~Ada rasa hampa yang tak mudah ditebak dari mana asal muasalnya~
Muhammad Mukhlis Muflih, Ping!
Entah kenapa peredaran darah ini tiba-tiba berdesir hebat seumpama ada gelombang aneh. Jemari tangan mulai mendingin seolah menggigil. Aku enggak bisa begini, aku masih normal kan?
Nadia Zahira, iya
Muhammad Mukhlis Muflih, kalau kamu diajak ketemuan kamu mau enggak?
Plis, itu pertanyaan yang membuat perutku mules mendadak. Duh, aku sangat takut bertemu dengannya. Hal yang jelas ketidakpedean sedang bertahta.
Nadia Zahira, kalau Allah mentakdirkan, kita pasti bertemu kok
Muhammad Mukhlis Muflih, kamu sabtu kuliah
Nadia Zahira, iya
Ah, aku pusing. Padahal sabtu memang hari libur, hanya saja aku sering mengikuti kegiatan organisasi.
Ada keganjalan yang mencoba menerpa. Balas, tidak, balas, tidak, aku terus menghitung jari yang pada akhirnya berujung tidak balas. Helahan napas ini terasa kasar. Kenapa aku jadi aneh? Bisa- bisa terancam masuk RSJ kalau terlalu sering berkomunikasi dengannya. Haruskah aku memanggilnya makhluk astral saat ini? Untuk meredakan debaran ini aku putuskan tidak menjawabnya lagi.
*
Kelas praktikum akan dimulai. Aku dan yang lain sudah memakai jas lab. Sedangkan Aini masih mondar-mandir tanpa jas lab. "Aini mana jas labmu?""Enggak bawa Mbak, bantuin napa?"
Raut wajahnya sudah mengidentifikasikan minta tolong. Serta peluh hampir berjatuhan dari dahi. Orang yang memiliki jiwa prihatin pasti langsung ikutan gregetan.
"Tunggu, biar aku telepon kenalanku ya!"
Aduh, dari sekian orang yang kutelepon ternyata tidak ada satu pun yang bersedia meminjamkan jas labnya. Alasannya masuk kuliah, masih di kos dan beragam macam. Aku tak bisa diam. Mata ini liar ke seluruh penjuru.
Ada satu orang yang teridentifikasi dapat menyelamatkan Aini. Pria kacamata dengan proporsi tubuh langsing berada di sudut ruangan. Aku kenal, dia sama-sama orang fisika.
"Ehmm, boleh pinjam jas labnya?"
Aku berjongkok guna menghadapkan diri dengan dirinya. Dia masih fokus menatap layar persegi empat yang dilengkapi tombol keyboard. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya. Namun gerakan tangan sedang membuka isi tas.
Ia menyodorkan Jas putih laboratorium sambil mengangguk. Ini orang irit bicara.
*
"Nah, ini. Sekali lagi tinggal aja semuanya ya," ucapku sambil menyodorkan jas lab tersebut. Ada rasa gemuruh yang menyesakkan dada."Ya namanya buru-buru Mbak, rumahku kan jauh. Mbak sih yang enggak pengertian."
Waduh, banyak aja ya alasannya. Tetap saja itu namanya tidak professional. Daripada menambah kesenjangan yang tidak jelas, lebih baik aku mengalah. Lagian aku juga bukan orang yang professional. Akan ada banyak aspek yang harus diturunkan, khususnya ego. Ego yang selalu kian marak menghadang diriku yang kadang kala mampu menguasai diri.
Kelas segera dimulai. Ada yang tidak biasa kali ini yaitu handphone. Biasanya aku tidak pernah mengantonginya dengan alasan ada radiasi yang memancar. Serius bawaannya risih mulu entah kenapa. Apa lagi kalau sudah bersalaman dengan pria yang bukan muhrim. Seperti ada berkas yang mengganggu. Eh, udah konslet ini mah.
![](https://img.wattpad.com/cover/114914714-288-k117891.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Physics Not Doctors
ChickLitNadia Zahira bercita-cita menjadi guru sejak Sekolah Dasar. Namun, setelah memasuki Sekolah Menengah Pertama ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Keinginannya diperkuat dengan mempelajari olimpiade Biologi sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Se...