(21) Lubang Hitam

44 2 0
                                    

~Bukan kita yang tidak sempat hanya saja hati kita yang tidak menyempatkan~

Ah, otakku konslet seketika setelah mendengar percecokan maghrib dan suasana panas ini. Parah, masa laluku pagi ini bolak-balik diungkit terus. Bahkan aku tak mampu mendefinisikan bagaimana suasana otak. Kacau balau, tidak beraturan, dan migran tingkat akut. Aku tidak dapat berpikir lagi. Boleh nangis nggak? Atau mencak-mencak?

Jika suasana hati tenang, pasti dapat kugunakan waktu dengan seoptimal mungkin. Namun tidak kali ini. Jarum jam sebentar lagi menunjukkan pukul delapan malam. Seharusnya aku sudah siap untuk mengajar privat. Namun apa? Otakku serasa kosong seketika atau memori tengah berhamburan tak menentu. Aku terus bertanya pada diri ini yang tak berguna.

Aku mau ngajar apa hah? Apa  hanya mau bermodalkan keberanian. Namun isi otakku pun tak layak mencerminkan seorang guru. Bahkan kalau diuji pun aku sama sekali belum layak mengajarkan mereka.

Ah, ke mana ingatan yang kupatri selama ini? Percuma menghabiskan uang untuk beli buku dan kuliah. Namun tak satu pun lengket. Setidaknya teori aku sudah bersyukur. Seketika lenyap dimakan kepanikan dan kedilemaan.

Hal yang paling menyebalkan adalah rasa tanggung jawab ini yang terus berapi-api. Siap atau tidak harus kuhadapi. Namun hati kecil mengatakan malu! Malu pada Sekar dan Dian. Mereka murid terbaik yang amat pengertian. Tidak mengeluh, meskipun cara mengajarku sering enggak jelas dan kelihatan tidak menguasai materi. Masih gagu dan sangat amatir.

Dian, Kar maafkan kakakmu ini ya yang tak mampu mengajarkan kalian.

Aku patut disebut dengan sebutan guru otak kosong. Aku juga lupa bagaimana bersosialisasi dan menjadi guru. Percuma teori-teori yang kupelajari selama ini jika tak dapat kuimplementasikan.

Sekejap barang-barang yang tersusun rapi berserakan akibat sikap panik ini. Iya, panik enggak jelas. Rasanya ingin tidur sehari dan melenyapkan rasa letih yang tidak kunjung usai.

Setelah menekadkan diri dengan mengucap bismillah aku melangkah.

"Bu, Kak Zahiranya ada?"

Aku masih dapat mendengar suara gadis yang kurindukan beberapa purnama ini saat bercermin sebelum pergi.

"Mau ngeles loh dia," jawab Mamaku.

Ah, aku kangen suara Yuliana yang cempreng. Kegokilan yang kece. Rasanya baru keluar dari penjara tanpa teman. Aku segera keluar menghadapinya sebelum ia beranjak pergi dengan kalimat ya sudah.

Meski sekilas, aku masih dapat menangkap manik matanya yang memesona.

"Ada apa dek?"

"Beli double folio kak."

Banyak sih yang ingin kubagi padanya. Mulai dari hal yang sederhana hingga kompleks sekalipun. Namun migran tingkat akut ini menuntunku untuk tetap diam.

"Kakak, susah kalilah ditemui macam pejabat aja," ujung bibirnya mengerucut. "Terus cerita kakak itu kok nggak update sih. Mana? Ngegantungi terus?"

Pertanyaannya mirip dengan lontaran Nadila kemarin. Ternyata mereka penasaran toh. Wah, bagaimana aku tahu mereka menantikanku dalam diam, jika komentar saja tidak ada? Aku sungguh terharu dan menyelipkan rasa bangga dengan sendirinya.

"Ya beginilah dek nasip," ucapku tak berselera dan berusaha mempercepat aktivitas ini.

"Nih ya kak sekalian sama kertas semalam."

Aku menerima pemberian uang tersebut tanpa memberontak. Ya sudah kalau begitu, lumayan dapat duit. Meskipun nominalnya jauh lebih besar daripada harga sebenarnya.

"Kak, Nadila mana? Kok enggak datang-datang ya."

"Semalam pulang dia loh," sambar mamaku. Maka hari ini juru bicaranya adalah Mamaku. Oh, aku lupa mengingatkan Nadila untuk menjenguk Yuliana. Maklum efek kamar tugas begini mendadak pikun enggak karuan.

Aku berusaha percaya diri dengan penampilan yang sungguh tidak menyamankan dan memberanikan diri ke TKP privat. Busana compang-camping kedodoran dan mulutku terus menguap tak karuan serta siap dimasukin lalat. Hipotesis awal saat mengajar adalah aku tidak tahu apa-apa.

Kemunduran memori ini sungguh tidak dapat ditolerin lagi. Asli enggak tahu apa-apa sedikit pun. Suasana belajar semakin membosankan dan diriku tak mampu memanagemen itu.

Respon dari Sekar dan Dian pun bertransformasi menjadi taraf ketidakseriusan. Kuputuskan untuk mengerjakan hanya satu soal dan setelah itu menonton Perjalanan ke Pinggir Alam Semesta.

Sepertinya daya kecerahan mata Dian sudah lima watt. Mata merah serta sayup-sayup bagai semilir. Aku harus segera menyudahi film ini. Film diputar dengan skip bagian terpenting termasuk hal yang dipertanyakan tentang lubang hitam atau bahasa populernya black hole. Kalimat yang amat mainstream dalam kategori fisika modern. Uh, mengerikan.

Selama ini, banyak orang yang masih berspekulasi tentang hadirnya lubang hitam ini. Benda ini akan menyerap segala yang ada didekatnya dan memiliki gravitasi kuat. Termasuk cahaya sekalipun. Bahkan kehadirannya saja di alam semesta tidak bisa bertahan lama. Lubang hitam ini terbentuk karena ledakan maha dasyat yang disebut dengan Supernova. Ada dua kemungkinan yang terjadi setelahnya, menjadi bintang katai putih yang kehilangan cahayanya atau lubang hitam.

Pada akhirnya perjalanan ke pinggir alam semesta ini terlalu jauh. Kita hanya bisa melihatnya dengan teleskop yang ada di bumi saja. Butuh banyak waktu untuk mencapai ke sana. Masih banyak persoalan yang lebih pelik lagi di dunia. Sesuatu lebih nyata yang sebaiknya dihadapi.

*

Aku terbangun jam tiga pagi. Bertempur dengan tugas yang membosankan. Jika ada yang mengatakan aku tak perduli, biarlah situ. Yap, aku akui angkat tangan isyarat menyerah. Ah, tak usah lagi kupikirkan mau jam berapa dikumpul express situlah. Kalau ada enam tugas berarti jatah setiap tugas adalah setengah jam. Tunggu. Rekayasa ide. Boleh enggak ya tidak usah dikumpulkan saja? Tapi duh, dosenku itu taat aturan. Nelangsa.

Typo bertebaran dan nelangsa meradang. Ribuan pertanyaan mengudara apa dan mengapa selalu dikerjakan saat deadline. Ah, aku tahu.

Bukan kita yang tak sempat hanya saja hati kita yang tak menyempatkan.

Mau bagaimana lagi, rasanya sungguh menjenuhkan tingkat akut. Aku terus bertempur malam ini walau kuputuskan untuk tidur. Pernah semester awal begadang tanpa tidur, rasanya itu panas dingin dan badan tak seimbang. Menurutku itu sungguh sangat menyiksa. Bukankah Tuhan menjadikan tidur sebagai istirahat dan malam sebagai pakaian. Itu yang kutangkap dari surah An-Naba.

Aku asal-asalan me-ngeprint tanpa koreksi terlebih dahulu. Tulisan benar-benar kacau. Malah sekarang sudah jam lima dan aku baru siap satu. Sempat terlintas tak usah dikumpulkan dan jangan panik. Tenang semester depan kan ada. Huh, aku mengecek pesan wattsap.

Alhamdulillah ...

Padahal tak terbesit sedikit pun keajaiban datang pagi ini. Komting memberi kabar bahwa Ibu dosen tak masuk. Apa ya aku mau terbang melayang ke udara. Kalau sudah di film Spongebob pasti kertas tugasnya langsung disobek karena rasa senang. Tapi eits, tenang aku enggak begitu kok. Malahan kertas yang baru ku-print aku hargai kalau itu mahal harganya daripada dicetak lagi bagus ditempel menggunakan kertas label. Hemat kan?

Bersambung

Physics Not DoctorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang