~Sensasinya telah hilang, kebermanfaatannya lindap. Mungkin akan lebih baik dibuang saja.~
Alunan sholawatan yang samar-samar kudengar menyejukkan rasa yang mencemburu pada waktu. Tidak lagi teringat tentangnya si makhluk astral itu. Biarlah mungkin sekarang ia mati dimakan waktu atau hanya bersembunyi sejenak dari pemikiranku. Namun, jika dipancing perihal tentangnya. Tetap saja sisa ingatanku masih ada.
Percuma saja berspekulasi seorang diri. Seolah-olah ia akan memikirkanku juga. Nyatanya, itu semua adalah spekulasi yang tidak berdasar. Ayolah, kebanyakan para lelaki itu mudah sekali melupakan. Beda sekali dengan diriku yang sudah bertahun-tahun masih terus bertahan.
Yuliana datang lagi padaku malam ini. Ia sekedar menge-print tugasnya. Kupandang sekilas dirinya yang mengenakan kerudung merah jambu. Secerah kelopak mawar yang tengah mekar di malam hari. Senyumnya mengalahkan gulali yang dijual di mini market.
"Jadi, kapan Kakak update?" tanyanya mengawali kebisuan yang kusengajakan sejak tadi.
Sudah lama tulisan itu nangkring di dunia jingga. Tugas perkuliahan dan tidak ada semangat nyaris membuatku lupa dengan asa yang kian memburu pada waktu dulu. "Hm, belum ada rencana sebenarnya."
"Ayolah Kak, cepatin tamatnya. Jamuran nunggunya tahu." Lesung pipit yang tercipta semakin membuatnya tampak gemas. Posisi bias cahaya yang terhalangi lemari menjadikan kedua bola matanya semakin menyipit dalam remang.
"Cak, Kakak pikir sekali lagi deh, sudah berapa lama nggak update?"
Rasanya telah lama sekali. Naskah itu seumuran dengan perkuliahanku. Jika saat ini sudah pertengahan semester delapan. Itu berarti hampir setengah windu. "Ah, iya dek. Nanti, kalau sempat Kakak usahain," kilahku mencoba menghindari pertanyaan berikutnya.
Aku tidak mungkin membocorkan rahasianya kalau kisah itu berdasarkan kisah nyata. Tidak ada insiden yang menarik setelah ditinggal saat lagi sayang-sayangnya di dunia maya. Menyebalkan, memang benar teori para penulis fiksi. Sesuatu yang nyata pun memang harus dibumbuhi fiksi agar terlihat menarik. Tidak seperti naskahku yang sedang menggantung begini. Kisah nyata itu memang sangat membosankan.
Aku terlalu takut menuliskan takdir yang belum tentu terjadi. Bahkan dalam kondisi baik pun tidak menjadi kenyataan kecuali kebalikannya. Tinggallah imajinasi yang hanya tersampaikan lewat tulisan saja. Sungguh ironi. Pernyataan para penulis yang menyatakan bahwa karyanya bisa menjadi kenyataan terpatahkan bagiku.
"Yuli bukan maksud ngebandingi ya Kak. Kalau Kakak lihat teman-teman Kakak yang seperjuangan pada gimana? Ya, meskipun Yuli enggak bisa nulis. Setidaknya Yuli masih bisa menilai," tandasnya lagi sembari menyusun halaman yang belum menyatu. Sesekali tulisan yang tercetak ia dekatkan ke netra sejarak lima senti. Terlalu dekat jika dinilai dari sudut pandang mata normal.
Jlep, ada petir yang menyambar dalam relung. Semua yang ia lontarkan seharusnya sudah kupertanyakan lebih dahulu. Sayangnya, hatiku tidak terbuka sedikipun untuk terus mempertahankannya. Lalu, aku sebut ini sebagai takdir?
Mana takdir yang engkau sebut sebagai bukti bahwa itu bukanlah takdirmu? Bukan hanya politisi saja yang memberikan janji palsu. Tetapi Nadia Zahira yang dulu mengazamkan dirinya untuk terus berusaha malah kini menelantarkan diam-diam. Tabiat manusia tidak bisa diukur hanya berdasarkan jabatan bukan?
Pemikiran dalam kepalaku beradu cara pandang dan berdiskusi entah apa-apa. Mulai dari meruntukki diri hingga mencap sebagai manusia munafik dan tidak tahu diri. Menyebalkan sekali. "Beberapa teman Kakak ada yang sama stagnannya alias enggak maju-maju. Beberapa orang lainnya ada yang sudah menerbitkan buku dan memiliki banyak pengikut." Tetapi melihat temanku yang sudah berhasil membuat dada ini rasanya sesak tidak karuan.
"Saran Yuli sih. Kebetulan ide Kakak itu masih ada, segera ditulis deh sebelum menjadi ide orang lainnya duluan. Kan sayang sekali sudah capek-capek ditulis. Hanya karena enggak update. Pembaca malah kabur bersebab kelamaan nunggunya."
Aku hanya bisa menyengir kuda mendengar fakta nyinyiran tersebut. "Hihi, iya." Manusia sepertiku memang pantas mendapatkan omelan yang sepadan. Sayang sekali, Yuliana tidak akan menjadi penulis yang sama sepertiku di masa depan nanti. Cara dia memperlakukan mimpinya dengan mengikuti Paskibra membuktikan bahwa dirinya memang tidak main-main ingin menjadi polisi.
Tapi, enggak apa-apa kok. Pokoknya semangat nulis enggak boleh pudar. Meskipun enggak ada teman sekalipun. Seperti yang kuadopsi beberapa hari terakhir ini. Tulisan itu memberikan peran besar pada perkembangan diri.
"Jadi, berapa semuanya Kak?"
"Tiga ribu aja."
Ia mengeluarkan uang sepuluh ribu dari saku baju tidur. Kemudian mengarahkan paksa ke tanganku. "Semua aja Kak, terima kasih ya," ucapnya kemudian kabur tanpa peduli aku menyetujui atau tidak.
Sepersekian detik, seolah ada jeda kosong mengisi. Ibarat sistem gerakku terhenti dan tidak bisa bergerak. Kemudian membiarkannya berlalu begitu saja. Ah, ia memang selalu begitu. Entah bagaimana lagi harus menghindar dari cara bar-barnya. Nominal sepuluh ribu tidaklah sepadan dengan jumlah cetakan Yuliana. Menyebalkan, malah ia sudah menghilang pula.
Rencana selanjutnya adalah menuliskan kembali naskah novel setelah merapikan peralatan cetak. Mungkin pojokan ruang tengah bisa menjadi inspirasi.
"Nyit,-" abang Zain menjewer telingaku tanpa memberikan peringatan.
"Ish, abang pun!" keluhku berusaha menepis tangan jahilnya. Sensasi panas membekas. Aku mengusap telingaku dengan tangan kiri. "Abang nih gila! Datang-datang malah sableng." Dia selalu begini, menempati posisi paling pertama jika berhubungan dengan usil-mengusil.
"Udah ngerjainnya, bukannya ngerjain skripsi entah apa pula yang kau kerjain," tuduhnya tepat sasaran.
Aku menyipitkan mata dan menjauhkan diri darinya. Menyebalkan, aku ingin menulis saat ini bukan mengerjakan skripsi. Ingin sekali melawan ucapannya. Tapi enggak jadi. Percuma, ucapanku akan tetap salah di matanya. Ujung-ujungnya malah dibentak dan malu didengar tetangga. Omelannya melebih Emak janda. "Ma! Tengok nih, bang Zain nakal kali!"
"Zain!" Hanya itu pembelaan yang selalu diucapkan Mama. Berharap akan segera dibantu rasanya mustahil.
Selebihnya, aku harus bisa meloloskan diri. Kamar, itu tempat yang aman kali ini. Kalau berhasil kukunci, ia akan berhenti mengusili lagi. Abang Zain terlalu suka ikut campur mengompor-ngomporin pekerjaan yang kusuka.
"Kayak gitulah kau teros! Sampai jadi semester kadaluarsa baru tahu!"
"Sotoy." Telingaku semakin merah mendengarnya. Ini nih bagian yang paling tidak enak di drama kehidupanku. Aku yang teraniaya, malah aku juga yang mendapatkan kutukannya. Bikin sedih dan nestapa kan. Maka sudah tidak heran jika aku akan terus-terusan menggalau sakit hati. Mereka semua sama, tidak akan mendengar keluhanku.
Aku berusaha menenangkan hati dan menepis ucapan abang Zain tadi. Meskipun selalu bertanya kenapa, toh semesta tidak akan menjawab. Mana mungkin aku akan memasuki semester kadaluarsa. Sedangkan saat ini saja lagi mengerjakannya.
Cukup naskah novelku saja yang kehilangan kesempatan untuk tamat segera. Bahkan pembaca yang lain mungkin saja akan melupakannya. Tenanglah Ra, apa yang ia ucapkan tidak akan menjadikan kenyataan kok. Kan aku sendiri yang menjadi pelakon di kehidupanku bukan dirinya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Physics Not Doctors
ChickLitNadia Zahira bercita-cita menjadi guru sejak Sekolah Dasar. Namun, setelah memasuki Sekolah Menengah Pertama ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Keinginannya diperkuat dengan mempelajari olimpiade Biologi sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Se...