar helaan nafas lega dari murid-murid yang lain. Itu hanya membuat Bintang semakin kesal, dengan sebuah pertanyaan yang tak bisa ia ungkapkan. 'Mana solidaritas kalian?!' Bahkan hanya Riko yang peduli padanya, miris.
Bintang terus berjalan mengikuti Pak Idris dari belakang dan mendesah pelan saat Pak Idris membawanya ke Ruang Kepsek. Bu Sapto selaku Kepala Sekolah melirik Bintang sekilas dengan tajam lalu kembali menghadap laptopnya.
Pak Idris kembali keluar menyisakan Bintang dan Bu Sapto dalam ruangan itu. Bintang yakin, Pak Idris akan memanggil Satrio dan Mentari. Kenapa tidak sekalian saja? Entahlah.
Bintang menunduk memandangi sepatunya, telapak tangannya mengepal keras. Tak berselang lama tiba-tiba Satrio dan Mentari muncul di ambang pintu tentu ditemani Pak Idris dari belakang.
Bu Sapto berdehem keras kode supaya semua yang berada di sana mendengarkannya. Kode itu langsung dimengerti oleh ketiga anak yang sudah terduduk sejajar di hadapan sang kepsek.
"Mulai dari Satrio, jelaskan permasalahannya,"
Satrio mendongak dan menghela nafasnya sejenak.
"Kemarin pulang sekolah, saya melihat Bintang menarik paksa lengan Mentari. Sa-" terpotong oleh telapak tangan kanan Bu Sapto yang seolah menyuruh untuk berhenti.
Bu Sapto memandang Mentari dan bertanya, "Apa benar?" Dengan dahinya yang mengerut.
Mentari mengangguk mantap dan dibalas anggukan kepala oleh wanita itu. Lalu kembali mengalihkan pandangannya pada Satrio seolah menyuruh untuk melanjutkan.
"Saya tahu apa maksud Bintang. Dia ingin menjadikan Mentari sebagai tumbal," lanjut Satrio seraya melirik Bintang lalu menyunggingkan senyum miringnya.
Bu Sapto bangkit dari duduknya, menatap Mentari, Bintang, dan Satrio secara bergantian. Meraih tiga lembaran di atas mejanya yang memang sudah dipersiapkan. Lalu menyerahkan lembaran kertas itu dengan kasar kepada ketiga muridnya. Tak lupa memberikan pelototan gratis miliknya.
"Berikan pada orangtua Kalian, apa pun reaksi mereka Saya tak peduli,"
Setelah mengucapkan kalimat itu, Bu Sapto mengibaskan tangan kanannya di udara. Kode keras supaya semua keluar dari ruangannya.
Sebelum atasannya mengamuk, Pak Idris memberi kode kedipan mata kepada Satrio yang paling dekat dengannya. Satrio mengangguk dan menarik lengan Mentari. Sedangkan Bintang mengikuti dari belakang.
Jantung Mentari berdegup kencang mengira-ngira apa isi dari surat yang berada dalam genggamannya. Mungkin saat ini Satrio bisa merasakan telapak tangan Mentari yang dingin.
Benar saja. Satrio bertanya, "Lo sakit?" Dengan raut wajah khawatirnya. "Tangan lo dingin," beritahunya.
Bintang berdehem dengan keras lalu berjalan mendahului dua insan yang tiba-tiba saja menghalangi jalannya. Sementara Mentari bungkam tak percaya Bintang sudah tak peduli lagi dengannya.
Tesh
Air mata seorang Aura Mentari Senja jatuh bebas di hadapan Satrio. Cepat-cepat gadis itu mengelap menggunakan tangan kosong.
"Jangan nangisin cowok kayak dia," ucap Satrio menatap juniornya nanar.
"Tapi gue sayang dia, Kak," jawab Mentari dengan suaranya yang bergetar. Menahan isakan tangisnya sendiri pun ia tak sanggup.
Satrio menggenggam tangan Mentari dengan erat. Kedua bola mata hazelnya mampu meneduhkan siapa pun. Tak terkecuali Mentari. Gadis itu speechels. Bagaikan dihipnotis dalam sekejap.
Mentari akui Satrio tergolong tampan. Alis tebalnya yang hampir menyatu, hidungnya yang mancung, bibirnya yang berwarna merah muda semua Satrio miliki.
Tapi cinta tidak dilihat dari fisik kan? Tapi kita juga tidak boleh munafik kan?
Jika dilihat dari fisik jatuhnya nafsu bukan cinta. Benar atau salah? Ketika kalian beranggapan benar, apa kalian serius? Tidak munafik? Ketika kalian beranggapan salah, itu artinya kalian telah dibutakan oleh cinta.
Simpel kan? Tapi, apa kalian paham? Semoga saja.
"Jangan biarin air mata lo jatuh sia-sia karena dia," jeda hanya karena Satrio yang melepaskan genggamannya. "Kalau dia sayang, dia gak bakal bikin lo nangis kayak gini." lanjutnya.
Mentari tertegun. Ini baru yang namanya laki-laki, menurutnya. Tidak banci, tidak pengecut seperti dia. Dia adalah Bintang Pramudya Jaya, badboy cap kakap yang pergi tanpa pamit dan menggores luka mendalam di hatinya.
"Iya, makasih," ucap Mentari seraya menghapus kembali air mata yang mengalir di pipinya. Lalu memberika senyum hangatnya pada Satrio.
Percayalah, di lain sisi ada seseorang yang sedari tadi menyaksikan tiap adegan romantis kedua insan itu. Mengintip di balik pintu ruang multimedia yang memang berjarak tak jauh dari TKP.
"Maafin gue, Mentari," lirih Bintang seraya bersandar. Memejamkan matanya sejenak berusaha menahan air mata bajanya supaya tidak jatuh dengan sekuat tenaga.
"Lo bukan milik gue lagi, tapi gue udah janji bakal lindungin lo dari kejauhan," tekatnya sudah bulat. Tak berselang lama, cowok itu melenggang keluar dengan tangan kanannya yang masih setia menggenggam lembaran.
Tanpa harus membaca juga ia yakin isinya adalah tidak diperbolehkan sekolah selama tiga hari atau diskors. Lantas cowok itu membuang ke tempat sampah, toh mau diberikan pada siapa? Ibunya kan sudah meninggalkan dirinya dan menetap di Bandung.
"Gimana sih rasanya punya keluarga utuh? Alias gak berantakan kayak keluarga gue," gumam Bintang seraya berjalan menuju parkiran.
Hah?! Motornya hilang! Gak deng canda:v
-Love with badboy-
Next?
Jakarta,
04-07-18
MalamHai bintang&mentari blk lg nih
TIK TOK DIBLOKIR GAES!!!
Wkwk
Bowo&kaumnya terancam punah (ketawa, jgn?)msh suka gak? Smg msh ya♡
Bye
KAMU SEDANG MEMBACA
Love with badboy [Completed]
Ficção Adolescente'Tentang rasa yang tak kunjung mereda' "Gue suka sama lo, lo bisa apa?" -Bintang Pramudya Jaya. Disini, di bawah langit Jakarta, Mentari menceritakan semuanya. Di atas bumi yang berputar pada porosnya dan berputar mengelilingi matahari, Mentari mera...