~Sebuah alat yang mampu memperbesar benda kecil dan memperjelas kehidupan asing di dalamnya.~
Ada sebuah hal yang terkadang membuat kalbu dilematis tidak tentu arah. Ketika semua yang ada di hadapan layaknya paket komplit membuyarkan kewarasan. Pertama, entah kenapa hati ini teringat dengan makhluk astral itu. Kedua, kastil tempat diri rebahan dan istirahat bentuknya tidak beraturan. Mulai dari kertas berserakan, hingga lupa letak kepastian suatu barang. Ketiga, laporanku masih belum usai meskipun sudah begadang. Keempat, aku ingin kuliah. Tetapi kunci sepeda motor entah kenapa. Kelima, tubuh ini panas dingin tidak karuan.
Selain memandang dengan tatapan kosong dan menyebalkan. Degup jantung demonstrasi secara brutal dan membangkitkan hormon adrenalin untuk bertindak secara gegabah. Keringat dingin mendominasi dan ah, yang benar saja. Ada sesuatu yang mendidih di atas kepala.
"Kenapa kau Ra?" Mama menyadari aktivitas rutinku yang mondar-mandir enggak jelas.
Beriringan dengan hati yang gusar dan tidak tentu arah. "Kunci sepeda motorku entah ke mana," jawabku jujur dan melupakan pasal yang tidak boleh disebut.
"Ah, kebiasaan kalilah buruk kau dipelihara. Susah teruslah hidupmu ke depannya kalau begitu."
Aku berusaha menutup telingaku dari serapahan pedas yang menjelma menjadi kobaran api di dalam kalbu. Kenapa ini semua terjadi? Aku sungguh tidak bisa melawan kelemahan diri sendiri. Semoga saja tidak lupa bernapas pada detik ini. Kepercayaan diri ini luruh dengan sendiri dan merasa tidak ada artinya semua yang telah dikerjakan. Mama tidak akan berhenti kali ini. Sedangkan aku akan terus kewalahan mencarinya sendiri. "Ma, aku naik angkot."
"Suka hati kaulah. Sifat jelek terus saja dibiarin. Enggak lakulah sama orang."
Aku melihat sulut kebencian di antara wajahnya yang semakin keriput. Merah padam dan bersedia menerkam dengan teriakan umpatan di telingaku. Sebelum perang percecokan sinobi terjadi. Aku harus menyerah pada takdir kali ini. Rela jika akhirnya akan terlambat dan melupakan urat malu yang kupunya.
Aku berharap bisa melupakan masalah yang terlihat dengan mikroskop ini. Biarlah menjadi noda-noda asing tanpa perlu khawatir menjadi penyakit. Meskipun pada akhirnya sudah menjadi bakteri patogen. Bersama dengan luruhan air mata yang mencelos. Aku berjalan, menyusuri jalanan panjang nan membisu. Sembari memikirkan perihal solusi yang belum kutemukan. Ah, kelelahan yang selalu menjadi biang penghambat segala ambisi. Seharusnya aku bisa menegakkan tubuh mengerjakan segalanya. Hanya saja tidak bisa. Tubuhku terlalu lelah setelah pulang kuliah.
Aku sungguh heran dengan imunitas teman-temanku yang tidak tampak lesu, apalagi kucel. Apa rahasia mereka? Jika ini berkaitan dengan asupan gizi. Aku menyerah. Tidak ada harapan bagi orang yang tidak berpunya seperti diriku. Bahkan ketika aku mencoba untuk mengajar privat belum tentu menaikkan kasta setingkat. Setidaknya, aku sudah berusaha semampuku.
Aku menunggu beberapa saat setelah sampai di simpang. Berharap ada angkot yang satu tujuan menuju kampus. Sayangnya hanya ada satu angkot saja yang sesuai dan kuantitas sangat jarang. Jika pada akhirnya terlambat seharunya tidak apa-apa. Meskipun hati terasa berat.
Aku menyetop angkot berwarna merah dengan nomor 105 setelah sepuluh menit kemudian. Beberapa orang sudah memenuhi beberapa tempat. Aku memposisikan diri dekat seseorang yang memiliki jenis kelamin wanita. Sengaja, supaya tidak kentara canggungnya. Ini adalah pilihan pertama jika dalam perjalanan mana pun.
Ada sesuatu yang berguncang di dalam perutku ketika angkot melanjutkan perjalanan. Kepala mendadak pusing dan keringat mulai hadir dengan sendirinya. Menyebalkan, aku sedang mabuk perjalanan kali ini. Bahkan memegang gawai gemetar. Pertahananku mulai luruh. Namun aku masih terus sadar dan membiarkan angkot ini mengantarkan ke tempat tujuan. Situasi ini sungguh menyakitkan membuat sistem kewarasan tidak terkendali dan berusaha menggenggam erat tas yang kupangku.
Aku bukan orang yang alergi dengan angkot sebenarnya. Kadang-kadang saja membuat mules enggak karuan. Entah mungkin karena angkotnya enggak nyaman atau supirnya. Sayangnya menaiki sebuah kendaraan tidak bisa pilih-pilih. Rasanya apes sekali jika begini. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Benar-benar paket komplit.
Malah perjalanan ini terasa lama pula. Saat di persimpangan terjebak macet. Menyebalkan.Harusnya aku sudah mendapatkan solusi yang jitu sejak dari tadi. Bagaimana caranya kejadian ini tidak terulang lagi. Bukan hanya sekali saja aku mengalami hal ini. Tetapi beberapa kali dan di saat yang tidak tepat. Entah apa maksud dari segala kejadian yang menimpaku. Ada saja yang membuat diri ini merasa lebih malang dari orang lain.
Aku terlalu lemah untuk berjuang dan tidak bisa mengatur waktu. Ya, waktulah yang mencekikku hingga tidak bisa bernapas jika dalam penekanan. Khususnya di batas akhir dari sebuah kesepakatan.
"Masalahmu itu kecil. Kaunya saja yang sering membesar-besarkannya.
Memori otakku berputar pada ucapan dosen yang mengomeliku saat terlambat. Ya, aku selalu saja seperti ini. Julukan Ratu terlambat yang tidak tahu malu. Bahkan lupa masih memiliki urat malu. Selalu saja ukuran lama perjalanan kujadikan alasan. Meskipun aku tahu itu tidaklah benar. Mereka tidak butuh alasan kenapa aku terlambat. Hal yang tampak oleh mata adalah sebuah bukti nyata. Alasan itu terkesan membuktikan bahwa aku benar-benar bersalah.
Mungkin benar, aku memang salah. Masalah yang seperti ini harusnya bisa kuatasi. Bukannya berlarut-larut dan membuatku tenggelam dalam kesedihan mendalam. Tidak ada gunanya membawa perasaan sakit sembilu. Harusnya aku bisa mengganti sudut pandangku dalam mengatasi permasalan.
Mikroskop tidaklah salah. Ia sudah benar dalam menguraikan apa yang terjadi di dalam sebuah objek. Bahkan memperjelas apa yang sebenarnya tidak diketahui. Bahkan sudah mengusakan dengan segenap kemampuannya. Hanya penggunanya saja yang perlu mawas diri dan bijak dalam menggunakannya. Apakah berguna untuk pengetahuannya atau sekadar singgah begitu saja.
Aku berlari sebisa mungkin setelah menuruni angkot dan menuju kelas saat ini. Jarak gerbang ke kelas sekitar lima ratus meter. Maka tidak alasan bagiku untuk bersantai kali ini. Entah jam berapa pun itu. Aku sama sekali tidak peduli. Hal yang terpatri di benakku hanyalah masuk kelas dan belajar.
Inaya menarik pergelangan tanganku saat melewatinya. "Ra, kamu sakit ya? Wajahmu pucat gitu."
Aku tidak bisa berkata apapun selain menyimpan air mata yang masih menggenang di kelopak mata. Rasanya pedih sekali tidak bisa mengikuti perkuliahan seutuhnya. Ini pun bisa masuk ketika dosen kebetulan lagi keluar. Meskipun tindakan ini terasa ilegal. Aku sudah tidak peduli lagi pada hal yang membuatku semakin sedih. Pokoknya aku ingin belajar dan ikut bersama mereka.
Inaya melepaskan tanganku ketika aku mengangguk. Raut wajahnya seakan begitu peduli pada apa yang aku rasakan. Namun ia belum tentu mengalami hal yang sama sepertiku.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Physics Not Doctors
ChickLitNadia Zahira bercita-cita menjadi guru sejak Sekolah Dasar. Namun, setelah memasuki Sekolah Menengah Pertama ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Keinginannya diperkuat dengan mempelajari olimpiade Biologi sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Se...