(10) Ingatan dan Tawaran

61 4 6
                                    

Entah berapa purnama lamanya aku menderita gatal-gatal begini. Bagian yang paling internal harus mengalami konsekuensi yang berlebihan. Setiap malam aku hanya bisa meringis sembari membuka tutup luka. Berharap luka itu akan menutup dengan sendirinya dalam beberapa menit. Nyatanya kembali luka setelah penutup dibuka. Nyerinya sampai ke ubun-ubun.

Belum lagi memikirkan cibiran yang dibocorkan ke penjuru tentang kondisiku ini. Bukan hanya luka fisik saja yang kuterima. Termasuk luka jiwa. Memandang jengah dengan sekitar. Seolah aku hanyalah epidemi yang memalukan. Bahkan air mata ini saja sudah kering menangisi kepedihan luka yang tak kunjung sembuh. Mama bilang ini serupa dengan penyakit kanker. Relungku mengatakan kehidupanku akan segera berakhir.

***

Aku memasuki ruangan di mana seorang dokter berada setelah mengukur tinggi dan berat badan. Ruangan itu ditempati beberapa orang. Para petugas administrasi yang ada di pintu masuk dan seorang dokter yang berada di sebuah khusus seorang diri. Jarak pandang tepat di lurusan pintu masuk.

Dokter tersebut terlihat manis dari kejauhan dengan stetoskop yang menggantung di leher. Apalagi snelli yang ia gunakan sudah menarik perhatianku. Kerudung yang ia kenakan juga rapi. Ia mulai mendiagnosaku ketika mendengarkan kronologi yang kualami. Ingin rasanya curhat ketika ia mengangguk paham. Namun aku sadar detik itu juga, ia pasti akan memberiku obat-obatan juga nanti. Setelah itu ia memeriksa detak jantung dan tensi.

Dokter wanita ini terlihat lebih muda daripada orang yang kutemui di puskesmas dekat rumahku. "Ini ada resep tambahan, bisa didapatkan di apotek," ucapnya setelah memberikan sebuah kertas yang bertuliskan gentasolon.

Kedua bola mataku membulat seketika. Aku tidak percaya ia tidak menyuruhku memperlihatkan luka yang kumiliki. Apa tidak apa-apa itu? Ah, entahlah.

Setelah pulang dari puskesmas. Aku pergi ke apotek dan membawa kertas resep tersebut. "Kak, ada obat ini."

Wanita berambut pendek itu melihat tulisannya dan hanya mengangguk. Itu berarti, obatnya ada dong. Ia kembali lagi membawa obat yang dituju. Sebuah kotak persegi panjang berwarna abu-abu. Berarti ini obat salep. Hanya saja harganya lebih mahal.

*

Dari sekian juta pria. Ada hal yang masih belum dapat aku mengerti. Kenapa hati tiba-tiba mengingatnya saat seusai maghrib. Seolah sedang berputar ulang memori kenangan malam itu. Mengapa pula ia datang ke dalam mimpiku tadi malam? Ah, dalam mimpi itu pun ia seolah-olah memerhatikanku dengan diam. Apakah ia sedang merinduiku? Padahal tak terbesit sedikit pun mengingatnya.

Menyebalkan, seharusnya aku tidak mengiyakan untuk bertukar suara pada saat itu. Pada akhirnya aku yang terkena imbasnya berusaha melupakannya selama mungkin. Entah sampai kapan. Apakah ia yang akan terus mengisi ruang hatiku? Meskipun aku belum pernah bertemu dengannya. Ia itu seperti ilusi yang mendatangiku di kala terombang-ambing begini. Entahlah, rasanya ia masih tetap ada menempati ruang kosong ini.

Aku masih berpikir ulang tidak menentu dan memandangi ruang kelas yang memiliki kehidupan sendiri di sini. Ada yang bercakap-cakap perkara cinta dan dilema kehidupan di kos-kosan. Ada pula yang mendiskusikan tempat tongkrongan sepulang kuliah.

Inaya menyapa diriku dengan tatapan nakal. Sembari melambaikan tangan ke arahku ia juga mengedipkan sebelah mata kirinya. Gawat, dia sudah tahu rahasiaku. Sosok baru yang harus diwaspadai ini mah keberadaannya.

"Heseh, cuit-cuit."

Aku menyipitkan kedua bola mata seraya menutup aplikasi menulis di gawaiku. Kalau begini, aku malah malu sendiri deh. Mendadak pipiku panas lagi. Ini ada apa ya? Enggak jadi fokus untuk menulis deh. 

"Ra,-" Inaya menduduki kursi yang ada di depanku. "Mau ikutan kelompok PKM nggak? Ya, buat nambah pengalaman gitu."

Sebelah alisku terangkat. Gemuruh kemerahan yang memenuhi pipiku kini bertransformasi menjadi sambutan menakjubkan. "Wuah, aku mau ikutan dong!" pekikku kegirangan. Baru kali ini ada yang bersedia mengundangku mengambil peran dalam mengerjakan PKM. Biasanya aku hanya bisa menghayal saja alih-alih menginginkan hal tersebut.

PKM adalah Pekan Kreativitas Mahasiswa. Sebuah program yang ditujukan untuk menunjukkan inovasi dan kontribusi pada negeri ini. Ada macam-macam deh. Biasanya terdiri dari jurusan yang berbeda supaya bisa berkolaborasi. Maka tak jarang, mereka yang berkecimpung di dalamnya memiliki banyak relasi. "Jadi kapan bisa kita mulai?"

Inaya tersenyum dan menunjukkan lesung pipit manisnya. "Cie, sudah enggak sabar ya."

Tuh kan ketahuan. Ide menyengir kuda adalah pilihan yang terbaik saat ini. Tetapi kedua bola mataku masih berbinar kok.

"Yaudah begini saja. Besok kita sebelum masuk kelas ngumpul di dalam perpustakaan. Inaya punya teman dari jurusan lain juga soalnya. Besok dikabari lagi deh, gimana?"

Aku mengangguk sebagai wujud kesediaanku. Tak lupa pula diiringi senyuman manis ala gulali. "Terima kasih ya sudah mengajakku."

"Dengan senang hati kok, Ra." Ia mengedipkan sebelah mata kiri lagi. Kemudian kembali ke tempat duduknya.

Unik ya, bisa kepikiran langsung untuk menggunakan ide itu. Aku saja malah bingung lagi harus mengatakan apa dan bertingkah bagaimana. Entah kenapa, kamus yang sudah kubaca dalam ingatanku mendadak lupa semua kalau berinteraksi dengan manusia. Bahkan aku sendiri gagal dalam menguasai diri sendiri. Sudah kadung terjebak pada kebingungan lebih dulu. Makanya, tidak jarang aku sering menemui diriku selalu kalah jika berhadapan dengan orang lain.

Tapi aku lega dengan Inaya. Ia bahkan menganggapku sebagai teman walaupun kami tidak dekat. Aku berharap bisa menjadi sebuah persahabatan yang baik di kemudian hari. Eh, aku skip dulu ke bagian yang lain ya. Soalnya dosen sudah masuk.

*
Sudah lima hari lebih tepatnya aku menggunakan salep yang diberikan dokter puskesmas. Hasilnya mengalami peningkatan. Luka yang tadinya sulit untuk mengering, kini tidak lagi. Salep ini benar-benar manjur untuk kulit sensitifku. Hanya saja, terkadang aku sering lupa diri dan rutinitas garuk-menggaruk hadir lagi. Ya, otomatis luka yang sudah mengering terbuka lagi dan aku meringis lagi. Namun kalau dipikir sekali lagi, gejala tersebut datang jika aku merasa stress. Apalagi dikejar batas akhir. Sudahlah tuh. Aku sendiri pun tidak bisa menghindarinya.

Oh, iya. Aku lupa memberitahu petunjuk menggunakannya. Salep ini digunakan setelah mandi. Setelah kulit dikeringkan dengan handuk. Baru deh diolesi dengan salep. Meskipun kemasannya berwarna abu-abu. Warna salepnya putih susu. Entah mengapa aku merasa aman saja menggunakan obat luar ini.

"Gimana Ra, lukamu sudah sembuh belum?" tanya Mama khawatir. Raut wajahnya membutuhkan informasi dariku.

"Lumayanlah Ma, sudah lebih baik," jawabku jujur. Meskipun begitu, penyakit ini juga belum usai dari tubuhku. Tetapi semakin lama risih juga jika harus selalu diawasi setiap gerak-gerik. Terkadang sebuah perhatian Mama membuatku geram. Masih ada banyak anak-anaknya lain yang perlu diperhatikan. Sakit tidak serta membuatku harus bermanja bukan? 

Bersambung

Physics Not DoctorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang