~Cita-cita, seberapa besar usaha yang akan kau lakukan, meski terasa sakit dan pahit?~
Ketika seseorang membelokkan keinginan. Hal yang mungkin terjadi adalah usaha yang terdahulu bisa jadi tidak berarti. Namun, bukan berarti tidak berguna sama sekali. Pastilah ada sesuatu yang bisa diambil dari masa lalu. Cukup dijadikan pelajaran dan jalani masa depan dengan mengusahakan kebahagiaan.Melihat status Rangga membuatku tersentuh. Bisa dibilang agak baper. Namun, bukan karena siapa yang menulis tapi karena isi dari tulisan tersebut.
Hatiku masih kacau sebab terpukau pesona engkau yang tak bisa dijangkau. Pesona kedokteran itu.
Namun aku tak segila fansnya Iqbal. Hingga viral di media sosial. Terus diundang ke acara talk show.
Sedangkan aku hanya bisa meredam rasa yang berkecamuk ini dan terus menuliskan sesuatu dalam diary. Tentang hati yang tak ingin sadar dari impian.
Please Ra. Sadarlah, terima takdir dari Allah. Kenapa terpuruk dalam penyesalan? Sedang Allah Maha Melihat.
Kenapa hatimu mulai menggelap? Sedang ada Allah satu-satunya tempatmu mengharap. Jangan kau buat dirimu berdosa. Dia pasti akan mendengar doamu yang tulus.
Kamulah guru yang menyimpan cita-cita dokter. Jangan pernah berhenti untuk menjadi yang terbaik. Jangan lelah untuk mengintai ilmu. Teruslah berlari dengan segenap hati. Menepis rasa yang mencengkeram. Sekarang fokuslah memperbaiki kualitas diri. Seperti cita-citamu yang utama yaitu menjadi multitalenta. Besarkanlah semangat itu untuk menjadi yang terbaik. Laksana mutiara yang tersembunyi di dasar laut. Sangat berharga.
Dokter ataupun guru adalah sama-sama tugas yang mulia, profesi, dan berilmu. Hayoo, katanya mau jadi istrinya dokter. Harus bisa memantaskan diri. Fighting!
Setelah menuliskan kata-kata itu aku tertidur lelap dalam pelukan mimpi. Yang kugenggam dalam wujud angin.
*
Minggu ini aku mengikuti kegiatan pelatihan bahasa. Kak Winda menjemputku tadi pagi. Kini di ruangan Balai Bahasa aku duduk paling depan. Ruangan VIP dengan kursi empuk. Tapi rasa penat dan gelisah menyelimuti relung. Entah apa yang mungkin terjadi nanti. Yang jelas aku merasa kehilangan jam tangan. Astaghfirullah ....
Aku belum sempat pula melihat jam berapa dengan jam tangan tersebut. Padahal itu bukan milikku. Rasa sesak ini terus menggerogiti diriku. Namun, saat mengendarai sepeda motor tadi, jelas sudah tidak ada.Aku masih beradu emosi dengan diri sembari mempertanyakan hal yang aneh. Kenapa pula aku takut akan kehilangan? Kehilangan barang berharaga mungkin bisa diganti nanti. Tapi masalahnya aku sudah tidak punya uang. Bahkan hutang semakin bertambah karena kebutuhan. Sedangkan aku bisa apa? Usaha apa? Setiap kali selalu gagal dalam memulai. Bagaimana aku akan membayar. Jalan terasa sungguh enggan.
Huh, bukan itu saja. Kamar berantakan saat kutinggalkan tadi. Kemana hatiku? Kenapa susah begini? Jatuh cinta tidak, dilema tidak, apa lagi sakit hati. Rasa sesak ini benar-benar misterius.
Apa lagi yang harus aku lakukan terhadap diri? Untuk menjadi orang yang bersih aku belum bisa. Sepertinya karakter ini tidak ada di jiwaku. Pesimis sangat pekat. Hingga menghabat segala haluan. Terlebih lagi aku tidak bisa menyembunyikan rahasia. Khususnya kepada Mamaku sendiri. Setiap kali mendengar omelannya membuat telinga memerah dan panas. Diri tidak bisa diam. Bawaannya ingin ngamuk. Mode senggol bacok.
Aku pikir akan bertahan saat mendengar orang lain berbicara di depanku. Ternyata tidak sama sekali. Tertidur lagi seperti dininabobokan. Bahkan segala cara kutempuh.
Ada hal yang dapat aku ingat yaitu ketika mendengar seorang pria merapalkan kutipan puisi yang ia baca. Ini nyata, bukan hanya terjadi di film yang pernah aku lihat di Ada Apa dengan Cinta. Pria berkacamata dengan kumis tipis. Seperti berwajah orang timur. Ia menampilkannya penuh dengan penghayatan.
Aku sudah yakin sejak tadi bahwa ia memiliki aura sendiri. Kini tengah menjadi pusat perhatian bahwa keberanian pria tersebut istimewah. Ia berani menyodorkan sesuatu yang frontal di hadapan forum. Sehingga banyak dari berbagai kalangan mengutarakan pendapat. Antusias mereka sungguh baik. Hal ini membuatku yakin untuk meneruskan pekerjaan menulis ini. Karena lewat tulisan dapat membuat hati yang keras menjadi lembut.
Begitulah, karena tulisan adalah bahagiaku dengan merajut asa tanpa paksa. Tanpa berkata tetaplah berdaya.
Aku sangat bersyukur kepada Allah swt yang mengirimkan Kak Winda di hidupku hari ini. Ia memberikan jalan yang lurus. Sesuatu yang benar-benar baik bagi nusa dan bangsa. Karena ilmu yang ia miliki dibagi dengan senang hati. Apalagi kegiatan yang selalu berdampak positif.
Setelah pulang, semangat ini semakin melebarkan sayap. Aku yakin dan pasti bisa melalui semuanya. Karena aku memiliki tekad yang kuat. Semog saja tetap bertahan hingga akhir hayat.
*
Aini datang tergopoh pagi ini. Aku sungguh tahu perjalanannya ke kampus sangat jauh. Namun, tetap saja kadang aku terkena kamuflasenya. Terkadang ia datang cepat. Tidak seperti aku ratu terlambat dalam kategori bertahan. Coba bayangkan, ketika seseorang menelpon. Dari kejauhan kita mendengar keputusasaannya. Pasti hati merasa tersentuh lalu cepat bertindak mengikuti perintahnya. Ternyata setelah sampai kampus, ia tidak apa-apa. Malahan sudah duduk tenang di kursi. Sedangkan aku sendiri malah terkena imbasnya. Menyebalkan sekali.Ketika itu, rasanya aku ingin membuangnya ke laut. Tidak marah, hanya saja kecewa itu berat.
Ya Rabbi, begitu sulitkah aku bagi orang lain atau hanya diri ini anomali dari yang lain? Ketika orang lain memiliki teman sekelompok. Aku hanya punya Aini. Pertemanan ini sungguh sempit. Banyak orang yang kukenal. Namun, tidak pernah dekat. Apalagi sedekat nadi. Aku ingin suatu hari nanti memiliki teman dekat yang bersedia berbagi suka maupun duka.
"Kok terlambat Ra. Rumahku jauh tapi enggak sering terlambat. Pergi cepat agar tidak terlambat Ra. Kalau begini kamunya nanti yang malu," tegur Inaya.
Aku mengangguk setelah mendengar nasihat Inaya. Dulu sebelum ia ngekos seperti sekarang. Ia juga selalu pulang ke rumah dengan menempuh perjalanan jauh juga. Namun benar juga sih. Tidak kutemukan ia terlambat ke kampus. Senang rasanya ada orang yang menegur. Tapi tetap saja rasa hati tidak nyaman.
"Mau ngekos nggak Ra? Ya biar enggak terlambat dan fokus dengan kuliah."
"Kayaknya enggak dulu Nay, ibuku itu sangat sensitif. Dapat restunya saja susah."
Aku juga ingin seperti yang lain. Bisa mengerjakan tugas maksimal. Lagi-lagi aku bisa apa? Ongkos ke kampus saja susah apalagi ngekos. Malah Mamaku orangnya posesif akut. Dia pasti tidak akan membiarkan anak perempuannya di luar. Makanya kuliah di luar daerah saja aku berpikir ulang. Memang terkesan tidak mandiri. Tapi menurutnya itu lebih baik karena bisa dikendalikan apabila ada sesuatu. Sedangkan menurutku sendiri, jika nantinya akan keluar kota itu haruslah karena prestasiku. Semoga saja suatu hari bisa terwujud.
Tapi mengingat prestasi, aku tidak ada apa-apanya. Jadi ingin mempertanyakan diri. Kemanakah janji prestasi yang pernah kubuat?
Aku duduk di sampingnya kali ini. Tapi ada sesuatu yang ingin kutanyakan yaitu tentang seberapa dekat ia dengan Mukhlis. Bagaimana orangnya Mukhlis itu dan bagaimana dengan keluarganya?
Bersambung
Salam Rindu
HarumpuspitaWuah, kebanyakan sesi curhatnya ini mah. Eh, memang dari bab sebelumnya sudah berisikan curhatan mulu. (#plak)
KAMU SEDANG MEMBACA
Physics Not Doctors
ChickLitNadia Zahira bercita-cita menjadi guru sejak Sekolah Dasar. Namun, setelah memasuki Sekolah Menengah Pertama ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Keinginannya diperkuat dengan mempelajari olimpiade Biologi sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Se...