~Melupakan sejenak sesuatu yang mengganjal lekat di sanubari.~
Tidak ada yang berubah dari rasa malas bersemayam. Meskipun aku tidak mengajar privat lagi alih-alih ingin fokus pada skripsi. Tetap saja tidak menjadikan skripsiku selesai sesuai dengan perkiraan. Bahkan jika dipikir sekali lagi, aktivitas mengajar ngaji setelah maghrib dan selesai setelah salat isya itu tidak ada masalah. Orientasi terbesarnya adalah aku sendiri yang teramat payah.
"Ra, kau ya. Kemana Al-qur'anmu? Kok enggak ada ya? Udah gila atau gimana?"
Aku masih mengerjapkan mata sekaligus melihat jam dinding yang tengah berputar setelah pertanyaan itu menggema di telinga. Berusaha berbaring membuatku terperangah dengan kesadaran penuh. Kaki kananku pada gatal digigit nyamuk. Ah, sebentar lagi sudah jam lima pagi. Sedangkan solat tahajud rasanya tidak sesuai dengan waktu. Menyebalkan, selalu saja bagian terharmonis ini terlewatkan meskipun aku selalu bangun awal.
Aku beranjak mencari colokan listrik untuk power bank gawaiku yang sudah mentransferkan energinya. Tumben gawaiku masih hidup. Biasanya sudah tidak bernyawa lagi. Meskipun kutinggal tidur dalam keadaan penuh.
"Mana Al-qur'anmu? Kau tinggal di mana? Pasti enggak kau tinggal entah di mana-mana kan?" tuding Mama sembari menyiapkan bumbu masakan.
Ah, al-qur'anku. "Di Masjid kayaknya."
"Ah, nggak mungkin. Kau pasti udah gila kan? Entah berapa kali barang sering kau tinggalkan. Enggak ada kapok-kapoknya. Seharusnya kau tuh ngaca diri. Bukan orang nggak punya kok berlagak," imbunya lagi dengan volume salto.
Kalau gendang telingaku hanya sekedar sakit tidak masalah. Tetapi hatiku yang mendadak dongkol begini. Rongga dadaku sudah dipenuhi uap. "Mama nih, heboh kali," ucapku dengan nada tinggi. Emosiku tidak terkontrol dan cepat marah. Aku yakin sekali Mama tidak akan berhenti mengomel setelah ini. Malah masih jam subuh pula. Al-qur'anku pasti memang di Masjid. Kalau tidak salah aku hanya membawa minuman yang diberikan temanku tadi malam.
"Kau itu ngaca diri. Banyak orang yang enggak suka samamu,-"
Aku menjauhkan diri dari dapur. Otakku mendadak tidak baik kalau dimarahi seperti ini. Apa sih mau Mama? Kalau secara logika dan perasaan, situasi gelap seperti ini membuatku tidak berani keluar rumah. Suara ngaji dari pengeras suara masih terdengar jelas di telingaku. Semoga saja keputusan cetekku ini membuahkan hasil.
Aku pergi ke kamar Mama dan mengambil kerudung di dalam lemari. Sengaja kupilih warna hitam sebagai penggambaran hatiku yang berusaha menggelapkan kobaran hati. Sekilas kulihat wajahku laksana setan yang sedang saling menatap. Menyeramkan. Tapi hatiku jauh lebih tidak tentram. Setelah menutup pintu lemari. Diam-diam aku membuka pintu rumah. Tenang saja, Mama tidak akan mendengar ulahku. Suara pengeras suara masih bisa menyumpal pendengaran Mama daripada gesekan pintu terbuka. Lagipula Mama sedang masak.
Aku memilih sendal hitam dengan gesekan paling minim. Ya, kalau dipakai berjalan tidak menimbulkan efek suara rusuh. Fokusku hanya satu. Semoga saja al-qur'an itu masih ada di Masjid. Maka tak ada cara yang paling efektif selain berjalan cepat.
Tidak ada siapa-siapa di jalan selain gelap sunyi, hawa dingin, dan beberapa kucing berkeliaran. Suara sahut-sahutan kucing misterius mulai terdengar di telingaku saat di pertengahan jalan. Aku tahu itu merupakan trik mereka untuk menarik perhatian lawan jenis. Tetap saja, laungan mereka di kegelapan seolah ada pertanda sendiri. Parahnya, hanya satu rumah saja yang dijadikan targetan mereka dalam memperlihat kebolehan diri dalam tarik suara. Setelah tidak puas dengan hasil pemilihan alias voting kucing betina, lanjut ke sesi cakar-cakaran deh merekanya.
Oke, kembali ke perjalanan ini. Dadaku sedikit lega ketika sumber suara kucing itu di tempat dekat penerangan jalan. Kedua langkahku semakin yakin menuju ke masjid. Meskipun tapak kakiku sudah terasa sakit dengan sendal ini. Tapaknya memang tipis tapi jalan pengikat jari lumayan tebal.
Aku melihat ada seorang pria yang sedang membersihkan pelataran Masjid. Tanpa memperdulikan apapun apalagi permisi, aku langsung menuju meja dan berdoa masuk masjid dalam hati.
Allahumma inni dzunubi abwaba rahmatik.
Semoga saja Allah tidak membenciku dengan keputusan ekstrim ini. Secara logika perempuan pamali keluar sendirian. Setelah mendekap Al-qur'an itu. Aku segela kembali ke rumah dengan tergesah. Pulang dan menemukan tempat rebahan paling santuy. Sepertiga jarak lagi akan sampai rumah. Laser kuning dari mata kucing itu masuk ke retina mataku. Untungnya itu bukan kuanggap sebagai sumber ketakutan, jadi masih berasa berani deh. Setelah melirik ke kiri aku baru sadar ada seorang pria berumur yang sedang memakai sarung dan kemeja cokelat. Hati ini merasa waspada sembari meyakinkan kalau orang itu hendak ke masjid.
Ada alasan lain kenapa aku harus berani. Pertama, aku tidak memiliki pola sama sekali dan kedua, kejadian ini juga secara dadakan. Jika ada rencana jahat mungkin tidak selogika itu. Biasanya para penjahat atau penculik sekalipun memiliki strategi yang terencana. Otomatis aku lolos sensor dalam tragedi kelupaanku perkara Al-Qur'an.
Aku menarik gagang pintu yang tidak terkunci. Asyik, Mamaku tidak menyadari kalau aku sedang keluar rumah. Stike number one, aku aman sekarang. Meskipun aku masih mendengar omelannya terus berkicau dari dapur. Kemudian aku menyengaja meletakkan Al-Qur'an itu di meja yang akan kelihatan di mata.
Setelah Mama beranjak dari dapur. Aku merasakan omelannya tidak lagi masuk ke gendang telingaku. Alhamdulillah, akhirnya berhasil juga kan. Kalau Mamaku masih memgomel juga entah bagaimana lagilah aku harus menenangkan hati dan pikiranku yang sudah amburadul.
Aku mencoba mengingat kembali perkara sesuatu yang kulupakan setelah duduk menunggu azan tiba. Ah, mimpi itu. Tumben sekali aku tak ingat. Ini hari ke dua puluh di bulan Maret. Tapi sesuatu yang menyenangkan itu hadir. Aku sontak terbangun dan tidak mengindahkan rebahanku di atas katil. Perasaan yang kurasakan jauh lebih natural dan belum terkontaminasi.
Sudah lama aku tidak merasakan hal ini. Getaran hati yang masih bisa diatur di pagi hari. Bukan yang sudah tercampuri pada mimpi. Apalagi sampai terbawa perasaan. Pada akhirnya penasaran dan menuliskannya di buku catatanku. Parahnya, itu semua perihal tentang mimpi alih-alih tidak ingin melupakan ide gratis.
Ya, setelah mengingat sebelum tidur tadi malam. Kalau tidak salah aku mencoba sibuk mempelajari sesuatu lewat gawai tadi malam. Lalu tertidur begitu saja. Aku akui, sudah lama sekali sistem kehidupanku sudah tidak benar sejak skripsian. Bahkan berdoa dengan benar sebelum tidur aku lupa. Banyak petuah yang menasihatiku untuk melakukan ritual ini itulah sebagai penjagaan tidur. Jika pada akhirnya aku bermimpi saat tidur. Toh itu sudah menjadi konsekuensiku sendiri sih sebenarnya. Menyebalkan sekali, sumber ini memang aku yang membuatnya. Itu pun masih suka melibatkan orang lain dalam keterpurukanku.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Physics Not Doctors
ChickLitNadia Zahira bercita-cita menjadi guru sejak Sekolah Dasar. Namun, setelah memasuki Sekolah Menengah Pertama ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Keinginannya diperkuat dengan mempelajari olimpiade Biologi sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Se...