~Sebuah kondisi terikat sesuatu namun tidak kuasa untuk pergi.~
Satu tahun kemudian
Otakku mendadak macet seratus delapan puluh derajat. Suatu angka yang membuatku harus mengirikan pekara pekerjaan yang harus dipaksa begini. Bagaikan musibah yang mendatangiku di tengah bahagia. Bahkan bahagianya saja belum bisa dinikmati dalam hitungan hari. Sungguh menyebalkan, titik terparahnya adalah sikap cengengku keluar. Belum lagi kaitan umur sudah membuatku malu enggak ketulungan. Kini terbelenggu pada nelangsanya kalbu. Terpenjara dalam kebencian.
Entah apa yang terjadi pada diriku. Semenjak aktivitas tulis menulis itu diberhentikan dari jejeran kamus hidupku. Nyawaku seolah ikutan berhenti. Dunia ikutan runtuh. Tak ada lagi yang membuatku bersemangat mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Semuanya amburadul tidak terarah. Hal yang tersisa hanyalah bangkai berjalan. Bahkan sifat buruk yang tak seharusnya bermunculan. Astaghfirullah.
Bangun kesiangan dan tidur kemalaman. Fix, wanita yang baik tidaklah seperti ini. Tidak ada kerjaan lain selain mondar-mandir enggak jelas. Termasuk ngerusuhi yang enggak jelas. Parahnya imajinasiku yang bermunculan bertransformasi menjadi malapetaka jika aku berusaha kembali menulis.
Semua orang di rumah ini melarangku menulis hanya demi menyuruhku menyelesaikan skripsi. Sedangkan skripsi yang kukerjakan berupa soal-soal menyerabutkan sistem kewarasanku. Jika setiap kali aku memaksakan diri di dalamnya hanya akan membuat otakku tidak berfungsi. Aku mendadak sesak napas, panas dingin, dan batuk-batuk.
Aku mengira gejala ini mirip dengan Covid-19 yang sedang trendi saat ini. Meskipun aku berharap iya bersebab saking putus asanya. Nyatanya aku hanya alergi saja. Toh ketika tidak dihadapkan soal-soal itu aku malah merasa baik-baik saja. Astaghfirullah. Aku tahu diri ini butuh sang Pencipta untuk meluruskan kembali jalan. Namun egoku terus saja menyangkalnya.
Aku benar-benar tidak menyangka apabila ucapan abang Zain menjadi kenyataan. Pada proses di tengah jalan dosen pembimbingku wafat dan mengalami kekosongan. Kemudian aku disibukkan dengan hal yang lain di semester berikutnya. Sekali mendapatkan dosen pembimbing berikutnya, aku harus menerima kenyataan menghadapi penguji yang galak. Setelah itu bolak-balik ditolak hingga membuatku putus asa.
Pada ruangan sempit nan gelap ini aku hanya bisa menjebolkan waduk di mataku. Tentang ketidakbecusan mengolah diri dan pengecewaan semua orang. Tanpa kusadari. Kepekaan dan rasa baik yang kupupuk dalam diri bertransformasi menjadi kebencian dan tidak tahu diri semata. Tidak ada Ra yang merasa sedih apabila menyusahkan orang lain. Apalagi Ra yang merasa kasihan apabila ada orang kesusahan.
Tidak. Aku yakin takdir kehidupan ini tidak bermaksud membawaku pada kehancuran. Aku masih hidup dan punya tubuh yang sehat. Lalu kenapa aku harus jatuh pada lembah paling dasar seperti ini? Aku sungguh lupa pernah mengikrarkan bahwa ada hati ini yang akan mendukung melakukan itu semua. Lalu ke mana itu semua?
Seharusnya aku tidak boleh lupa pada orang yang doanya tidak berhenti dipanjatkan walaupun sudah bertahun-tahun. Apalagi Thomas Alpha Edison yang mencoba percobaannya hampir seribu kali. Aku masih mencoba beberapa kali dan terjatuh. Tapi sudah putus asa begini.
Aku harus ingat yang lainnya juga berjuang perihal yang sama. Bukan hanya aku yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti ini. Orang lain juga sama sakitnya. Jadi tidak ada alasan aku harus berhenti bukan? Aku masih punya Mama yang menyemangati hari-hariku. Sedangkan orang lain yang nasipnya lebih malang tidak punya Mama.
"Ra!"
Aku mendengar suara Mama mencariku. Langkah kaki yang grasah-garuh terdengar di gendang telingaku. "Iya Ma!"
"Mana dia?"
"Di kamar," jawab Abang Zain. Meskipun ia tidak melihat diriku secara langsung. Telinganya jauh lebih peka mendeteksi keberadaanku. Suara berisik dari gawaiku yang menjadi acuan.
"Ngapain? Tidur dia?" tuding Mama.
Aku sudah tahu Mama akan mengira seperti itu bersebab pola kehidupanku yang menyesatkan ini. Aku hanya bisa menyengir setelah melihat wajah Mama lega melihatku di pojokan sempit ini. Entah kenapa ini jauh lebih menyenangkan daripada ruang terbuka nan sejuk saat ini. Apalagi dipancing dengan melodi kelabu.
Aku berharap relungku dapat baik-baik saja tanpa perlu patah. Apalagi menyisakan tangis memilukan nestapa. Biarpun jejeran hayalan bergelayut riang. Aku hanya ingin baik-baik saja. Hatiku nelangsa enggak ketulungan. Entah bagaimana lagi aku bisa mengembalikanya secepat mungkin tanpa perlu bersitegang dan memberikan janji palsu.
"Oawalah Ra. Kayak gitu aja kau orangnya, mau sampai kapan kayak gitu. Apa enggak kawin? Otaknya dia kok enggak nalar. Jauhlah dia dari kawan-kawannya."
Awalnya kupikir kelaparan. Tidak bersemangat dan membutuhkan asupan gizi ke dalam tubuhku. Namun setelah memakannya, malah sekalian memakan umpatan serapah yang menusuk ke jantungku. Kini aku malah hanya bisa terdiam seperti ayam sakit. Tidak bisa bergerak, apalagi berpikir jernih. Hatiku terus mengatakan kalau aku sedang lelah dengan keadaan. Aku ingin istirahat dan membuang rasa kebencian yang bercokol di hati. Bahkan rasa kantuk pun mulai mendatangiku diam-diam sebagai pengganti mendiami emosiku.
Entah kutukan mana yang berhasil menghasutku begini. Hanya memilih diam dan membiarkan semua berlalu. Tanpa perlu peduli mereka kesusahan ataupun kewalahan. Aku ingin tidur seperti masa-masa silam dan menghabiskan masa sedih tanpa perlu risau.
Menurutku, semua ini tidaklah berarti tanpa saling menjaga dan mengerti. Hanya mengedepankan ego dan mengunggulkan diri membuat semuanya kacau balau. Tapi perspektifnya kacau balau di mata mereka hanyalah diam. Sedangkan sibuk tidak menentu adalah sikap yang lumrah.
Aku masih mendengar Mama meneriakiku dan mengoceh sendiri apabila ada barang yang hilang. Sedangkan aku tidak cukup kuat menahan segala ocehannya. Aku muak dan merasa tidak peduli dengan segala umpatannya. Mungkinkah ini adalah jawabannya? Aku kembali pada sifat asalku. Tidak peduli dan lebih menyelamatkan diri daripada berkutat itu semua. Maka memejamkan kedua bola mata di mana pun berada adalah caraku bertahan dari pertarungan batin ini.
*
Aku terbangun dengan sisa kesadaran yang masih setengah. Kedua bola mata melirik jam dinding dan berusaha kembali ke alam mimpi. Andai itu semua bisa terjadi. Aku tidak ingin terbangun dan melihat dunia nyata ini. Tetapi aku bisa apa? Alih-alih membuang segala emosi malah menelantarkanku seperti orang gila. Tanpa teman dan seseorang yang bersedia mendengarkan cerita mimpiku. Sedangkan interaksiku pada Tuhan, aku mulai sedikit lupa sejak tadi dan bahkan kini.Namun satu hal yang membuatku paling celaka adalah ketika lupa diri. Hakikat kebenaran dan segala ingatan berkaitan dengan orang lain. Aku masih bisa tahan melihat diriku sendiri menderita. Tetapi melihat penderitaan orang lain rasanya membuatku kesal. Hingga membuat ubun-ubunku panas. Tidak beraturan langkahnya ke mana. Sudahlah, mari kita sudahi saja. Hati kecilku berkata demikian sebagai bentuk negosiasi. Sembari mengadopsi belenggu yang mengikatku. Aku beranjak dari kasur dan pergi ke dapur. Kemudian memegang sutel, melakonkan diri menjadi anak yang berpura-pura baik.
Bersambung
![](https://img.wattpad.com/cover/114914714-288-k117891.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Physics Not Doctors
Chick-LitNadia Zahira bercita-cita menjadi guru sejak Sekolah Dasar. Namun, setelah memasuki Sekolah Menengah Pertama ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Keinginannya diperkuat dengan mempelajari olimpiade Biologi sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Se...