~Nama lain dari hormon adrenalin yang akan meningkatkan kewaspadaan.~
Membuat sebuah pernyataan itu memang cukuplah mudah. Namun mempertanggung jawabkan pernyataan dibutuhkan waktu dan klarifikasi banyak orang. Termasuk menyelaminya sendiri.
Aku berusaha meningkatkan kesadaran sejak tadi. Seraya melihat dan melototi layar persegi yang masih aktif. Namun otak dan apa yang kulakukan tidak mencerminkan tanda-tanda skripsi akan kelar juga. Setidaknya persiapan untuk validasi soal saja. Itu pun tidak sanggup aku selesaikan.
Ayolah, tugas rumah menumpuk dan aku tidak bisa mengerjakannya. Khawatir akan kelelahan lebih dini sebelum mengerjakan skripsi. Ah, terlalu sulit bagiku. Rasanya ada sesuatu yang mendidih dan sangat takut untuk memulai. Menyebalkan, hatiku terlalu sulit bergerak maju. Kesadaran yang mulai rendah dan detak jantung semakin melambat. Seakan tidak peduli lagi pada motivasi yang mengiming-imingkan keberhasilan.
Aku tidak bisa tidur. Sudah dua belas jam kugunakan untuk tidur hari ini. Harusnya, secara logika aku tidak perlu lagi tidur. Tapi rasa mengantuk yang mengganjal di dahi seolah tidak ingin pergi. Remang-remang dan membuat otakku tidak sadar seketika. Kedua kelopak mata seakan berat ketika dibuka.
"Ra, sudah sampai mana skripsimu?" Mama memantau, khawatir jika aku tidak mengerjakan skripsi lagi.
Anggap saja memang benar, aku selalu saja berkilah mengerjakan skripsi namun asyik berduskusi dengan diri pada tulisan. Rasanya ada banyak sekali yang ingin kubuang dari tekanan bersarang ini. Mulai dari gelisah yang tidak berdasar hingga kesulitan meradang. "Iya Ma. Lagi diusahain kok," kilahku berusaha menyembunyikan kebenaran, "tapi rasanya ngantuk banget."
Meski sudah melakukan segala cara. Termasuk membaca dan menulis. Apalagi genre tulisan yang memang sangat kuincar. Aku mungkin bisa tahan dalam rentang lima belas menit. Tetapi menit berikutnya tidak bisa menjamin. Arrg, pipiku mulai bengkak.
"Minum kopi, biar bisa melek."
Kopi? Ah, enggak begitu yakin sebenarnya. Buktinya setiap kali minum White Coffe, Cappucino, hingga bombon kopi masih tetap mengantuk dan tidur juga. "Nanti enggak ngaruh," komenku tidak setuju.
"Kopi hitam murni itu. Kalau mau ampuh kasih garam sikit. Aku aja dulu nyoba kok, sampai kecanduan malah. Kalau enggak minum itu rasanya enggak bisa." Pengalaman Mama selalu dijadikan alasan untuk memberikan langkah berikutnya apabila menawarkan sesuatu.
Aku menyipitkan mata, pengalaman Mama terkadang tidak relevan untukku. Misalnya memilih stelan baju jaman dulu. Aku malah kesal sendiri setelah merasa kolot di hadapan teman-temanku. Benar-benar menyebalkan. Tapi kalau tentang kopi, aku mencobanya dulu deh kali ini. "Ada kopi nggak Ma?"
"Ada tuh di dapur."
Abang Zain pecinta kopi. Katanya itu sangat menyenangkan bagi dirinya. Setiap hari ia mengonsumsi kopi sasetan. Mungkin memang benar, kopi itu bisa membuat candu. Tapi kalau kopi hitam entah kapan terakhir kali ia buat.
Aku beranjak ke dapur dan mencarinya di dekat kotak rempah-rempah. Setelah ketemukan, aku melihat dulu kemasan bubuk kopi yang berukuran setengah bungkus. Kira-kira ukurannya satu ons. Sedangkan kadarluasanya sekitar tahun lalu. Pantas saja abang Zain tidak membuatnya lagi.
Duh, gimana ya? Mau dibuang malah takut diomelin lagi sama Mama. Meskipun memberikan alasan yang relevan. Semoga saja tidak mules kali ini. Aku harus mencoba dulu sebelum menyalahkan kalau kopi tidak berpengaruh apa-apa padaku.
Aku menyiramkan air panas dengan takaran dua sendok makan gula dan sesendok makan bubuk kopi pada gelas berukuran seperempat liter. Aku tidak suka jika tidak memiliki rasa. Setidaknya, rasa manis dari dua sendok makan selalu pas di lidahku. Selera orang selalu berbeda-beda. Gurih menurut lidahku tapi tidak bagi Mama. Terlebih lagi jika memiliki riwayat penyakit gula. Hidup ini terasa hambar.
Aku menyesap kopi setelah ampasnya turun. Tapi kenapa ya cara penyajian kopi dan teh itu berbeda? Kalau teh harus disaring terlebih dahulu. Sedangkan kopi tidak. Bahkan teh instan tinggal celup. Tetapi bubuk kopi tidak seperti itu. Selalu dibiarkan menyatu dengan gula kemudian membiarkan gula pergi. Manis, tetapi tidak meninggalkan sisi pahit. Kemudian menyisakan ampasnya.
Lima belas menit kemudian aku merasakan sensasi yang lain. Kepala memang mengajak tidur. Namun kedua bola mata seolah menghianati. Kulihat sekeliling terasa terang benderang. Bahkan tubuhku yang tadinya merasa lemas menjadi lebih ringan. Jangan-jangan benar lagi apa yang mereka rasakan tentang kopi. Pahit, tetapi itu yang membuat mata terbuka. Meskipun aku belum tahu inspiratifnya di mana. Banyak orang lain mengaitkannya pada filosifi kehidupan.
Manis dan pahit bertemu dalam kehangatan. Seperti kehidupan ini.
Senyumanku mengembang seketika. Ah, hidup ini memang seperti filosofi kopi. Ia memberikan pelajaran yang lain. Bahwa manis tidak selamanya indah dan pahit tidak selamanya suram. Benar-benar hebat, bisa kujadikan teman di saat aku mulai lemah.
Ada lagi yang lebih menarik. Entah siapa yang membuatnya. Lebih menarik dari yang kuduga.
Rindu ini telah mengendap, ikhlas walau tidak berbalas. Seperti endapan kopi yang tidak pernah diteguk.
Kopi selalu terkenal dengan kandungan kafeinnya. Semakin pahit, semakin tinggi pula kafeinnya.
Aku mencari informasi kembali tentang suatu hal yang kusuka. Kali ini bukan jenis teknologi kedokteran melainkan tentang kafein. Hm, ada alasan khusus sih kenapa aku lebih memilih teknologi kedokteran terlebih dahulu. Jurusan fisika ini yang kujadikan tolak ukur agar bisa semakin dekat. Tetapi, entah kenapa perasaanku tetap tidak ingin dekat. Walau waktu terus berjalan sekalipun. Mungkin beginilah ya kan sesuatu yang saling berdampingan tetapi tidak saling mencintai.
Oke, kembali ke kafein tadi. Kesimpulannya, kafein bekerja sama dengan sistem saraf pusat dan menyuruhnya untuk melepaskan dopamin, serotonin, dan hormon adrenalin. Sebuah hormon yang bertugas memberikan kebahagiaan dan kewaspadaan.
Jika dopamin lebih mengarah kepada kewaspadaan, pengetahuan, motivasi, dan suasana hati. Maka serotonin akan memengaruhi fokus dan kosentrasi. Termasuk juga pencernaan.
Sedangkan adrenalin membuat jantung berdebar, meningkatkan kewaspadaan, dan meningkatkan produksi keringan. Adrenalin juga disebut sebagai epinefrin. Ah, kalau mendengar kata epinefrin ini mengingatkanku tentang drama Korea medis itu. Kata tersebut disebutkan ketika seorang dokter menyebutkan itu ketika berusaha memberikan kejutan jantung bagi pasien yang mengalami henti jantung.
Kini detak jantungku terdengar di indera pendengaran. Ah, efek kafein itu membuat jantungku berdebar-debar tanpa sebab. Hanya ruang dan waktu yang ada di sekelilingku saat ini.
Otak itu memang unik. Ia seperti ketua yang bekerja dengan cara memerintah. Sedangkan prajuritnya adalah sel-sel saraf yang tersebar di seluruh tubuh. Jika diuraikan jumlah prajurit yang ia punya. Sepertinya berkisar triliunan. Ah, memikirkannya membuatku sungguh takjub. Tentang ciptaan Allah swt mulai dari yang paling kecil hingga kompleks. Ya, rasanya aku ingin selalu bersukur betapa besar kuasa-Nya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Physics Not Doctors
Chick-LitNadia Zahira bercita-cita menjadi guru sejak Sekolah Dasar. Namun, setelah memasuki Sekolah Menengah Pertama ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Keinginannya diperkuat dengan mempelajari olimpiade Biologi sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Se...