(9) Perih

52 4 10
                                    

Rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan kehidupan puskemas. Semasa kecil aku sering terjangkit batuk, pilek, dan panas. Apalagi setelah jajan sembarangan dan minum es. Belum lagi ngebandel dengan hujan panas yang menyenangkan untuk dijadikan alasan bermain sekaligus mandi. Itulah asalannya aku sering ke Puskesmas. Satu lagi, deretan sakit gigi. Mulai dari gigi tumbuh hingga bolong. Kini semuanya sudah menjadi kenangan.

Ah, setelah kutelisik lebih lagi puskesmas ini tidak ada yang berubah sedikit pun. Nuansa tenang bak keramaian di samping puskesmas tak lepas dari anak-anak. Malahan jauh lebih indah dan menarik perhatian dengan tatanan bunga. Belum lagi aroma yang puskesmas maupun rumah sakit itu khas. Ya, meskipun dulu aku menganggap bahwa aroma tersebut berasal dari obat-obatan yang ada di sana. Ternyata itu salah, aroma tersebut merupakan karbol yang merupakan cairan disenfektan untuk meminimalisir pertumbuhan kuman. Ya, namanya juga rumah sakit, kita tidak pernah tahu kuman mana saja yang bercampur. Apalagi jenis kasus setiap pasien itu berbeda. Katanya jumlah kuman yang ada di sana jauh lebih banyak dari pada di rumah-rumah.

Setelah memarkirkan sepeda motor di samping puskesmas. Aku mulai melangkahkan kaki di kerikil putih. Pelatarannya tidak lagi sekadar tanah kosong belaka. Suara percikan kerikil menggodaku untuk menimbulkan suara yang sama di detik berikutnya. Ah, seperti anak kecil saja.

Aku menunggu beberapa saat setelah para pasien lainnya sudah dipanggil. Pasiennya juga beragam. Mulai dari anak-anak hingga dewasa. Tidak berani bertanya, hanya saja merekalah para pasien yang memiliki keluhan dengan sakit. Baik itu yang terlihat maupun tersembunyi.

Para petugas puskesmas ini didominasi oleh kaum hawa. Entah mana dokter aslinya. Mungkin saja ada yang bidan juga. Entah kenapa bertemu dengan para wanita itu rasanya lebih canggung dan sangat kusegani. Belum lagi aku melihat salah seorang di antara mereka perawakan suku batak. Rambutnya keriting dan raut wajah mereka sungguh serius seolah akan mengintrogasiku dengan beragam pertanyaan.

"Nadia Zahira."

"Iya."

"Kamu sepertinya tidak bisa berobat di sini. Sebab bukan wilayahmu untuk berobat. Kamu di Deli Serdang tempatnya. Tapi enggak apa-apa deh kali ini. Kamu berobat aja dulu," ucap petugas pelayanan tersebut sekali-kali melirik wajahku.

Hm begitu ya. Padahal aku sudah cukup nyaman berobat di sini. Puskesmas ini lebih dekat dari rumahku soalnya. Tanpa berpikir lama. Aku langsung masuk ke ruangan periksa di sana dan tempatnya lebih tertutup. Aroma di ruangan ini jauh lebih terasa dibandingkan di luar. Setelah bercerita tentang kronologi sakit ini. Mereka menyuruhku menunjukkan bagian kulitku yang terkelupas. Seperti terbakar, namun bukan. Aku pun tidak tahu, entah penyakit apa pun ini.  Aku sama sekali tidak tahu dan harus bagaimana. Mandi air hangat dan detol pun juga pernah.

"Kau ada main sama orang ya?" tuding wanita yang berambut kribo di hadapanku. Tatapannya tajam.

Cukup lama aku menganalisa apa yang ia maksud. Main apaan sih? Enggak ngerti.

"Dia anak baik kok," ucap wanita yang lain berkerudung putih. Setelah itu mengambil alih memeriksaku.

Setelah mendengar hal itu. Aku paham makna sebelumnya. Bu, aku memang anak baik selama ini. Mungkin hanya mengambil bagian sebagai anak malas selama ini. Aku tidak mengerti kenapa bisa dihadirkan penyakit kulit seperti ini. Setelah biduran yang membuat kulitku pada gembung. Kini bidurannya malah lain lagi.

Aku merasa nyaman ketika wanita yang ada di hadapanku kini mempercayaiku. Lebih teduh dan nyaman ketika aku mengamati gerak-gerik dan pesan yang disampaikan.

"Coba dulu pakai pilah sayur kol. Mana tahu dengan itu bisa lebih dingin."

Aku mengangguk paham menuruti perintahnya seraya menginajinasikan bahwa kelopak kol tersebut akan menjadi pelapis perban.

"Ini ada resep. Tapi enggak ada tersedia di sini. Nanti saya berikan resepnya dan kamu bisa membelinya di apotik."

Aku melihat tulisan sambung tidak berbentuk tengahnya seperti itu. Bahkan cara merapalkannya saja membuat lidahku terlilit.

Aku segera mencari obat tersebut siang harinya bersama Nadila. Kali ini dia datang ke rumah. Aku membutuhkannya sebagai penguat pundakku yang telah rapuh dan patah semangat ini. Aku bosan sendirian. Bahkan kamar tidur sudah seperti memenjarakan semangatku. Aku sepertinya masih punya harapan hidup dan masa depan meskipun hanya setengah.

"Kak lama lagi ya?" tanyanya setelah mengunjungi sepuluh apotek.

Cuaca semakin panas dan gerah. Sudah banyak kali aku menanyakan resep itu, tetapi tidak satu pun ada. "Dil, gimana kita pergi ke kota saja?"

Ia mengiyakan dan mengangguk dengan dalih aku yang menjadi supirnya. Sedangkan ia, ya tinggal duduk dan menunggu. Durasi waktu menuju ke sana kira-kira satu jam. Meskipun gawaiku kecil, setidaknya aku bisa mengoperasikannya untuk menggunakan google maps.

Benar saja, rasanya setiap lorong itu memiliki spesifikasi yang berbeda. Ada yang khusus elektronik, manik-manik, hingga kutemukan jejeran apotek. Aku melihat petugas parkir di setiap tempat.

Ada yang membuatku kesal, sedih, dan bahkan ingin sekali meraung-raung di tengah jalan. Ketika menerima saja dimintai uang parkir. Jika ada lima tempat yang kudatangi. Maka lima kali pula aku membayarnya. Padahal letak apotek tersebut hanya di sebelahnya. Uangku sudah habis untuk biaya perjalanan dan parkir saja. Ah, rasanya apes banget hari ini. Apakah aku tidak bisa sembuh? Rasanya tidak ada obatnya untukku. Aku sudah lelah dengan semua ini. Sepertinya harus kusudahi saja.

Bahkan setelah pulang ke rumah aku mendapatkan amarah dari abang Zain. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Hatiku sakit dan kelopak mataku tidak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Jiwa dan ragaku rasanya ingin pergi dari dunia ini. Bahkan tidak ada tempat yang mampu membuatku tenang. Kenapa ini semua terjadi?

*
Kebenaran yang membuatku nyaman adalah ketika merasakan setelah menggunakan kelopak kol itu membuat dingin. Namun dinginnya hanya beberapa jam saja. Setelah itu kembali lembab dan mulai membusuk. Jika terlalu lama akan menimbulkan aroma tidak sedap. Tapi bagian tidak nyamannya jangan terlalu dipikirkan. Namanya juga usaha dalam penyembuhan. Pasti melalui proses yang bahkan tidak disangkah bagaimana jalannya.

Seiring berjalannya waktu. Aku mulai frustasi. Cara itu masih belum ampuh meredakan perih yang kualami. Masih tetap sama seperti pertama kali mengalaminya. Aku memutuskan menguasai kamar Mama dan menggunakannya sendiri sebagai perenungan. Tugas kuliah yang menumpuk dan sakit tidak tertahankan.

Aku pergi ke puskesmas yang lain. Tempat yang memang sudah ditunjukkan untukku. Tempat ini jauh lebih besar dan nuansanya sama. Sama-sama ada sekolah di sampingnya. Bedanya lebih tenang karena merupakan sekolah Menengah Atas. Aku masih anak sekolah setahun yang silam.

Meskipun aku tidak terlalu banyak berharap. Setidaknya aku sudah berikhtiar semampuku.

Bersambung


Physics Not DoctorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang